[Harian Singgalang, Selasa, 21/6/16]
Mengelola Masalah, Memahami Keadaan
Oleh: ERIZAL
Direktur InCoSt, Institute for Community Studies
Tak ada masalah besar dalam politik. Tapi, dalam politik, masalah kecil bisa saja menjadi besar, kalau tak pandai mengelolanya. Ini tak canggih-canggih amat. Tak harus politisi beken, ahli politik sulah, orang biasa pun, paham. Tapi, terkadang abai dan gagal memahami keadaan. Penggusuran sadis dan penertiban Satpol PP, jadi berbeda makna.
Ini mungkin yang dialam PKS saat ini. Menyedihkan. Partai reformasi, partai anak muda, partai dakwah, partai dahsyat karena melesat, dari awal kecil, menjadi menengah, dan bertahan selama tiga kali pemilu, meski dirongrong dan ditusuk tepat di jantungnya. Kini, menggelepar-gelepar kayak ikan puyu di darat, tapi dianggap ikan hias di akuarium.
Lihatlah, berkali-kali intrupsi sidang paripurna, diabaikan. Marah, hingga memelas pun, tetap dicuekkin. Kini, tiga orang petingginya, Hidayat Nur Wahid, Surahman Hidayat, Sohibul Iman, terancam kena sanksi oleh MKD, akibat laporan Fahri Hamzah dilanjutkan. Kenapa pimpinan DPR pilih kasih? Aduan Fahri lanjut, aduan PKS dihalangi. Itulah politik.
Belum lagi, masuk pengadilan yang bertingkat-tingkat itu. Kenapa bisa sejauh itu? Apa tak dipikirkan secara matang? Apalagi, muncul pernyataan dari internal PKS, bahwa apa pun yang diputuskan pengadilan dan MKD, atau apa pun nama lembaganya, tak lagi ngaruh. Sekali pecat, tetap pecat! Gila. Bila petinggi PKS yang dipecat MKD, bagaimana? Apa masih maksa? Mau bikin republik sendiri? Sosialisasi empat pilarnya, tak ada bekas.
Sesungguhnya, awalnya hanya masalah kecil. Rezim PKS berganti. Ada keinginan buat mengubah haluan. Politik santun, dakwah panglima. Padahal, PKS bukan lagi partai penguasa. Kalau dua periode lalu, masih mendingan. Partai penguasa, tapi terlihat galak. Kini, oposisi, beda jauh? Istilah oposisi loyal adalah kesalahan awal memahami keadaan.
Belum lagi, politik sebelumnya sangatlah keras. Sejak reformasi, malah Indonesia berdiri, belum pernah ada politik Indonesia terpilah menjadi dua kubu ekstrem seperti itu (kubu Jokowi-Prabowo -red). Dan PKS, terlibat aktif di dalamnya hingga ke jaringan paling bawah. Ada pemeo, hakikat menyerang Prabowo menyerang PKS, begitu sebaliknya. Ini yang mau diakali rezim baru.
Tapi, jangankan solutif, apalagi cerdik, justru membuat masalah baru. Ditampung dengan tangan terbuka oleh penguasa tapi tak memperoleh apa-apa. Kubu oposisi yang awalnya solid, menjadi berantak, saling curiga. Di kasus Setya Novanto, malah PKS jelas-jelas menikam kebersamaan. Itu melenceng dari tradisi politik PKS. Dan itu pula, alasan-alasan pemecatan Fahri Hamzah. Kini, Setya Novanto jadi Ketum Golkar. Mau apa lagi?
Kesalahan-kesalahan kecil berujung besar, dan rentetannya panjang. Posisi Fahri Hamzah (kursi Wakil Ketua DPR -red) tak dapat, palu hakim dan MKD menunggu, perkawanan sesama parpol oposisi rusak, dan pihak penguasa pun tak menganggap oposisi loyal itu penting. Belum pernah ada posisi politik PKS seburuk saat ini. Tiga petingginya di sidang tanpa ada pembelaan. Mengharap burung terbang tinggi, punai di tangan dilepas. Siku capang siku capeh. Rugi.
Mestinya dengan hanya menelopon Prabowo, Aburizal Bakrie atau Setya Novanto, SBY, dan Zulkifli Hasan masalah selesai. Apalagi, Zulkifli Hasan rekan satu meja dengan Hidayat Nur Wahid. Tapi, tidak! Hubungan itu telah ganjil. Jalur informal tersedat, karena rezim baru ini lebih sebagai penonton daripada pemain, sebelumnya. Mereka lebih asyik dengan diri sendiri daripada mempertahankan solidaritas lama. Awalnya ada, tapi hilang. Simpati publik tak dapat, simpati elit pun menjauh. Secara politik, kemana lagi mengadu?
Sederhana, Fahri Hamzah melakukan serang balik, justru dari senjata yang dibuat sendiri. Rezim baru kurang sadar, bahwa Fahri telah berubah mewakili kegelisahan anak muda PKS. Dia pengkritik Jokowi yang cerdik, termasuk lawan tanding Ahok yang cukup berimbang. Tapi, mau dipatahkan, dengan kronologis tak penting dan informasi sepihak. Sampai kapan ini bisa bertahan? Dunia terus berlari kencang. Masak, berlindung di balik "jubah suci" dakwah atau integritas pemimpin yang absurd, padadal manusia biasa juga.[]
*Sumber: Harian Singgalang, Selasa (21/6/2016)