Penulis: Ariady Achmad*
Tidak seperti diduga, saat hadir dalam rapat paripurna DPR RI, Jumat (20/5/2016), Menteri Keuangan yang mewakili pemerintah bukan menyampaikan APBN-P 2016. Namun memaparkan Pengantar Keterangan Pemerintah atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2017.
Pemerintah beralasan Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) adalah bahan pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN tahun 2017. Sesuai amanat UU Keuangan Negara dan UUMD3, KEM dan PPKF paling lambat disampaikan tanggal 20 Mei tahun anggaran sebelumnya.
Jika itu sebagai bentuk kepatuhan kepada UU yang berlaku jelas tidak salah. Sebab, baik eksekutif maupun legislatif dasar atau landasan berpijaknya adalah UU. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa APBN-P 2016 belum diajukan pemerintah ke DPR meski sudah memasuki bulan Mei?
APBN-P 2016 tak bisa dikatakan tidak penting. Setidaknya, realisasi Triwulan I APBN 2016, bisa dikatakan kedodoran. Penerimaan negara sebesar Rp 247,6 triliun (terdiri Rp 204,7 triliun penerimaan pajak dan Rp 42,8 triliun PNBP) atau 13,6 persen target APBN 2016. Dibanding realisasi 2015, angka tersebut lebih rendah.
Realisasi belanja pemerintah juga masih seret. Hingga Triwulan I baru mencapai Rp 390,9 triliun atau 18,7 persen dari pagi APBN 2016. Berbagai pemerintah daerah maupun Kementerian dan Lembaga masih dibayang-bayangi kekhawatiran dan ketakutan membelanjakan anggarannya.
Namun bayang-bayang membengkaknya defisit akibat kekhawatiran akan rendahnya penerimaan pajak tampaknya cukup menghantui pemerintah. Apakah hal ini yang membuat pemerintah masih gamang untuk mengajukan APBN-P 2016 karena berharap RUU Tax Amnesty segera diselesaikan parlemen?
Maklum dari volume APBN 2016 sebesar Rp 2.095,7 triliun, khabarnya harus mengalami pemangkasan sekitar Rp 290 triliun. Alasannya, target penerimaan negara dari sektor perpajakan sebesar Rp 1.546,7 triliun akan sulit dicapai. Realisasi pajak selama Triwulan I 2016 tersebut menjadi ukuran yang sulit dibantah.
Namun, menunda APBN-P 2016 hanya berharap pada penyelesaian RUU Tax Amnesty rasanya terlalu berjudi. Sebab, meski telah ditetapkanpun, dana yang bisa ditarik ke tanah air dari penerapan Tax Amnesty masih abu-abu. Potensi melesetnya juga masih sangat besar.
Padahal, penolakan atau resistensi terhadap RUU Tax Amnesty masih tergolong besar. Baik di dalam parlemen maupun oleh masyarakat luas. Ini tidak lepas dari kabut yang membuat tujuan Tax Amnesty tidak transparan. RUU Tax Amnesty masih dinilai sarat dengan agenda hitam dan menabrak aturan.
Kita mengingatkan agar pemerintah tidak menyandera diri sendiri. Menunda mengajukan APBN-P 2016 akan membuat pemerintah terjerat dalam permainannya sendiri. Sebab membarter mengajukan APBN-P 2016 dengan UU Tax Amnesty berpotensi terpeleset dalam harapan kosong.
Mengapa harus takut menghadapi realita penerimaan pajak dibawah target?[]
Sumber: Teropong Senayan