[BEDAH BERITA KOMPAS] Ibu Saeni & Luar Batang: Dua Kasus Serupa, Tapi Beda Gaya Berita


[BEDAH BERITA]
BU SAENI & LUAR BATANG:
DUA KASUS SERUPA, TAPI BEDA GAYA

by Asa Mulchias*

Kasus Ibu Saeni adalah kasus bagaimana media menyajikan suatu berita. Tidak lebih dari itu. Jika penyajiannya berbeda, bisa jadi efeknya beda pula.

Untuk lebih jelasnya, mari kita bedah berita. Kali ini, kita akan membandingkan bagaimana berita soal Ibu Saeni dibawakan dengan kasus Luar Batang.

Kenapa kasus Luar Batang yang dipilih?

Karena elemennya sama.

Selain kejadiannya belum jauh berselang, dua kasus ini memiliki unsur-unsur keterlibatan yang sama. Ada unsur rakyat, pemerintah, dan peraturannya. Tapi anehnya, cara penyajian kasusnya sangat berbeda. Padahal medianya ya itu-itu juga.

Nah, untuk memahaminya, kita baca dulu sample BERITA 1 dan BERITA 2 di bawah ini.

[BERITA 1]


JUDUL: Ibu Ini Menangis saat Dagangannya Disita karena Berjualan Siang Hari di Bulan Ramadhan

SERANG, KOMPAS.com - Seorang ibu pemilik warung makan di Kota Serang, Banten, menangis ketika dagangannya disita aparat Satuan Polisi Pamongpraja PP Pemkot Serang, Jumat (19/6/2016).

Ibu ini dianggap melanggar aturan larangan warung buka siang hari di Bulan Suci Ramadhan.

Tampak ibu tersebut menangis sambil memohon kepada aparat agar dagangannya tidak diangkut. Namun tangisan ibu tersebut tak dihiraukan. Aparat tetap mengangkut barang dagangan ibu tersebut.

Kepala Satpol PP Maman Lutfi kepada Kompas TV mengatakan, warung tersebut kena razia karena buka siang hari dan melayani warga yang tidak puasa.

"(Razia) warung nasi dan restoran di Kota Serang yang buka memberi makan pada orang yang tidak puasa," kata Maman saat pimpin razia, Jumat.

Dalam razia itu, petugas menertibkan puluhan warung makan yang buka siang hari. Semua dagangannya disita.

Sementara itu, beberapa pemilik warung beralasan buka siang hari karena tidak tahu ada imbauan larangan buka siang hari di bulan Ramadhan. Sebagian lagi buka warung karena butuh uang untuk menghadapi Lebaran.

Link: http://regional.kompas.com/read/2016/06/11/03400091/Ibu.Ini.Menangis.saat.Dagangannya.Disita.karena.Berjualan.Siang.Hari.di.Bulan.Ramadhan


[BERITA 2]


JUDUL: Tertibkan Pemukiman Sunda Kelapa, Ahok Ingin Masjid Luar Batang Terlihat Lebih Indah

JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memastikan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menertibkan pemukiman liar di kawasan wisata Pelabuhan Sunda Kelapa.

Meskipun demikian, kata Basuki, pemukiman di atas daratan tidak akan ditertibkan. Pihaknya hanya akan menertiban bangunan yang berdiri di atas air.

"Itu lho di sana kan banyak rumah-rumah yang berdiri di atas air. Pas di pintu masuk (Pelabuhan) Sunda Kelapa banyak rumah-rumah pakai tiang masuk ke air," kata Ahok, di Balai Kota, Senin (28/3/2016) malam.

Dengan demikian, lanjut dia, kawasan Masjid Luar Batang nantinya akan terlihat lebih indah jika dipandang dari Pelabuhan Sunda Kelapa. (Baca: Ahok Disebut Hanya Benahi Jalan Menuju Masjid Luar Batang).

Selain itu, Pemprov DKI Jakarta akan menertibkan bangunan yang berdiri di bantaran kali di samping Museum Bahari dan Pasar Ikan.

