[ANALISA] Bom Istanbul, Politik-Etnik Kurdi, dan Permainan Negara Besar


Oleh Arya Sandhiyudha, Ph.D
(Doktor bidang Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Fatih University Turki)

TAK (Teyrêbazên Azadiya Kurdistan/Elang Kebebasan Kurdi), kelompok sempalan dari PKK (Partiya Karkerên Kurdistanê/Partai Pekerja Kurdistan) mengakui sebagai pelaku serangan ke bus Polisi di pusat Istanbul (7/6/2016) yang menewaskan 11 orang di bulan suci Ramadhan!

Serangan itu menghancurkan sebuah bus polisi di pusat Istanbul, dekat distrik pusat wisata, sebuah universitas besar, dan kantor walikota. Mereka menyebutnya sebagai balas dendam atas operasi militer di kawasan mayoritas Kurdi di Tenggara Turki. Militer Turki memang dikabarkan melaksanakan operasi yang menewaskan delapan hingga 10 anggota kelompok tersebut di provinsi Hakkari tenggara.

Selama tahun ini, TAK telah mengklaim dua serangan yang menewaskan puluhan orang di ibukota Turki, Ankara, pada bulan Februari dan Maret, sehingga meningkatkan derajat kerawanan keamanan di Turki. Ini merupakan aksi lanjutan PKK setelah mereka menghentikan gencatan senjata selama dua tahun pada bulan Juli tahun lalu. Mereka menyalakan kembali konflik lanjutan yang secara akumulatif telah menewaskan lebih dari 40.000 jiwa warga etnik Kurdi, sejak tahun 1984.

Kekerasan itu menghancurkan proses perdamaian dari salah satu pemberontakan dengan durasi waktu terlama sepanjang sejarah Eropa. Entitas Kurdi kini memainkan peran sentral dalam konflik Suriah, selain peran negara besar seperti Rusia, Amerika Serikat (AS) dan Turki yang mencoba untuk menggunakan kelompok minoritas untuk memenuhi tujuan mereka masing-masing.

Peran Strategis Politik-Etnik Kurdi

Di zona konflik yang tersebar di Suriah, Irak dan Turki, entitas Kurdi telah mengambil peran semakin strategis. Penyebaran populasi entik ini di seluruh wilayah geografis tersebut telah memungkinkannya untuk memainkan bagian penting ketika situasi dalam masa pertempuran. Sementara, perbedaan faksi politik diantara mereka juga kerap digunakan untuk memanipulasi kekuatan-kekuatan asing dalam membaca dan mendekati mereka.

Meskipun hubungan Moskow dengan pemerintah Presiden Suriah Bashar Assad, Rusia telah merintis koneksi dengan berbagai faksi Kurdi dan (mungkin) memasok bantuan untuk mereka. AS juga telah memberikan dukungan udara untuk beberapa faksi Kurdi. Bantuan Rusia dan AS terhadap kelompok-kelompok ini, secara simultan, menumbuhkan kecemasan bagi Turki, yang melihat adanya aspirasi minoritas Kurdi untuk otonom-memisahkan diri dari negaranya. Seiring tiga kekuatan ini terus memanfaatkan Kurdi untuk tujuan mereka masing-masing, kelompok minoritas Kurdi juga terus bermain terhadap kekuatan-kekuatan tersebut demi agenda mereka sendiri.

Sejarah Hubungan Rusia Kurdi

Sejarah hubungan Rusia dengan Kurdi sejatinya telah terjalin lama sejak abad ke-19, ketika Kekaisaran Rusia merekrut etnik Kurdi untuk agenda melawan saingan mereka di Eurasia, yakni Kekaisaran Ottoman dan Kekaisaran Persia. Penerus Kekaisaran Rusia, Uni Soviet, kemudian mewarisi hubungan ini dan menggunakan mereka untuk melemahkan Turki dan Iran.

