Oleh: Abrar Rifai
Ibu Saeni, lakon utama kehebohan penegakan Perda Kota Serang No. 2 Tahun 2010 ini jelas bukan orang miskin. Sebagaimana para pengusaha Warteg lainnya di Jakarta dan sekitarnya, rata-rata mereka memang adalah orang kaya. Biasanya seorang pengusaha Warteg memiliki lebih dari satu tempat usaha. Biasanya di kampung mereka mempunyai rumah besar dan mewah. Begitu pun dengan Ibu Saeni, penjual nasi bandel ini ternyata mempunyai tiga Warteg. Jadi kalau ada pengakuan bahwa setelah dagangannya diangkut Satpol PP, atas pelanggran yang dilakukannya, ia mengaku kehabisan modal dan harus pinjam duit, logiskah mereka yang mempercayainya?
Terlebih lagi, setelah kasusnya di-blow up habis-hasbisan oleh Kompas dan media sejenisnya, berbagai simpati tak wajar deras mengalir. Sampai Presiden menyumbang 10 juta, Mendagri juga ikutan menyumbang dan konon katanya ada duit 200 juta lebih yang terkumpul dari banyak orang sebagai sumbangan kepada pedagang yang ternyata sudah biasa melanggar peraturan ini.
Nah, sudah disumbang Presiden, disumbang Mendagri dan dapat duit 200 juta lebih, namun ternyata Ibu Saeni masih membandel. Dia masih jualan nasi di siang hari. Lantas apa coba maksudnya? Bu Saeni tetap berjualan, apa memang sengaja diniatkan untuk melanggar peraturan? Terang-terangan melanggar peraturan karena banyak orang yang membela pelanggarannya? Orang biasa membela. Menteri membela. Presiden dan wakilnya pun membela. Mantabs! (Minggu-Senin-Selasa masih buka. Setelah menerima Rp 172 juta pada hari Rabu, ibu Saeni akhirnya menyatakan tidak akan buka siang hari lagi -red).
Penegakan peraturan ini sebenarnya adalah agenda rutin Satpol PP Kota Serang setiap tahunnya pada bulan Ramadhan. Peraturannya pun sudah disosialisasikan jauh hari sebelumnya. Termasuk juga di rumah makan Bu Saeni. Kalau alasannya dia tidak bisa baca, apakah pegawainya, anaknya, menantunya dan pelanggannya tidak bisa baca semua? Yang bener aja!
Lantas kenapa razia rutin semacam ini bisa sampai heboh seperti sekarang. Semua karena Kompas memang sengaja heboh memberitakannya, mendramatisir sedemikian rupa hingga memantik simpati tak wajar dari banyak orang yang gagal pikir.
Maka, saya akan mengulang kembali, bahwa jangan terlalu lugu menyikapi ini. Apalagi kalau sampai ikutan genderang ketidakwajaran yang mereka tabuh. Semua ini tidak terjadi tiba-tiba. Semua dilakukan bukan tidak mempunyai agenda tertentu. Dan ternyata tidak perlu menunggu lama untuk mengetahuinya, karena dari sandiwara yang sukses diperankan Bu Saeni ini kini banyak orang yang berteriak agar Peraturan Daerah yang dianggap jadi penyebab dagangan Bu Saeni diangkut Satpol PP harus dihapus. Mendagri sangat tanggap, Wali Kota Serang ditegur. Utusan Kemendagri pun sudah bertandang ke Serang.
Lebih jauh lagi, sekarang banyak orang menyoal toleransi ummat Islam. Dengan adanya larangan menjual nasi di siang hari pada bulan Ramadhan, orang Islam dianggap tidak toleran. Toleransi seperti apa yang mereka maksud? Dimana-mana yang namanya toleransi itu adalah orang yang tidak beribadah menghormati yang sedang beribadah. Orang sedang kebaktian harus dihormati itu toleran. Orang sedang nyepi harus dihormati itu toleran. Lantas kalau orang sedang berpuasa harus dihormati, kenapa malah dibalik seakan itu intoleran! Gendeng![]