[portalpiyungan.com] Kecendrungan pemerintah atau eksekutif saat ini dinilai mulai tidak mau dikontrol oleh legislatif. Akibatnya, segala kebijakan yang diinginkan harus diikuti DPR.
Demikian dikatakan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah saat menjelang buka puasa bersama dengan wartawan di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 27 Juni 2016.
Setelah dirinya menjadi anggota DPR selama tiga periode dan membaca teori ada godaan dari setiap sistem pemerintahan bahwa eksekutif cenderung kuat.
"Maka kemudian harus ada keinginan membangun sistem parlemen yang kuat. Sebab problem dalam kelembagaan DPR dengan sistem yang tidak kuat ada godaan untuk mengikuti apa maunya eksekusitd. Kita harus waspada. Sebab hampir semua keinginan eksekutif untuk diikuti," kata Fahri.
Menurut dia lagi, ada kecenderungan saat ini eksekutif tidak mau dikontrol sehingga kebijakan harus dituruti. Dalam kondisi demikian, pentingnya membangun sistem parlemen modern, parlemen yang sama-sama kuat dengan pemerintah.
"Dengan demikian harus saling kontrol demi terwujudnya rakyat, yang juga modern. Parlemen yang modern itu harus didukung dengan parpol yang modern, profesional. Hanya saja parpol saat ini tidak dibangun dengan warna ideologu politik yang jelas. Bahkan kalah dengan jebakan survei popularitas seseorang dalam Pilkada dan Pemilu. Jadi, tak ada demokrasi tanpa penguatan parpol," ujarnya.
Kecenderungan pemerintah yang tidak mau dikontrol tersebut antara lain dalam pembahasan RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), menurut Fahri, justru pembahasannya lebih menekankan keinginan, hasrat, dan bukan akal sehat. Sebab, kalau secara akal sehat, berbahaya dampak dari RUU tersebut.
"Itu memang godaan-godaan dalam berkuasa. Dimana semua keinginannya diikuti, dan itu terjadi di seluruh belahan dunia ini. Sehingga dibutuhkan parlemen yang kuat. Hanya saja tidak mudah meyakinkan masyarakat, karena DPR RI diidentikkan dengan hanya ngomong doang dan banyak korupsi,” ujarnya.
Karena itu kata Fahri, saat ini ada trend pemerintah tidak mau diawasi DPR RI dan sebaliknya menginginkan DPR RI itu mengikuti saja kemauan pemerintah. Bahkan simplisistis pmerintah itu bisa mempengaruhi DPR RI, pers, dan ormas.
"Jadi, kita harus waspada dan memang diperlukan DPR RI yang kuat. Kalau tidak, maka akan muncul kelompok ideologi ultranasionalis. Seperti Donald Trump di Amerika Serikat, partai baru AFD di Jerman, dan lain-lain,” katanya.
Fahri mengakui jika sistem rekruitmen kader di Parpol selama ini buruk, sehingga melahirkan system politik yang juga buruk. Dimana siapa saja dan apalagi memiliki modal, maka bisa menjadi pimpinan parpol.
"Kalau parpol sudah menghalalkan segala cara, maka akan melahirkan oligarki, dan oligarki masuk ke DPR RI," demikian ungkap Fahri.
Demikian dikatakan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah saat menjelang buka puasa bersama dengan wartawan di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 27 Juni 2016.
Setelah dirinya menjadi anggota DPR selama tiga periode dan membaca teori ada godaan dari setiap sistem pemerintahan bahwa eksekutif cenderung kuat.
"Maka kemudian harus ada keinginan membangun sistem parlemen yang kuat. Sebab problem dalam kelembagaan DPR dengan sistem yang tidak kuat ada godaan untuk mengikuti apa maunya eksekusitd. Kita harus waspada. Sebab hampir semua keinginan eksekutif untuk diikuti," kata Fahri.
Menurut dia lagi, ada kecenderungan saat ini eksekutif tidak mau dikontrol sehingga kebijakan harus dituruti. Dalam kondisi demikian, pentingnya membangun sistem parlemen modern, parlemen yang sama-sama kuat dengan pemerintah.
"Dengan demikian harus saling kontrol demi terwujudnya rakyat, yang juga modern. Parlemen yang modern itu harus didukung dengan parpol yang modern, profesional. Hanya saja parpol saat ini tidak dibangun dengan warna ideologu politik yang jelas. Bahkan kalah dengan jebakan survei popularitas seseorang dalam Pilkada dan Pemilu. Jadi, tak ada demokrasi tanpa penguatan parpol," ujarnya.
Kecenderungan pemerintah yang tidak mau dikontrol tersebut antara lain dalam pembahasan RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), menurut Fahri, justru pembahasannya lebih menekankan keinginan, hasrat, dan bukan akal sehat. Sebab, kalau secara akal sehat, berbahaya dampak dari RUU tersebut.
"Itu memang godaan-godaan dalam berkuasa. Dimana semua keinginannya diikuti, dan itu terjadi di seluruh belahan dunia ini. Sehingga dibutuhkan parlemen yang kuat. Hanya saja tidak mudah meyakinkan masyarakat, karena DPR RI diidentikkan dengan hanya ngomong doang dan banyak korupsi,” ujarnya.
Karena itu kata Fahri, saat ini ada trend pemerintah tidak mau diawasi DPR RI dan sebaliknya menginginkan DPR RI itu mengikuti saja kemauan pemerintah. Bahkan simplisistis pmerintah itu bisa mempengaruhi DPR RI, pers, dan ormas.
"Jadi, kita harus waspada dan memang diperlukan DPR RI yang kuat. Kalau tidak, maka akan muncul kelompok ideologi ultranasionalis. Seperti Donald Trump di Amerika Serikat, partai baru AFD di Jerman, dan lain-lain,” katanya.
Fahri mengakui jika sistem rekruitmen kader di Parpol selama ini buruk, sehingga melahirkan system politik yang juga buruk. Dimana siapa saja dan apalagi memiliki modal, maka bisa menjadi pimpinan parpol.
"Kalau parpol sudah menghalalkan segala cara, maka akan melahirkan oligarki, dan oligarki masuk ke DPR RI," demikian ungkap Fahri.