Dari 1923-1929, Uni Soviet mengendalikan sebuah wilayah Kurdi - yang bernama _Kurdistansky Uyezd_ - di Kaukasus Selatan. Pada tahun 1946, wilayah tersebut membantu pembangunan Republik Kurdi di Mahabad di Iran. Kemudian, dalam Perang Dingin, Soviet yang mendukung hadirnya Partai Pekerja Kurdistan ( _Partiya Karkerên Kurdistanê_ /PKK) yang berhaluan Leninis Marxis, menjadikannya perkakas untuk melemahkan musuh tradisional mereka, Turki, yang pada saat itu anggota NATO, bersama dengan blok Amerika Serikat (AS).

Ketika Uni Soviet runtuh, Rusia mengurangi campur-tangan terhadap Kurdi, namun tidak pernah memutus atau menghentikannya. Hari ini adalah buktinya, bahwa Rusia sekali lagi memainkan kartunya dalam politik etnik Kurdi di kawasan, seakan mengulang permainannya di abad ke-19 dan dalam Perang Dingin.

Manuver Moskow di Kawasan

Moskow telah meningkatkan hubungannya dengan Uni Partai Demokrat ( _Partiya Yekîtiya Demokrat_ / PYD), sebuah kelompok oposisi di wilayah utara Suriah yang mendukung otonomi Kurdi dan federalisme. Sayap bersenjata dari PYD adalah Unit Pertahanan Rakyat Kurdi ( _Yekîneyên Parastina Gel_ / YPG) yang merupakan pemain utama dalam konflik Suriah. Jadi, terdapat ambiguitas, bahwa meskipun Rusia mendukung rezim Assad di Suriah, namun Moskow telah mengembangkan hubungan dengan PYD untuk meningkatkan pengaruhnya dibandingkan Turki. Hasil perebutan dominasi pengaruh Turki-Rusia terhadap partai ini tentu terlihat dari bagaimana ambisi politik-etnik dari partai ini berkembang dalam agenda mereka di kawasan. Membaca situasi terkini, entitas Kurdi Suriah tidak lagi terlalu gigih bersiteru dengan rezim Assad, itu ciri pengaruh Rusia lebih kuat.

Pada bulan Februari, PYD membuka kantor perwakilan di Rusia, cabang pertama di luar negeri. Rusia juga secara terbuka mencoba untuk berkoordinasi dengan YPG, berharap untuk meredakan ketegangan antara kelompok militan dan pemerintah Assad. Moskow bahkan telah melibatkan YPG untuk berkoordinasi dalam operasi melawan pasukan pemberontak Suriah dengan deal memberi keuntungan bagi kepentingan YPG dan loyalis rezim Assad.

Moskow memang banyak dituding oleh Pemerintah Turki telah terindikasi mempersenjatai sekutu lama mereka, PKK. Diantaranya dengan memberikan persenjataan anti-pesawat ke PKK melalui wilayah Suriah dan Irak. Meskipun, Moskow telah membantah tuduhan, namun para pejuang PKK memang disebut telah menggunakan sistem pertahanan udara _SA-18 man-portable air-defense system_ (MANPADS) untuk menembak jatuh sebuah helikopter militer Turki pada awal Mei 2016. Jatuhnya helikopter itu penting karena itu adalah insiden pertama dimana militan Kurdi mulai menggunakan sistem persenjataan yang relatif maju, meskipun mereka telah menggunakan MANPADS lain sebelumnya.

Tentu saja, koneksi Rusia dalam situasi yang keruh ini, serta ditemukannya SA-18 di Suriah di tangan PKK, tidak serta merta dapat dipastikan bahwa senjata tersebut dibeli atau diberi dari Moskow. Namun demikian, dilihat dari potensi penguatan kembali hubungan Rusia dengan PKK yang memiliki sejarah historis juga kesamaan ideologis Leninis-Marxis, posisi Rusia jelas sangat diuntungkan. Mereka, masih sangat membutuhkan politik-entik Kurdi untuk meningkatkan leverage melawan Turki dengan tetap menyangkal keterlibatan dari segala proses pertempuran yang terjadi dalam konflik di Suriah dan Irak, ataupun ragam rangkaian bom di Turki.[]


Baca juga :