Golkar Dipimpin Politisi Keturunan China ?


Bukan mengungkit sentimen rasialis ataupun primordial, tetapi terpilihnya Setyo Novanto disebut-sebut sebagai akibat dukungan kuat Luhut Panjaitan, Menteri Koordantor Bidang Politik, Hukum dan HAM.

Dengan kata lain, keberhasilan Setyo Novanto merupakan bagian dari agenda politik pemerintahan Joko Widodo.

Setyo Novanto sendiri sejauh ini disebut-sebut sebagai politisi senior Golkar yang secara cerdik berhasil "menyembunyikan" asal usul keturunannya.

Novanto diyakini sebagai WNI keturunan Tionghoa. Keyakinan itu menguat setelah melihat para undangan yang menghadiri pesta pernikahan puterinya tahun lalu.

Sebagian besar undangan, termasuk besannya Novanto berasal dari komunitas keturunan Tionghoa.

Sementara apakah hanya secara kebetulan saja, waktu keberhasilan Setyo Novanto memenangkan persaingan memperebutkan kursi Nomor Satu di Golkar, muncul ketika Luhut Panjaitan baru saja memposting tulisannya yang berisi tentang sejarah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), memutuskan hari yara Imlek sebagai hari raya nasional.

Postingan Luhut Panjaitan, mengulas keputusan Presiden Gus Dur di tahun 2.000 itu, sambil 'membela' WNI keturunan Tionghoa seperti Basuk Tjahaja Purna alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta saat ini.

Luhut juga antara lain mengingatkan sejumlah peran kepahlawanan yang dilakukan oleh seorang perwira TNI Angkatan Laut, almarhum, Laksamana John Lie. Almarhum, berkat jasa-jasanya pada negara, dikubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Lantas Luhut bertanya, masih perlukah bangsa ini mempersoalkan eksistensi pribumi dan non-pribumi ?

*****

Terpilihnya Setya Novanto sendiri sebagai Ketua Umum DPP Golkar, subuh pagi (Selasa 17 Mei 2016 -red) di Bali, menimbulkan berbagai reaksi. Lain di internal Golkar beda pula reaksi di luar.

Bagi internal Golkar, khususnya peserta Munas Luar Biasa, para kandidat Ketua Umum dan Panitia Pengarah, terpilihnya Setyo Novanto telah mengembalikan marwah demokrasi Indonesia yang sebenarnya.

Tidak heran kalau sampai Yasin Limpo yang sehari-hari menjabat Gubernur Sulawesi Selatan dan menjadi pesaing Novanto di Munaslub Golkar Satu, sangat senang dengan keterpilihan Setyo Novanto, yang mantan Ketua DPR-RI tersebut.

Limpo tidak merasa ada yang kalah, karena semua calon Ketua Umum yang menjadi pesaing Setyo Novanto merasa semua pihak menang.

Sedang bagi eksternal, masih terpecah. Ada yang melihat aneh, karena masalah yang dihadapi Setyo Novanto dalam apa yang disebut pencatutan nama Presiden yang dikenal dengan "Papa Minta Saham", sebetulnya belum selesai.

Eksternal lain seperti pemerhati tindak korupsi ICW (Indonesia Corruption Watch) menilai, keterpilihan Novanto akan semakin memperburuk citra Golkar.

Partai ini kompromistis dengan koruptor dan tindak transaksional dalam dunia politik.

Manuver politik Novanto pun dianggap luar biasa. Ia terpilih sebagai nakoda baru di partai tertua di Indonesia, sekalipun permasalahan politik yang dihadapinya terutama yang berbau skandal, relatif cukup banyak. Ada kasus E-KTP, Freeport, Bank Bali dan entah apa lagi.

Tetapi ada pula yang menilai, peran pemerintahan Joko Widodo dalam "mengobok-obok" melalui Golkar, melalui Menko Polhukam, Luhut Panjaitan, sangat kuat.

Pemerintahan Joko Widodo sudah mampu 'mendikte' apa yang harus dilakukan oleh sebuah partai besar di era sekarang.

Demikian hebatnya peran pemerintahan Joko Widodo, karena selain mampu melakukkan intervensi ke dalam Partai Golkar, rezim bekas Walikota Solo ini juga bisa mendikte Golkar untuk keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP). Otomatis kalau KMP diadu tarung dengan KIH (Koalisi Indonesia Hebat), Joko Widodo tak perlu khawatir lagi.

Penulis berpendapat dalam melihat dan menilai Golkar sebagai partai politik, sebaiknya kita tidak lagi menggunakan rumusan-rumusan yang ada dalam teori ilmu politik. Kalau rumusan itu yang dijadikan ukuran, bukan Setyo Novanto yang terpilih.

Dengan tidak menggunakan paradigma seperti itu, kita bisa melihat, betapa Golkar, dalam kiprah survivalnya, bisa seperti Partai Komunis Indonesia (PKI).

Partai politik ini secara resmi sudah dilarang hidup sejak lima dekade lalu.

Pelarangannya sangat kuat karena melalui TAP MPR-RI (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia).

Namun dalam realitanya PKI hanya 'beristirahat' atau melakukan "fiesta" beberapa dekade.Sebab Belakangan PKI disebut-sebut sudah bangkit kembali dalam bentuk PKI Gaya Baru. PKI sudah bisa bikin simposium di Hotel berbintang bahkan mendapat dukungan dari beberapa oknum jenderal pensiunan.