"Karena kami mau bangun sheetpile (dinding turap) juga. Kalau enggak, nanti air laut bisa masuk ke sana," ujar Basuki.

Pria yang dikenal dengan nama Ahok ini mengaku sudah mempersiapkan rumah susun bagi warga yang terdampak penggusuran. (Baca: Ini Isi Surat Pemberitahuan kepada Warga Luar Batang).

Kata Ahok, rusunnya sudah siap Maret ini. "Jadi, April bisa (ditertibkan)," sambung dia.

Link: http://megapolitan.kompas.com/read/2016/03/29/09323771/Tertibkan.Pemukiman.Sunda.Kelapa.Ahok.Ingin.Masjid.Luar.Batang.Terlihat.Lebih.Indah.

Yuk, kita bedah satu-satu.

[1] JUDUL

Beban JUDUL itu 50 persen. Artinya, suatu tulisan bisa sukses, separonya terletak pada JUDUL. Karena JUDUL membingkai keseluruhan tulisan.

JUDUL juga menimbulkan kesan pertama, yang akan dibawa sampai akhir tulisan. Sering terjadi, di era digital, orang bahkan tak ambil pusing dengan isi artikel. Mereka mencukupkan diri dengan membaca JUDUL, lihat ilustrasi, lalu share dan memaki-maki orang yang dianggap bersalah. Ini adalah bentuk kedangkalan dalam bersosial media, yang masif kita lihat hari ini.

Lihat bagaimana judul BERITA 1 dirangkai.

"Ibu Ini Menangis saat Dagangannya Disita karena Berjualan Siang Hari di Bulan Ramadhan"

Agar clear, kita perlu memilah-milah kata dalam JUDUL menjadi beberapa bagian:

- OBJEK 1
- OBJEK 2
- APA YANG TERJADI
- KENAPA
- SUDUT PANDANG

Mari, kita rumuskan.

- OBJEK 1: Ibu Pedagang
- OBJEK 2: PEMDA
- APA YANG TERJADI: OBJEK 2 menyita dagangan OBJEK 1.
- KENAPA: Karena berjualan di Siang Hari Ramadhan
- SUDUT PANDANG: OBJEK 1 jadi korban OBJEK 2

Nah, dengan memetakan JUDUL dengan cara ini, kita bisa melihat ke mana opini hendak diarahkan. Nggak percaya?

Bandingkan dengan JUDUL BERITA 2.

"Tertibkan Pemukiman Sunda Kelapa, Ahok Ingin Masjid Luar Batang Terlihat Lebih Indah"

- OBJEK 1: PEMDA DKI
- OBJEK 2: Pemukiman Sunda Kelapa
- APA YANG TERJADI: OBJEK 1 ingin menertibkan pemukiman Sunda Kelapa
- KENAPA: Agar Masjid Luar Batang Terlihat Lebih Indah
- SUDUT PANDANG: OBJEK 1 jadi pahlawan OBJEK 2

Dalam suatu berita, selalu ada KISAH. Ingat itu. KISAH-nya mengingatkan saya pada salah satu pengakuan penulis yang punya teman penulis skenario. Kata temannya teman saya itu, cuma ada dua rumus menulis sinetron di Indonesia.

1. Perbanyak bentakan
2. Perbanyak tangisan

Dengan kata lain, cuma ada 2 jenis peran:

1. Protagonis
2. Antagonis

Indonesia adalah negeri yang sangat suka drama. Dan, seperti India, harus selalu ada yang disakiti. Harus selalu ada yang menyakiti. Ketika dua hal ini ada, maka drama bisa dibuat.

Ini yang membuat rating sinetron-sinetron seperti: CINTA FITRI, BAWANG MERAH BAWANG PUTIH, ANAK JALANAN, dan lain-lain laris manis. Ada protagonis yang baiknya bak malaikat. Ada antagonis yang jahatnya nggak ketulungan. Hitam-putih. Baik-buruk. Benar-salah. Selalu begitu.

Penting? Penting. Karena Indonesia adalah bangsa yang sangat mudah iba.

