by Zeng Wei Jian
Jumat, 06 Mei 2016, siang hari, terik, akhirnya aku sampai di bibir Rusunawa Rawa Bebek. Sebuah "mahakarya" (versi ahoker) Gubernur yang disebut "pembohong" oleh Menko Maritim Rizal Ramli.
Rusun Rawa Bebek berlokasi persis di samping jalan inspeksi Kanal Banjir Timur. Sekitar 25 kilometer dari pusat penggusuran Pasar Ikan.
Di sini, sebagian dari 400-an KK korban penggusuran ditampung untuk sementara. Rencananya, mereka akan direlokasi ulang ke rusun layak huni yang saat ini masih dalam proses pembangunan. Berlokasi persis di samping Rusun Mahakarya Ahok ini. Bila gak ada aral-melintang akhir tahun 2016 kelar.
Rusun buat mereka sedang dibangun. Masi rangka beton. Tapi mengapa mereka sudah digusur?
Rencana relokasi ulang masih butuh waktu 7 bulan lagi. Sedangkan dua bulan lagi masa sewa gratis habis. Warga resah. Cemas. Pengurus sudah mengancam akan keluarkan kertas segel. Mereka yang ga mampu bayar iuran dipastikan akan diusir keluar, jadi "gembel-homeless" bahkan sebelum Desember. Ngga berlebihan bila ada yang bilang bahwa penggusuran Pasar Ikan adalah akal-akalan Pemda saja dalam rangka menjadikan mereka "homeless."
***
Sebelum masuk teras dalam rusun, aku ngopi di warung ibu Ros. Lepas lelah. Seorang TNI dan satpam berseragam safari memperhatikan dari bilik posko jaga. Belasan truk parkir di sisi kiri luar. Empat gerobak bakmi kosong dan tenda putih menyendiri di sisi kanan pintu gerbang rusuh. Gerobak-gerobak bakmi itu bagus sekali. Dicat warna merah. Nyala. Bersih. Seperti warna PDI-Perjuangan. Mungkin karena Wagub Djarot adalah orang "partai wong cilik" itu.
Gubernur Ahok bilang, warga Pasar ikan yang digusur diberikan bantuan alat kerja; GEROBAK BAKMI. Ternyata cuma 5 unit gerobak. Sedangkan yang digusur sekitar 2 ribu orang dari 4 RT. 3 dari 5 gerobak itu sampai hari ini tidak dipakai oleh warga ex pasar ikan yang direlokasi paksa ke rusun rawa bebek. Selain ga punya modal usaha, di sana pun sepi manusia. Ga ada orang. Siapa yang akan beli dagangan mereka? Usi Karundeng bilang, "seperti jualan bakso di gurun tandus."
Ternyata Ahok cuma lips-servis saja!
Holidah, ex warga RT 012, bilang, Gubernur Ahok, via bank DKI menjanjikan pinjaman buat modal usah. Besarnya 5-6 juta rupiah. Janji tinggal janji. Sampai saat ini, janji politis itu ndak ada realisasinya. Mungkin, Rizal Ramli benar; Ahok memang pendusta.
Aini, orang Bugis, penghuni lantai dua Tower A mengaku perna coba dagang nasi padang di depan rusun. Gunakan fasilitas gerobak gratis dari Ahok. Dia pinjam modal 500 ribu dari saudaranya. Tidak sampai seminggu Aini merugi. Modalnya ludes.
"Sepi banget pak. Sehari paling-paling laku 3 piring," ratap Aini. "Jadi buat makan sendiri. Sisanya basi."
Aku kira Aini benar, di situ sepi sekali. Tidak ada pohon. Tandus. Panasnya gak kira-kira. Seekor kucing pun ta tampak berkeliaran.
***
Aku mesti isi buku tamu sebelum memasuki area rusun. Ada seorang sersan mayor TNI di pos jaga. Tidak wajar sebuah rusun dijaga TNI. Ini pasti rusun bermasalah.
Rusun ini keren. Mentereng. Ada enam tower. Tiap tower dicat dengan warna beda. Tower A dominan warna hitam. Tower lain betwarna merah, hijau, kuning. Indah. Bersih. Ngga ada pohon besar. Jadi terik matahari siang tak tertahan. Panas sekali. Sepi. Seakan manusia enggan ke sini.