Golkar pun kurang lebih demikian.

Sesuai salah satu tujuan Gerakan Reformasi 1998, menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan, otomatis sama dengan mengakhiri kekuasaan dan dominasi Golkar di berbagai sektor kehidupan. Soalnya Soeharto selain penguasa, juga merupakan pimpinan tertinggi di Golkar.

Dengan bergantinya rezim, di atas kertas dominasi Golkar pun ikut berakhir.

Setelah Soeharto digantikan BJ Habibie, pemerintahan Presiden Golkar sudah berakhir per Mei 1998.

Tapi nyatanya tidak demikian. Pemerintahan RI sampai Oktober 1999, selama Habibie berkuasa, tetap dikendalikan oleh tokoh penting Golkar.

Selain Habibie merupakan anggota Dewan Pembina Partai Golkar, dalam pembentukan kabinetnya, Habibie tetap merekrut tokoh Golkar untuk mengisi kursi penting dan startegis.

Mula-mula Akbar Tanjung sebagai Menteri Sekretaris Negara yang kemudian digantikan Mulyadi SH, Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang.

Dan kalau posisi Setneg disamakan dengan kedudukan sentral dan stratetis dalam pemerintahan RI, itu berarti, sekalipun terjadi pergantian kekuasaan melalui reformasi, tetapi kendali negara dan pemerintahan tetap berada di tangan Golkar.

Setelah Habibie digantikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, situasi politik Indonesia tidak berubah secara signifikan. Golkar masih tetap berada di lingkar kekuasaan.

Antara lain terjadi karena Gus Dur sendiri di era 1980an, tatkala menjadi Ketua Umum PB NU, juga sempat didaulat oleh rezim Orde Baru sebagai anggota legislatif pusat mewakili Golkar.

Memang ketika Gus Dur dijadikan oleh Presiden Soeharto sebagai anggota MPR-RI mewakili Golkar, bisa begitu karena saat itu, siapapun yang terkesan memiliki pengaruh dan kelebihan, cepat atau lambat akan di-Golkar-kan oleh pemerintah.

Dua pimpinan partai politik saat itu seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), pimpinannya juga berada di tangan politisi yang dekat dengan Golkar.

Dr John Naro SH yang menjadi Ketua Umum PPP, selain dikenal sangat dekat dengan kekuasaan Orde Baru, di era itu ia juga mendapat jatah sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung - DPA, semacam badan penasehat Presiden RI.

Demikian pula Soerjadi, Ketua Umum PDI yang menggantikan Mh. Isnaeni, Wakil Ketua DPR/MPR-RI.

Soerjadi dikenal sebagai sahabat pentolan Golkar yakni Wanandi Bersaudara - Jusuf dan Sofyan Wanandi dari CSIS. Soerjadi bahkan merangkap sebagai Presiden Direktur PT Aica Aibon, perusahaan milik Wanandi Bersaudara.

Ketika pemerintahan RI beralih ke Megawati Soekarnoputri (2001 - 2004), tidak banyak yang memperhatikan bahwa sejumlah anggota kabinetnya putri Proklamator itu merupakan kader Golkar.

Kader Golkar Syamsul Muarif misalnya menduduki posisi "Menteri Penerangan". Sementara Sri Rezeki yang di tahun 1977 terpilih sebagai anggota DPR-RI termuda, menjadi Menteri Pemberdayaan Wanita di kabinet itu.

Beralih ke pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Adalah kader Golkar, Paskah Suzeta yang dipercaya SBY menjadi Menteri Bappenas (Badan Perancang Pembangunan Nasional). Lalu bekas PNS yang identik dengan pendukung utama Golkar - Dr. Boediono dijadikan sebagai Menteri Keuangan, kemudian bahkan Wakil Presiden.

Sehingga munculnya reformasi, tidak otomatis diikuti oleh hilangnya pengaruh Golkar.

Di era Presiden Joko Widodo, pengaruh Golkar itu bahkan mampu menggeser PDIP.

Partai ini, PDIP, sekalipun menjadi kendaraan politik Presiden Joko Widodo di Pemilu Presiden 2014, nyatanya tidak mampu mendikte siapa saja yang boleh dan tidak berada dalam rezim Joko Widodo.

Itu terjadi - antara lain, karena Golkar yang demikian kuat sehingga berhasil masuk dalam pemerintahan Jokowi. Kekuatan itu berada pada diri Jusuf Kalla (Wapres) kemudian Luhut Panjaitan (Menko).

Bisa juga berada pada diri Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, mantan Sekjen PDIP, tetapi sejatihnya kader Golkar sejak di ormas KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), lenbih dari 30 tahun lalu.

Itu sebabnya setelah Setyo Novanto menjadi Ketua Umum Golkar, Ade Komarudin selaku Ketua DPR-RI dan sejumlah politisi Golkar menguasai beberapa jabatan startegis, relevan untuk dipertanyakan - masih adakah kekuatan politik yang dikontrol oleh Joko Widodo atau PDIP?

Silahkan cari jawabannya sendiri. Jangan hanya terus berkutat pada pro kontra soal pribumi dan non pribumi.

Penulis: Derek Manangka
Editor: Tim Piyungan Online
Baca juga :