Strategi iba ini hampir diterapkan dalam setiap kisah drama. Mulai dari drama di TV sampai drama politik.

Siapa yang membuat drama? Ya media. Kenapa media buat drama? Cari duit. Dari mana? Dari orang-orang yang emosinya bisa dimanipulasi.

Tak penting fakta di balik drama. Bahwa drama itu sendiri lebih penting dibanding realitas yang ada.

Lalu, kembali ke JUDUL BERITA, siapa protagonis dan antagonis dalam BERITA 1?

Rakyat adalah protagonis yang dizalimi.
Pemda adalah antagonis yang menzalimi.

Anehnya, dalam BERITA 2, perannya diganti.

Pemda adalah protagonis yang tengah menolong.
Rakyat adalah pihak yang ditolong.

Lho, kok antagonisnya hilang?

Di situ anehnya. Antagonisnya hilang. Padahal, ada banyak rakyat Luar Batang yang emosional dengan peraturan tersebut. Tapi tidak ditulis:

"Rakyat Luar Batang Menangis"

Apalagi yang membuat Pemda jadi tidak antagonis dalam kasus Luar Batang?

Pemilihan kata. Hanya dengan mengganti kata, beda efeknya.

JUDUL BERITA 1: PEMDA MENYITA
JUDUL BERITA 2: PEMDA MENERTIBKAN

Padahal, kasus Ibu Saeni hanya berupa tindakan pengambilan dagangannya. Rugi uang? Ya. Tapi kasus Luar Batang itu penggusuran. Tapi manis betul judulnya.

Rugi uang ratusan ribu? RAZIA.
Rugi kehilangan tempat tinggal? PENERTIBAN.

Subhanallah. Luar biasa, bukan?

Yang membingungkan lagi, kenapa PEMDA DKI diperlakukan demikian agung, sedang PEMDA SERANG tidak?

Kenapa JUDUL BERITA 1 tidak berbunyi seperti:

"Pemda Serang Menertibkan Warung Makan yang Jualan di Siang Hari Ramadhan"

Lihat, betapa pemilihan kata sangat bisa memunculkan kesan yang berbeda pula.

Inilah pentingnya diksi dalam judul. Makna boleh sama, tapi diksi yang dipilih akan menentukan positif negatifnya.

Contoh:

- PELACUR: negatif, hina, nista, tak terhormat
- WANITA TUNA SUSILA: pelacur, tapi tidak terkesan sehina dan senista pelacur

Kesan ini pula yang langsung dapat dirasakan begitu BERITA 1 & BERITA 2 masuk ke bagian OPENING.

[2] OPENING BERITA 

OPENING BERITA1: 

SERANG, KOMPAS.com - Seorang ibu pemilik warung makan di Kota Serang, Banten, menangis ketika dagangannya disita aparat Satuan Polisi Pamongpraja PP Pemkot Serang, Jumat (19/6/2016).

Ibu ini dianggap melanggar aturan larangan warung buka siang hari di Bulan Suci Ramadhan.

KESAN apa yang pembaca tangkap?

Bahwa ada rakyat yang sedang dizalimi Pemda setempat. Bahkan alasan penyitaannya menggunakan kata "dianggap."

Kata "Anggap", saat digunakan sebagai kata kerja, berarti pendapat, sangka.

Nah, padahal ini bukan pendapat atau sangkaan. Tapi memang ada peraturan setempat yang telah disosialisasikan sejak lama.

Apakah fakta ini muncul dalam berita? Tidak. Sampai habis artikel tidak ada.

Sedangkan KESAN pada OPENING BERITA 2 aduhai bedanya.

OPENING BERITA 2:

JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memastikan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menertibkan pemukiman liar di kawasan wisata Pelabuhan Sunda Kelapa.

Meskipun demikian, kata Basuki, pemukiman di atas daratan tidak akan ditertibkan. Pihaknya hanya akan menertiban bangunan yang berdiri di atas air.

Bisa dilihat KESAN yang dimunculkan?