Sebagian pengungsi dari Kampung Aquarium, Kampung baru dan Pasar Ikan ditampung di Tower A & F. Tower lain mulai diisi oleh tenant bujangan (non married individual). Ini rusun komersil. Mirip rumah kost. Harga sewa sebulan 460 ribu. Listrik pake token. Biaya air tergantung pemakaian.
Ketika aku tiba di area kantin, para pedagang kios di Tower A sontak menyambut. Mereka berdiri. Persilahkan aku duduk. Bocah berlarian. Mereka tampak gembira. Sekalipun tidak seceria seperti bocah-bocah di sekitar Masjid Luar Batang.
Seorang lelaki bertanya, "Bapak orangnya Ahok?"
"Oh bukan. Saya anti Ahok," jawabku.
Suasana langsung gaduh. Seorang ibu berkata, "Waah bener tuh pak. Ahok jahat."
Ada yang bilang, "kejem, kita diperlakukan seperti sampah."
Mereka digusur tanggal 11 April lalu. Ani bilang dia bersama keluarga diangkut oleh truk bersama barang-barang bawaan. Setiap truk memuat tiga KK. Pemda juga kerahkan truk sampah dan mobil Satpol PP saat evakuasi warga yang digusur. Mereka ngga tau hendak dibawa kemana saat itu.
Ibu Ros, pemilik warung kopi di luar rusun, tadi bilang, "Sedih pak waktu mereka baru sampe. Semuanya pada nangis."
Selama tiga bulan, warga korban gusuran dibebaskan dari biaya sewa. Setelah itu mereka harus bayar uang sewa, 300 ribu sebulan. Di luar biaya air dan listrik. Warga mengeluh soal kualitas air yang buruk. Mereka harus beli air mineral untuk minum. PAM belum ada. Soal pulsa token listrik hanya bisa diisi dengan membeli dari pengurus rusun. Ani pernah coba isi pulsa dari luar. Namun gagal. Warga curiga itu dimonopoli petugas.
Tower A punya 12 'ruko'. Ukurannya 1x3 meter. Warga korban gusuran bisa dagang di situ. Etalase disewa seharga 50 ribu. Sedangkan ruko dilepas dengan biaya 300 ribu per bulan. Hanya ada 2 ruko yang disewa; buat jual kopi, gula, kecap. Satu lagi digunakan sebagai konter pulsa selular.
Di kantin itu warga berkeluh kesah. Mereka cerita soal penyakit kulit akibat serangan serangga "tomcat" dan nyamuk. "Di pasar ikan, ga ada nyamuk sebanyak di sini. Kalo malem, di sini juga gerah," kata Ani. Semua warga menyampaikan hal serupa.
***
Holidah dan beberapa warga minta aku naik mensurvei lantai 2. Kata mereka, aku bole masuk ke dalam dan mengambil gambar kamar warga.
Aku memilih meniti tangga. Ada lift, pintunya berwarna silver. Mulai kotor. Di sampingnya, ada plakat butir-butir larangan perilaku tenant. Selain dilarang bawa senjata tajam, tenant juga dilarang stel musik dengan suara volume suara keras. Agar tidak mengganggu ketenangan.
Daeng Nasri mempersilahkan aku masuk. Dia berkumpul dengan istri, tiga keponakan perempuan dan seorang cucu sekitar 10 tahunan.
Kamar rusun ini kecil. Ukurannya 24 meter persegi. Cuma ada 2 toilet basah & kering. Mereka dipinjami lemari baju, tempat tidur tanpa kasur dan meja kecil. "Semua ini bukan milik kita. Cuma dipinjami," kata Desi.
Aku tanya di maja kompor? Mereka serempak antar aku bagian tengah ruang lantai dua itu. Rupanya, rusun menyediakan dapur outdoor. Setiap kamar punya satu dapur. Ada nomor-nomor sesuai dengan nomor kamar rusun.
Dapur outdoor itu diskat jeruji kawat tipis. Ukuran masing-masing 1x1,5 meter. Mirip kandang monyet. Di situ pula, tempat pakaian dijemur.
Aku kira, Ahok cukup "brilian" dalam tanda kutip.
