Apapun Tragedinya, Jangan Matikan Mata Hati!


Otak saya yang bodoh dan jiwa yang kurang ibadah ini bisa merasakan, seseorang yang sering dicap "berjatuhan di medan dakwah" atau "laisa minnaa" atau "infirodi", ternyata memiliki daya jelajah amal yang membuka hijab langit.

Pengorbanan ide, harta, hingga tenaga lebih subur dibandingkan yang nyaring dalam nyanyian. Ia tak tertarik dengan gelitik intrik, atau konflik dunia politik. Baginya, menjadi solusi bagian terbaik memanfaatkan fase hidup nan tinggal hitungan detik.

Apakah hal ini ada kaitan dengan hidayah Allah itu sangat erat dengan BASHIROH. Karena awam, saya harus mencari lebih jauh tenyang BASHIROH. Saya pun menemukan bahwa Bashirah itu bermakna (bahasa) hati nurani atau kata hati atau hati kecil untuk menyebut kejujuran seseorang atas diri sendiri.

Kata nurani berasal dari bahasa Arab yang artinya cahaya, sehingga hati nurani dapat disebut sebagai cahaya hati atau lubuk hati yang terdalam. Dalam bahasa Arab, hati nurani sesuai konteks tersebut disebut bashirah.

Dalam Madaarij Ass-Saalikin (146) dikatakan, "Bashirah adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati. Dengan hati (yang telah ada bashirah) ia dapat melihat hakikat dari setiap kabar yang diberitakan para rasul, seakan ia melihat dengan mata kepala sendiri. Oleh karena itu, ia dapat meresapi manfaat nilai-nilai yang diserukan para rasul.

Tentang Bashiah ini diisyaratkan dalam surat Al-Qiyamah 14-15: "Bahkan manusia itu mampu melihat diri sendiri, meskipun dia masih mengemukakan alasan-alasannya (Q.S. Al-Qiyamah/75:14-15).

Sebagian mufasir, antara lain Al-Farra’, Ibn ‘Abbas, Muqatil dan Sa’id ibn Jabir menafsirkan bashirah pada ayat ini sebagai mata batin. Penafsiran ini dikutip oleh Al-Maraghi, dan Fakhr Al-Razi menafsirkan dengan akal sehat. Sedangkan Ibn Qayyim Al-Jauzi berpendapat, bashirah adalah cahaya yang ditiupkan Allah ke dalam Qalb, oleh karena itu ia mampu memandang hakikat kebenaran seperti pandangan mata.

Dari ragam pengertian di atas, saya memahami bashirah itu dalam empat arti, yaitu (a) ketajaman hati, (b) kecerdasan, (c) kemantapan dalam agama, dan (d) keyakinan hati dalam hal agama dan realita. Dalam surat Yusuf / 12:108 disebutkan: "Katakanlah, inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata (bashirah) (Q.S. Yusuf 12:108).

Oleh karena itu, bashirah tidak ditentukan oleh seberapa banyak hapalan Al-Qur'an, hadis, atau seberapa dalam pendalaman keilmuan tentang teks-teks konseptual. Bashirah justru ditentukan pada ketajaman mata hati untuk memaknai realita kekinian tanpa mengharuskan terlebih dahulu penguasaan terhadap teori-teori ilmu.

Kasus perbedaan pendapat atau konflik antara Gubernur Mu'awiyah dan Khalifah Ali misalnya. Saat Mu'awiyah berseteru dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah dikirimi surat dukungan dan rayuan dari Raja Romawi yang menawarkan backup militer. Namun tawaran yang menggiurkan itu dijawab Mu'awiyah, "Kami akan mengirimkan kepada kalian balaltentara yang kepalanya di depan istana kalian, dan ekor pasukan di istana kami." Mu'awiyah tidak tertarik sedikitpun untuk dimanfaatkan musuh-musuh Islam.

Maka apapun tragedinya. Matahati tak boleh buta. Tutuo celah, musuh untuk memecah belah. Jangan terlena menghalalkan segala cara, demi sesuatu yang sementara.

Wallahu A'lam

Penulis: Nandang Burhanudin
Baca juga :