Mudzakir: Ahok Mengancam dan Memeras. Kalau KPK Letoy, Mending Dibubarin



‘Perjanjian preman’ yang digagas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terhadap para pengembang yang mendapatkan izin pengelolaan pulau buatan di Teluk Jakarta dianggap perbuatan melawan hukum (PMH), karena melampaui kewenangannya dan mengarah pada penyalahgunaan wewenang.

Kata pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir, kewenangan diskresi yang dimiliki kepala daerah mempunyai batasan dan harus dibuat berdasarkan dasar yang jelas. Misalnya, tidak membebankan pihak lain sebagaimana pada kebijakan kontribusi tambahan itu.

“Apalagi,  ini juga menyertai ancaman kepada pengembang yang mengantongi izin reklamasi,” ujar dia di Gedung DPRD DKI, Kebon Sirih, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat, 3 Juni 2016

Kebijakan yang membebankan kepada korporasi ataupun masyarakat, menurut Muzakir, sepatutnya harus berdasarkan regulasi yang jelas dan mendapat persetujuan dewan.

“(Diskresi) tidak bisa semaunya sendiri. Apalagi, ini penarikan dana miliaran yang diwajibkan kepada pengembang,” ucapnya.

“Jadi, apa yang dilakukan Ahok terhadap pengembang itu lebih tepatnya adalah pemerasan, ‘malakin’ duit miliar masak disebut diskresi? Ini jelas merampok, karena dia memungut tanpa payung hukum,”  ujar Mudzakir.

Mudzakir yang bergelar Professor ini memang dikenal keras dan tegas. Mengenai kasus reklamasi, Mudzakir pernah menegaskan, lebih baik KPK dibubarkan bila terus menerus terkesan lemah dalam mengatasi kasus-kasus korupsi kelas kakap.

"Kalau KPK letoy mending dibubarin", ujarnya beberapa waktu lalu.

Mudzakir juga mengingatkan KPK agar jangan coba-coba 'membonsai' kasus dugaan korupsi reklamasi Teluk Jakarta ini. Ia berharap agar nasib kasus reklamasi Teluk Jakarta tidak bernasib sama dengan kasus-kasus besar sebelumnya yang pernah digarap KPK dan kandas tanpa kejelasan.

"Mana kasus Century? Sampai sekarang ngga ada satu pun yang dibawa masuk oleh KPK. Rakyat jangan ditipu-tipu pencitraan lagi", tutupnya...
Baca juga :