Umar Bin Khatthab's Style


Umar Bin Khatthab's Style

By: Nandang Burhanudin

Bisa jadi. Sosok Khalifah Umar bin Khatthab adalah sosok paling dibenci saat ini. Gaya kepemimpinannya benar-benar menjadi teladan. Bekerja sebagai pelayan rakyat, bukan penikmat kekayaan rakyat. Umar yang teguh menjadikan Allah, Rasul dan kaum Mukminin sebagai mandatori. Bukan yang lain-lain.

Allah Ghaayatuna. Karena Allah tujuan. Umar terhindar dari tekanan apapun. Nothing to loose. Tak ada kepentingan selain kejayaan Islam dan umatnya kala itu. Sebagai bukti. Umar bin Khatthab menjauhkan anak dan keluarganya dari fasilitas negara. Terbebas dari ruang transaksional yang menjerat.

Umar sadar. Jeratan kepentingan dan jebakan transaksional, akan membuat seorang pemimpin tidak mau lagi berpikir lurus di jalan lurus. Leadership mentallity menjadi taruhan. Mirip masuk WC. Saat di luar tutup hidung karena bau. Mulut komat-kamit mengkritik. Tapi karena "kebelet hajat". Ploooong...bahkan bisa berlama-lama di tempat buang kotoran.

Efek dari kepemimpinan transaksional adalah segala macam kebijakannya senantiasa berbau rasionalisasi. Sebab, hakikatnya memang bukan rakyat yang mau dilayani, tetapi kekuatan lain yang sangat ditakuti. Di sinilah kemudian istilah pencitraan menjadi keniscayaan bagi mereka yang sangat berkeinginan dengan kursi jabatan.

Umar bin Khatthab's Style ini lengkap dan lugas terdapat dalam buku, Khulafaur Rasul Shallallahu Alayhi Wasallam, karya Syeikh Khalid Muhammad Khalid. Di antaranya:

Pertama, Khalifah Umar Mengedepankan Musyawarah

Nah! Hal langka. Ketika berada di majlis musyawarah, Umar Radhiyallahu Anhu tidak pernah memposisikan dirinya sebagai penguasa yang memiliki kalimatul qath'i (pendapat sakti yang tak tertolak). Ruh syuuroo dibangun dengan:

1. Meletakkan dirinya sebagai manusia yang sama kedudukannya dengan anggota musyawarah lain.

2. Menanamkan ruh ukhawiyyah dan ruh mahabbah, bahwa mereka yang terlibat dalam syuuro adalah guru yang akan menunjukkannya ke jalan kebaikan, menyelamatkannya dari kesengsaraan hisab di akhirat. Sebab anggota majlis musyawarah diharapkan dapat membantunya untuk memperjelas kebenaran.

Kedua, Khalifah Umar Berlepas Diri dari Penggunaan Kekayaan Negara untuk Pribadi dan Keluarga.

Mensejahterakan seluruh rakyat! Visi yang tidak sekadar jargon kampanye. Rakyat dan kader-kader generasi pilihan saat itu, bukanlah sapi perah. Bukan pula batu-bata yang diperlukan sesaat kemudian dibuang. Umar bin Khatthab mengedepankan zuhud dan waro'.

Maka selama Khalifah Umar menjabat. Tak ada satupun keluarga beliau yang memanfaatkan jabatan ayahnya untuk meraih kesenangan duniawi. Pada akhirnya, ketika tidak lagi menjabat, tak seorang pun terlilit kasus atau terjebak dalam intrik-intrik kotor dunia politik.

Ketiga, Khalifah Umar Menjunjung Tinggi Fitrah Manusia yang Bebas Merdeka!

Pemahaman kebebasan menurut Umar sangat sederhana dan bersifat universal. Kebebasan menurutnya adalah kebebasan kebenaran (al-haq). Artinya, kebenaran berada di atas semua aturan. Al-haq yang bertumpu pada sulthatud dalil (komando dalil), bukan berbasis fanatisme atau doktrin yang bertolak belakang dengan syariat.

Umar berkata pada dirinya sendiri, “Sejak kapan engkau memperbudak manusia, sedangkan mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?”

Menurut Umar, semua orang memiliki kemerdekaan sejak lahir ke dunia. Bagi Khalifah Umar. Semua manusia hanya wajib memberikan loyalitas mutlak kepada Allah Ta'ala dengan mencontoh Rasulullah saw. Di luar itu. Tidak ada ketaatan kepada makhluk yang mengantarkan pada kemaksiatan kepada Sang Khalik.

Keempat, Khalifah Umar Terbuka Mendengar Kritik.

Kritik dan mengkritisi menjadi barang HARAM saat ini. Di negara yang konon menganut demokrasi saja. Manusia-manusia kritis dipantau. Siap-siap menerima hukuman atau disingkirkan dari kehidupan publik. Biasanya. Seorang pemimpin yang takut dengan kritikan, ia telah terjerst jebakan transaksional dan tidak fokus memperjuangkan Allah dan RasulNya.

Contohlah Khalifah Umar. Suatu hari Umar terlibat percakapan dengan salah seorang rakyatnya, orang itu bersikeras dengan pendapatnya dan berkata kepada Amirul Mukminin, “Takutlah engkau kepada Allah.” Dan, orang itu mengatakan hal itu berulang kali.

Lalu, salah seorang sahabat Umar membentak laki-laki itu dengan berkata, “Celakalah engkau, engkau terlalu banyak bicara dengan Amirul Mukminin!”

Menyaksikan hal itu, Umar justru berkata, “Biarlah dia, tidak ada kebaikan dalam diri kalian jika kalian tidak mengatakannya, dan kita tidak ada kebaikan dalam diri kita jika tidak mendengarnya.”

Kelima, Khalifah Umar Blusukan Keliling Mengayomi Rakyatnya.

Sosok Khalifah Umar, bukan tipe pemimpin yang hobi bersandar di belakang meja. Tengah malam, saat orang terlelap, ia justru patroli, mengecek kondisi rakyatnya. “Jangan-jangan ada yang tidak bisa tidur karena lapar,” begitu benaknya bertutur.

Khalifah Umar juga bukan tipe pemimpin yang hanya pandai menyebar intruksi. Begitu menemukan seorang ibu yang anak-anaknya menangis karena lapar, sedangkan tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak dan disuguhkan, dengan segenap daya Umar pergi ke Baitul Maal dan memikul sendiri sekarung gandum untuk kebutuhan makan keluarga.

Khalifah Umar sosok pemimpin yang tidak membiarkan satu masalah larut hingga merusak harmoni rakyatnya. Ia bahkan menindak tegas Gubernur Mesir Amru bin Ash.

Sepatutnya. Karakter Umar bin Khatthab's Way tumbuh subur di kalangan aktivis Islam. Namun semoga harapan itu masih ada.

Wallahu a’lam.


Baca juga :