Pak Jokowi, Tahukah Ribuan Warga Papua Ditangkap dalam Sehari?


"Hampir 2.000 orang Papua ditangkap di Jayapura, Sorong, Merauke, Fakfak, Wamena, Semarang dan Makassar!" Itulah isi pesan singkat yang saya terima dari seorang kawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Senin siang. Sontak, saya terbelalak. Penasaran, saya lanjutkan membaca.

Ternyata mereka yang diamankan dengan paksa oleh aparat adalah aktivis yang berunjuk rasa memprotes bergabungnya Papua ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 1 Mei 1963 silam. Bukan hanya itu, mereka juga mendukung Gerakan Pembebasan Papua (ULMWP) menjadi anggota tetap kelompok diplomatik lintas negara Melanesian Spearhead Group (MSG).

Entah mengapa aparat berseragam coklat ini seperti ketakutan dengan aksi damai dari para warga Papua. Mereka mencokok semua yang terlibat dalam aksi, tanpa terkecuali. Sebagian besar kini telah dilepaskan, tapi yang masih menjadi persoalan adalah mengapa pembungkaman suara lewat aparat ini masih saja dibiarkan? Bukankah Indonesia telah merdeka dan hak berpendapat, berserikat, serta berkumpul ini dijamin konstitusi?

Rasa-rasanya saya ingin langsung meneruskan pesan singkat tersebut ke orang nomor satu di Indonesia sambil mengajukan satu pertanyaan besar: “Bapak Presiden Indonesia Joko Widodo yang saya hormati dan katanya sangat peduli dengan Papua mungkin bisa menjelaskan kenapa Papua tak merdeka bersuara?”

Kita mungkin banyak yang melupakan 1 Mei 1963 adalah hari yang penting untuk warga di Bumi Cendrawasih. Tapi saya yakin Pak Jokowi tidak melupakannya. Usia setengah abad lebih bukan usia yang muda untuk bebas bersuara.

Untuk mengingat kembali, cara pembungkaman suara ini bukan sekali terjadi. LBH Jakarta mencatat, menjelang aksi doa pada 1 Desember 2015, 17 orang di Taman Bunga Bangsa Papua di Nabire ditangkap dan sebanyak 32 orang yang hendak beribadah juga dibekuk. Dalam perayaan yang sama di lokasi berbeda, sebanyak 306 anggota Aliansi Mahasiswa Papua dicokok aparat dan tiga jurnalis asing yaitu Step Vaessen (Al Jazzeera), Chris Burmitt (Bloomberg) dan Archicco (ABC Australia) diintimidasi saat meliput aksi tersebut di Bundaran HI, Jakarta.

Ekstrimnya, pada bulan yang sama empat warga Papua dilaporkan meninggal dan delapan lainnya luka-luka di Serui, Papua diduga karena dianiaya aparat menyusul penangkapan mereka lantaran menggelar upacara pengibaran bendera bintang Kejora.

Satu tahun sebelumnya pada bulan yang sama, tragedi berdarah di Paniai terjadi yang mengakibatkan empat remaja mati dan 17 lainnya terluka di lapangan Karel Gobay, Enarotali, Paniai Timur. LBH Jakarta mencatat penangkapan warga Papua sebanyak 15 orang di Timika pada 5 April 2016, 6 orang di Yahukimo dan 15 orang di Kaimana pada 12 April 2016, serta 13 orang di Merauke, 3 orang di Sorong, dan 11 orang di Jayapura pada 13 April 2016. Beberapa dari mereka yang ditangkap diduga ditelanjangi, dipukuli dengan popor senjata, ditendang, dan dijemur.

PR untuk Jokowi

Pada 1969, warga Papua Barat dipersilakan untuk memilih apakah ingin bergabung dengan Indonesia atau tidak melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang hasilnya dilaporkan pada sidang umum PBB. Namun dalam sidang, John Saltford dalam bukunya The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua 1962-1969 bercerita diplomat Bolivia bernama Fernando Ortiz-Sanz menyangsikan kebebasan berbicara, bergerak, dan berkumpul warga Papua saat itu. Meski ada laporan dari Sanz, PBB tetap mengakui Papua sebagai bagian dari Indonesia. Namun, siapa sebenarnya yang bersuara dalam Pepera, apakah mereka benar-benar mewakili suara rakyat Papua?

Berbicara tentang Papua tak bisa melepas konstelasi politik dan ekonomi pemerintah Indonesia saat itu. Presiden Indonesia ke-2 Soeharto mengizinkan perusahaan asal Amerika PT Freeport untuk menggali tembaga dan emas di Pulau Burung itu sejak 7 April 1967 selama 30 tahun selanjutnya, setelah beleid pertama UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing diteken. Uang dan aset didapat ekspatriat, bagaimana kondisi rakyat?