Panas minyak goreng ikan bisa membantu proses pengeringan pakaian. Tapi menurut netizen Hans Gosevik, bila ada yang masak terasi maka pakaian pun bisa bau terasi. Entahlah.
Yang pasti, warga komplen. Segmen rusun untuk dapur (sekaligus tempat jemur baju) itu semi-terbuka. Banjir bila hujan. "Tampiyas pak," kata Desi.
Siang itu, angin berhembus kencang. Aku heran, apakah bisa nyalakan api kompor dengan angin segitu kencang.
"Itulah bodohnya si Ahok pak," kata Aini.
***
Dua bocah ex warga pasar ikan bersandar di tiang beton rusun rawa bebek. Tampaknya mereka jenuh. Tidak ada ayunan, kelereng, hingar-bingar bocah lain, play station, dangdutan, lumpur becek, sepak bola, suara azan, beduk atau apa pun permainan bocah. Mereka ditangkar dalam sangkar sok-mewah yang disebut sebagai "mahakarya ahok" oleh media nasional. Mereka tidak lagi menjadi bocah manusia.
Entah, apakah kejiwaan mereka sesehat seperti dulu ketika mereka masi bisa kejar-kejaran di lorong sempit kampung luar batang...?
Orang tua mereka jadi lebih sering bertengkar. Mama cemberut melulu. Bapaknya kepusingan cari duit di tempat baru. Mereka terancam jadi "homeless" bila tak mampu bayar iuran per bulan. Sumber rezeki mereka dihancurkan deco-deco suruhan gubernur Ahok. Kemana bocah-bocah ini akan meratap.... dan berteduh?
Bocah-bocah itu tidak terlalu paham dilema orang tua mereka. Mereka hanya merasa ada sesuatu yang berubah pasca mereka "direlokasi". Mereka harus tetap riang sekali pun bapak mereka harus bangun lebih pagi bila tak hendak ketinggal bus gratis dari pemda.
Awalnya, Gubernur Ahok sediakan 3 unit busway gratis antar-jemput antara rusun dan terminal pulogebang. Sekarang tinggal 1 unit. Busway ini datang secara berkala; pukul 5 subuh, 10 siang, siang sekitar jam 2 & terakhir sekitar magrib. Sebagian kepala keluarga masih ngotot berdagang apa saja di sekitar pasar ikan. Ada juga buruh pabrik. Jadi setiap hari mereka harus berangkat lebih pagi. Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam, bila ngga macet.
Warga yang ketinggalan busway harus sewa ojek ke stasiun kereta Cakung. Biaya ojek berkisar 15 ribu. Pulang pergi 30 ribu dikali 30 hari misalnya. Jelas, mereka jadi resah soal bayar uang sewa di Bulan Agustus nanti. Ada warga relokasi alih profesi jadi tukang ojek di sana. Pasar tempat mereka berdagang di pasar ikan juga dilenyapkan Pemprov. Sejumlah orang jadi pengangguran dan mencari nafkah serabutan.
Para ibu juga bingung. Lokasi rusun jauh dari pasar. Mesti naik ojek bila mau beli sayur. Biayanya 10-15 ribu. Bila di pasar ikan mereka bisa ke Museum Fatahila, Galangan VOC, Beos, Jembatan Merah, di rusun ini tidak ada hiburan apa pun. Pengurus larang stel musik dengan suara keras. Lagipula, biaya token listrik mereka meroket. Seminggu minimal 50 ribu. Sedangkan dulu, mereka hanya mengeluarkan sekitar 120 ribu per bulan. Sehingga sekarang mesti hemat listrik. Kipas angin dan tivi jarang diaktifkan.
Aku bertanya kepada Ibu Zuronah, apa kegiatannya di siang hari. "Ya turu aza," tuturnya. Mau ngapain lagi. "Turu" adalah bahasa Jawa, artinya "tidur".
Sebelum pulang, aku ambil gambar dan kongkow di kedai gerobak Zaronah. Di sana ada Arif Fadilah, anak SMP berusia 12 tahun bilang, "Di sini ga enak om. Ga ada apa-apa. Jauh lebi enak di pasar ikan." Mukanya jadi redup saat ia ingat memori di Pasar Ikan.
THE END
___
*Sumber: fb