Mega Skandal BLBI, Menguji Nyali Jokowi Membatalkan Keputusan Megawati



Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mendesak Presiden Jokowi mengungkap kejahatan ekonomi terpopuler dalam sejarah Indonesia, yakni BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Tak mau kalah, Indonesia Corruption Watch (ICW) menantang Presiden Joko Widodo berani membatalkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2002 yang dikeluarkan Presiden Kelima Megawati Soekarnoputri. Yang kini menjadi bosnya di PDIP.

Dalam mega skandal BLBI ini, ternyata masih membebani keuangan negara sebesar Rp5.000 triliun. Di mana, penikmat dana BLBI itu, telah merampas kesejahteraan rakyat Indonesia sampai tujuh turunan, atau hingga 2043.

Akibat kejahatan BLBI ini, sungguh memberikan beban berat bagi keuangan negara. Lantaran memicu terjadinya defisit finansial, meningkatkan utang luar negeri. Serta melahirkan kejahatan ekonomi gaya baru dari nilai obligasi rekap perbankan yang tidak transparan.

Sehingga, menjadi sangat wajar apabila Fitra mendesak Presiden Jokowi untuk serius membongkar skandal BLBI sampai ke akarnya.

"Presiden Jokowi bertanggungjawab jika kasus BLBI lenyap dan terjadi kebangkrutan Negara," kata Sekjen Fitra, Yenny Sucipto di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Selain itu, Yenny sangat berharap agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera bergerak untuk membongkar skandal keuangan yang merugikan negara.

"Kita tunggu KPK mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan terhadap seluruh obligator BLBI," tutur Yenny.

Sedangkan, ICW ingin agar Inpres No 8/2002 dicabut. Dalam beleid ini, diatur jaminan kepastian hukum atau tindakan hukum kepada debitur terkait BLBI.

"Presiden Jokowi harus berani membatalkan Inpres itu. Dalam konteks BLBI, kan soal silang sengkarut. Ini kerjaan yang tak pernah tuntas dalam 10 tahun ke belakang," ujar Kepala Divisi Hukum dan Monitoring ICW, Emerson Yuntho.

Dalam Inpres ini, lanjut Emerson, penyelesaiannya berupa pelepasan dan pembebanan kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajiban pemegang saham.

Debitur harus menandatangani sejumlah perjanjian, antara lain Master of Settlenent and Acquisition Agreement (MSAA), Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (APU). Bagi debitur yang tidak menandatangani kesepakatan itu, bakal diberi tindakan hukum yang tegas.

Menurut Emerson, hal itu menunjukkan ada dilema di pemerintahan untuk memilih pengembalian kerugian negara atau diproses secara hukum.

"Ada dua pandangan yang sepertinya pemerintah tidak punya keputusan yang tegas. Yang paling menonjol, penyelesaiannya di luar pengadilan," papar Emerson.

Padahal, lanjut Emerson, penggantian kerugian negara tidak lantas menghapuskan pidananya. Atas adanya Inpres itu, maka orang-orang yang saat itu ditindak di tingkat penyidikan akan dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Sementara bagi debitur yang menjalani perkaranya di pengadilan, maka akan dijadikan novum untuk membebaskan mereka.

Akibat Inpres itu, Kejaksaan menghentikan proses penyidikan terhadap 10 dari 12 tersangka korupsi BLBI tahun 2004.

Alasan penghentian penyidikan itu lantaran para tersangka telah mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Meski sejumlah debitor telah menyerahkan asetnya, tetapi ternyata nilai aset yang diserahkan jauh di bawah nilai yang mereka pinjam dari BLBI.

Bahkan, sebagian besar aset yang diserahkan ke negara, tidak bernilai alias

bodong. Akibatnya, beban keuangan dari skandal BLBI ini bakal menimpa generasi berikutnya
Baca juga :