Istana Gemetar Hadapi Pasar yang Liar, Indonesia Mengarah ke Sistem Komunis



Memasuki Puasa dan Lebaran ini, harga daging di pasar bergolak, seolah melawan instruksi  Joko Widodo (Jokowi) yang meminta para menteri menjaga harga daging sapi maksimal Rp80 ribu per kilogram.

Jokowi berusaha menjaga kepentingan rakyat melawan dominasi pasar, namun nampaknya fundamentalisme pasar masih lebih kuat ketimbang kekuatan istana dalam menjaga harga-harga sembako. Malah ada kabar, istana gemetar menghadapi kekuatan pasar. Harga terus bergolak naik, dan rakyat pasrah karena pasar sukar dikendalikan di era liberalisasi yang ugal-ugalan dewasa ini. Ada apa gerangan?

Secara awam, hukum pasar mengatakan bahwa harga akan naik apabila stok barang menipis tetapi permintaan tinggi. Maka sebagian kita akan selama ini akan maklum apabila menjelang hari hari besar terutama hari hari besar keagamaan barang barang menjadi naik.
Rupanya Presiden Jokowi gerah dengan "tradisi" turun-temurun yang menyusahkan masyarakat ini.

Akibatnya, Jokowi seolah-olah menentang hukum pasar yang selama ini diyakini benar oleh sebagian masyarkat kita. Jokowi justru berpikir sebaliknya, harga harus bisa diturunkan, dikendalikan. Apakah presiden tidak paham hukum pasar?

Seorang Presiden apabila sudah mengeluarkan pernyataan kemudian diteruskan ke bawahannya untuk dilaksanakan, pastinya sudah memiliki data yang valid. Yang pasti, Jokowi ingin masyarakat dilindungi dari terkaman pasar terutama sang pemilik modal besar, dari para mafia dan kartel kartel yang menguasai kebutuhan pokok rakyat.

Jokowi tak ingin korbankan rakyat, tetapi segelintir konglomerat dan pemodal mengambil keuntungan dari situasi dan kondisi yang diciptakan dengan memanfaatkan yang namanya hari Ramadan dan Lebaran. Dan memang kenyataan di lapangan bisa sangat berbeda dan perintah Jokowi mungkin diabaikan, sebab pasar sudah tak terkendalikan.

Berbagai kalangan pun khawatir bahwa keinginan Jokowi, sangat sulit terlaksana sebab modal peternak daging sapi local mensyaratkan, harga daging harus di atas Rp80 ribu per kilogram (kg) agar peternak dapat untung. Tak hanya itu, kata Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan, keinginan Jokowi ini bakal merugikan peternak sapi lokal.

"Karena kalau harga daging segitu, berarti peternak merugi Rp40 ribu per kilogram-nya," ungkap Daniel.

Bahkan Anton J Supit, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) cemas kalau keinginan presiden itu kandas. Pokok persoalan adalah adanya perbedaan data pangan di kalangan menteri Kabinet kerja Presiden Jokowi.

Selama Ramadhan ini, Presiden Jokowi telah memerintahkan tiga kementerian dan Bulog untuk menjadikan harga daging sapi di bawah Rp80.000/kg; langkah jalan pintasnya adalah membuka keran impor daging sapi padahal saban tahun selalu terjadi kecenderungan peningkatan permintaan tiap menjelang Ramadhan dan Lebaran.

Supit mengatakan, sistem perekonomian Indonesia sudah mengarah pada sistem ekonomi komando sebagaimana diberlakukan sejumlah negara berpaham komunis, yaitu China dan Rusia. Salah satu indikasinya, instruksi harga daging sapi harus Rp80.000/kg, sementara saat ini harganya terus merangkak naik di atas Rp120.000/kg.

Menurut Supit, data BPS masih sarat kepentingan pejabat setempat seperti bupati, gubernur hingga tingkat menteri sehingga besar kemungkinan ada penyelewengan angka.

Bahkan dari data USDA sepanjang 2015-2016 yang dikutip, menyebutkan ada kelebihan lebih dari 1 juta ton beras, di mana pemerintah mengklaim 18 juta ton surplus. Dan selama ini, masalah pangan masih terus berkutat dengan perbedaan data yang ada, terutama dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Akibatnya harga sembako meroket tak terkendali. Harga ayam kampong, misalnya, di berbagai wilayah juga melonjak. Di Kabupaten Gorontalo Utara harga sudah naik sejak sepekan menjelang Ramadhan dan saat ini harganya sampai Rp150.000 per ayam yang beratnya sekitar dua kilogram.
Yoni Tanaiyo (35), penjual ayam kampung di Pasar Moluo, Kecamatan Kwandang, Selasa, 7 Juni 201^ mengatakan pada hari biasa satu ayam kampung dengan berat sekitar dua kilogram biasanya berkisar Rp60.000 sampai Rp75.000.

Ia memperkirakan harga ayam kampung masih bertahan tinggi hingga Hari Raya Idul Fitri. Sementara harga satuan ayang ras dengan berat sekitar dua kilogram, di pasar itu masih Rp60.000 sampai Rp70.000, tidak naik sejak sebulan terakhir menurut Ahim (41), penjual ayam di Pasar Moluo.

Dengan ilustrasi dan paparan di atas, kita ingin langkah Jokowi ditindaklanjuti para menteri dan jajaran pemerintahan secara cermat, tepat dan obyektif agar mencapai sasaran. Namun melihat kuatnya fundamentalisme pasar di medan laga harga-harga, bisa jadi instruksi Jokowi tak efektif. Maka, seluruh menteri dan jajaran pemerintah, termasuk badan intelijen dan TNI/Polri, harusnya bertindak dengan cara mereka sendiri. Sebab keadaan sudah ruwet, dan kekacauan data BPS makin merumitkan kondisi ini.

[portalpiyungan.com] 
Baca juga :