Kalau rakyat sudah merasa mendapat perlakuan adil atas tanah mereka, bisa jadi tak akan ada teriakan dari warga setempat, termasuk Papua. Mereka masih ingin kebebasan hidup di atas tanahnya sendiri tapi mampukah Pak Jokowi mengabulkannya?

Jokowi telah mengunjungi Papua sebanyak lima kali selama 1,5 tahun. Pada akhir April 2016 lalu, ia mengunjungi perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini, memantau proyek Pasar Mama-mama di Papua dan meresmikan bandara Domine Eduard Osok di Sorong. Pada awal bulan yang sama, ia bertolak ke tiga provinsi termasuk Papua Barat untuk meresmikan Pelabuhan Laut Wasior sebagai realisasi program Tol Laut.

Lawatan sebelumnya pada penghujung tahun 2015 untuk meletakkan kapsul waktu di Merauke, meresmikan Gedung Otonom di Wamenda dan bermalam di Raja Ampat. Sementara itu pada Mei 2015 ia meresmikan Merauke sebagai kota lumbung pangan nasional. Satu tahun sebelumnya, Jokowi sempat merayakan natal bersama masyarakat Papua.

Sederetan agenda tersebut menunjukkan Jokowi menggunakan pendekatan pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan ekonomi di Papua. Apakah pendekatan dialog yang mengangkat martabat Papua, seperti yang dijanjikan dulu, sudah terlaksana?

Reporters Without Borders melaporkan Indonesia ada di poisisi peringkat 130 dari 180 pada 2016 untuk kategori kebebasan pers lantaran berkurangnya akses ke Papua Barat dan terbukti dengan penangkapan sejumlah wartawan asing yang ingin meliput. Jokowi memang sudah menjanjikan kebebasan mengakses informasi pada pertengahan tahun 2015 lalu, namun apakah sampai sekarang sudah ada hitam di atas putih yang tegas menyebutkan kebebasan tersebut? Belum.

Pada Mei 2015, Jokowi sempat memberikan ampunan melalui grasi untuk lima orang tahanan politik di Papua, tapi apakah dialog sudah terlaksana dengan kelompok-kelompok masyarakat di Papua? Tidak ada jaminan. Buktinya, ribuan aktivis Papua ditangkap di sejumlah daerah lantaran menyuarakan pendapatnya.

Sementara itu, Jokowi sempat menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 77 tahun 2014 yang membolehkan pembelian saham Freeport per Oktober 2015. Namun hingga kini, saham tak kunjung dibeli. Tawar-menawar masih berlangsung. Pemerintah Indonesia ingin membeli 10,64 persen saham tersebut seharga US$630 juta. Namun angka tersebut belum disepakati Freeport.

Tapi apakah dengan pembelian saham saja kemudian bisa menyejahterakan warga setempat? Lagi-lagi, bagaimana dengan hak mereka untuk memilih jalannya sendiri dan menyuarakan gagasannya?

Pak Jokowi, PR Anda belum tuntas untuk Papua seperti yang Anda janjikan saat kampanye Pilpres 2014 silam.

Belajar dari Gus Dur

Kalau boleh usul, Pak Jokowi sebaiknya berguru pada pendahulu, Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Gus Dur bisa dibilang memanusiakan warga Papua. Gus Dur telah mengembalikan nama Irian Jaya menjadi Papua meski ditentang DPR.

Pada 1 Januari 2000 saat ia menjabat, Gus Dur juga menyetujui pengibaran bendera Bintang Kejora meski dengan syarat tak boleh lebih tinggi dari bendera merah putih. Greg Barton dalam buku biografi Gus Dur bercerita pria asal Jombang ini bahkan sempat dihujat dan dikritik wakilnya sendiri, Megawati Soekarnoputri dan tokoh politik Golkar Akbar Tandjung. Megawati dan Akbar menilai bendera Bintang Kejora yang kerap diasosiasikan dengan gerakan separatis ini tak boleh dikibarkan.

Gus Dur tak acuh. Ia bahkan menyempatkan diri bertemu pimpinan masyarakat setempat dan mengajak berdialog, belasan tahun silam.

Meski ditentang, ia tetap menunjukkan sikap politik yang jelas: bagaimana menghargai kebebasan berkekspresi dan berpendapat warga Papua. Bagaimana dengan Pak Jokowi? Apa harus menunggu hingga insiden berdarah dulu baru bersikap tegas?

Sumber:
Aghnia Adzkia, jurnalis lulusan UGM, pernah bergabung dengan CNN Indonesia dan menggeluti isu HAM, korupsi, serta kriminal./RapplerIndonesia
Baca juga :