Gara-Gara Ahok Plin Plan, Teman Ahok Jadi Galau



Dinamika politik Ibukota kian dinamis. Calon petahana Basuki Tjahaja Purnama sempat melontarkan wacana rujuk politik dengan Djarot yang saat ini menjadi wakilnya di DKI Jakarta. Namun tak butuh waktu lama, wacana tersebut kembali ditarik. Apakah hal ini membuktikan Ahok plinplan, atau Ahok haya sekedar galau saja?

Perubahan sikap Ahok yang begitu cepat dalam merespons perkembangan terkini Pilkada DKI Jakarta seperti menampilkan kegalauan politik bekas politisi Partai Golkar dan Partai Gerindra ini. Bila awal pekan ini dirinya sempat mewacanakan untuk dapat melakukan rujuk politik dengan wakilnya Djarot Saiful Hidayat, kini wacana tersebut ditariknya kembali.

Penarikan wacana tersebut tak lebih didasari alasan teknis pencalonan melalui jalur independen dengan persyaratan dukungan KTP warga DKI Jakarta yang telah digalang pendukung Ahok melalui bendera Teman Ahok yang hampir mencapai 1 juta KTP dukungan.

"Kalau mengundurkan diri, kan Pak Djarot susah masuk. Kan itu harus diisi dua nama," ujar Ahok di Balikota, DKI Jakarta, Jumat, 3 Juni 2016.

Alasan Ahok tersebut tentu rasional. Lantaran, Teman Ahok yang selama ini bekerja keras mengumpulkan hampir 1 juta dukungan KTP dari warga DKI Jakarta akan sia-sia bila Ahok rujuk dengan Djarot sebagai pasangan dalam Pilkada 2017 mendatang.

Meski, bukan berarti duet Ahok-Djarot sulit teralisasi. Karena PDI Perjuangan dapat mengusung duet Ahok-Djarot tanpa harus koalisi dengan partai politik lainnya. Dengan kata lain, bila skenario Ahok-Djarot maju dalam Pilkada, 1 juta dukungan KTP dari Teman Ahok hanya akan menjadi sampah alias tak memiliki daya guna politik.

Di titik ini pula, bila skenario Ahok-Djarot berjalan, kerja keras dan posisi politik Teman Ahok yang selama ini menjadi kendaraan politik untuk memobilisasi dukungan warga DKI Jakarta dengan mengkampanyekan jargon "independen" menjadi tidak relevan lagi.

Bergabungnya Ahok bersama Djarot sebagai representasi politik tentu secara moral akan meruntuhkan integritas yang selama ini terlanjur memposisikan sebagai antitesa partai politik.

Kegalauan Ahok yang menjadi pemicu munculnya wacana rujuk politik dengan Djarot didasari dengan realitas politik terkait pergerakan politik PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan sejumlah partai politik seperti PAN dan PKB yang tengah merancang koalisi besar untuk mengusung cagub-cawagub dari unsur partai politik. Koalisi besar ini tentu secara realitas politik dapat menjadi ancaman serius bagi Ahok-Heru yang tidak memiliki jejaring politik hingga unit terkecil di akar rumput.

Sikap galau Ahok ini di satu sisi menunjukkan ketidakstabilan emosi politik Ahok dalam merespons politik kekinian. Semestinya, dalam merespons perkembangan terkini, Ahok harus memikirkan peluang dan dampak atas gagasan tersebut. Sikap spontanitas dalam politik praktis hanya akan membuat blunder politik.

Mestinya Ahok sadar, menghadapi realitas politik bukan seperti menghadapi warga Kalijodo atau warga Luar Batang yang kerap menunjukkan sisi spontanitas dan "apa adanya" Ahok. Dalam politik, kesabaran dan ketekunan dalam bernegosiasi menjadi kuncinya. Jika mengabaikan unsur tersebut, mimpi Ahok kembali berkantor di Balaikota pada 2017-2021 sepatutnya disimpan di kantung bajunya saja.

Baca juga :