Bahwa Pemda DKI sedang merapikan PEMUKIMAN LIAR. Oh ya, fokus di pemilihan dua kata itu. Kenapa dikatakan pemukiman liar? Karena melanggar aturan atau ketetapan Pemda DKI.

Kita bisa terima? Bisa. Tapi kenapa warteg yang melanggar ketetapan Pemda Serang tidak disebut WARTEG LIAR?

Lagi-lagi, masalah KESAN yang ingin ditimbulkan.

Dalam BERITA 2, Pemda DKI adalah protagonis, sedangkan PEMUKIMAN LIAR itu adalah sesuatu yang negatif. Yang harus dipositifkan.

TAPI, baca baik-baik deh. Pada BERITA 1, disebutkan juga kok bahwa Pemda Serang menertibkan.

Ya, betul. Tapi itu ada di mana? Di JUDUL? Bukan kan?

Kita sudah bahas efek JUDUL. Isi kadang tak penting lagi. Lewat JUDUL dan OPENING, opini berita sudah terbaca. Yang paling penting adalah tone atau atmosfir beritanya. Siapa PROTAGONIS, siapa ANTAGONIS, itu yang perlu dibangun di awal tulisan. Sisanya orang akan mengalami BLIND TEXT.

Apa itu BLIND TEXT?

BLIND TEXT itu seperti BLIND COMMERCIAL.

Misal, kita tahu brosur itu kertas yang isinya jualan produk atau jasa. Akhirnya, setiap kali kita dapat brosur, kita selalu mengambil kesimpulan di awal.

OH, ini BROSUR. PASTI JUALAN!

Apa yang dilihat pertama kali di kover BROSUR?

Gambar barang. Harga barang. TUH KAN JUALAN!

Sisanya tidak dilihat lagi. Kalaupun lihat, hanya bolak-balik halaman. Inilah kondisi di mana orang memilih untuk BLIND COMMERCIAL. Akhirnya sebagian besar kata-kata dalam BROSUR pun sia-sia.

Sama saja. Kata "tertib" dalam BERITA 1 muncul setelah:

JUDUL IBU MENANGIS

GAMBAR IBU MENANGIS

OPENING IBU MENANGIS

Apakah kata "menertibkan" ada gunanya setelah itu?

Tidak ada. Karena orang sudah fokus pada dramanya.

Ini ada rakyat kecil lho, dizalimi Pemda!

JAHAT SEKALI! TIDAK BERPERIKEMANUSIAAN! INTOLERAN!

Dan sebutan-sebutan lainnya untuk sosok antagonis di sinetron.

Yah, begitulah. Namanya juga Negeri Drama.

Kenapa MEDIA yang sama bisa memperlakukan dua kasus serupa dengan gaya berita yang berbeda?

Ini yang tidak terkonfirmasi ke masyarakat.

Kenapa MEDIA berpihak?
Ke mana kode etik jurnalistik?
Apa kabar cover both side?

Berlebihankah untuk meminta MEDIA memperlakukan semua pihak dengan adil?

Kenapa MEDIA yang harus menentukan siapa yang jahat, siapa yang baik?

Yang patut diwaspadai masyarakat adalah alasan-alasan di balik ini semua. OPINI yang dibentuk media akan membentuk KESAN. KESAN lebih penting dari FAKTA. KESAN menggerakkan orang untuk memihak. MEMIHAK berarti membesarkan KUBU. KUBU siapa yang dibesarkan? Kenapa KUBU itu dibesarkan MEDIA?

Masyarakat Indonesia itu ratusan juta. Tapi diping-pong begini rupa oleh sebagian MEDIA, untuk dimanipulasi dan diberdaya.

Sebagian masih cukup sadar untuk mulai berpikir.

Sebagian lagi cuek bebek dan berkata, "Emang gue pikirin!?"

Jangan kaget. Pola pikir semacam ini juga MEDIA yang membentuk. Agar agenda mereka terus jalan, tanpa ada perlawanan dari kita.

AYO MELEK!
AYO BANGUN!
JANGAN "TIDUR" MELULU!

____
*Sumber: https://www.facebook.com/asa.mulchias/posts/1749349038640009


Baca juga :