68 Tahun Sesudahnya, Bangsa Palestina Masih Mengingat “Nakba”

(Palestinian boy holds a key maket during a ceremony marking the 68th anniversary of Nakba, also known as Day of the Catastrophe, in Gaza City, Gaza, on May 15, 2016. (Ali Jadallah - Anadolu Agency)

Oleh Anees Barghouti*

Ahmed Safi, seorang warga Palestina berusia 89 tahun, awalnya berasal dari desa Beit Nabala di lokasi yang sekarang menjadi Israel tengah. Tapi Nabala tak lagi ada: desa itu digusur hingga rata oleh tentara zionis setelah pendirian Israel 68 tahun yang lalu (15 Mei 1948).

“Saya mengingat Nakba seakan-akan itu terjadi kemarin,” sebut Safi pada kantor berita Turki Anadolu Agency, “saat preman-preman Israel menyerbu desa kami, menghancurkan rumah-rumah kami dan mengusir kami dari tanah kami sendiri.”  

Bangsa Palestina menggunakan kata “Nakba” (bahasa arab dari ‘bencana besar’) untuk merujuk kepada penghancuran ratusan desa-desa di wilayah Palestina dulunya – dan pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari tanah mereka oleh preman-preman Zionis bersenjata – dengan tujuan memberi jalan bagi pendirian Negara Israel pada tahun 1948.

Safi ingat ia menyaksikan kedua orangtuanya berkemas-kemas dan meninggalkan rumah mereka dengan tergesa-gesa. “Kami dihadapkan pada pilihan untuk meninggalkan rumah kami atau dibantai oleh Israel,” sebutnya.  “Sudah lewat 68 tahun sejak saya dipaksa untuk meninggalkan desa saya, tapi saya tak akan pernah melupakan tanah leluhur saya,” tambahnya.

Masih memegang kunci rumahnya yang telah lama hilang, Ahmad menekankan: “Dikembalikannya tanah kami adalah hak setiap orang Palestina. Jika saya meninggal sebelum dapat kembali ke desa saya, anak saya atau cucu-cucu saya pada akhirnya akan kembali; kami tak akan pernah melepaskan hak kami untuk kembali,” sebut Safi.

Pesan kepada dunia

Di Bethlehem, puluhan warga Palestina keluar dari kamp pengungsi Dheisheh menuju Jerusalem untuk menandai "Hari Nakba", yang jatuh pada tanggal 15 Mei setiap tahunnya. “Hari Nakba akan menjadi pengingat bagi seluruh dunia akan hak kami untuk kembali ke desa-desa dan kota kami yang hilang,” sebut Monther Amira, yang membantu mengorganisasi aktivitas perayaan hari Nakba tahun ini kepada Anadolu Agency.

“Ini memperingati 68 tahun lamanya pengusiran dan perjuangan bangsa Palestina,” sebutnya. “Ini juga sebuah pesan bahwa generasi baru bangsa Palestina tak akan pernah melupakan tanah air leluhur mereka.”

Mohamed Karam, seorang Palestina berusia 25 tahun dari kamp pengungsi Dheish, menyebut bahwa ia bermimpi –setiap hari- untuk kembali ke rumah leluhurnya. “Saya tak akan pernah melepaskan hak saya untuk kembali ke kota Yaffa, dimana kakek saya diusir 68 tahun yang lalu,” sebutnya pada Anadolu Agency.

Ameena Abdullah, 13 tahun, berasal dari sebuah desa didekat Jerusalem, telah mendengar berbagai cerita dari neneknya mengenai kampung halaman keluarga mereka di Lifta.

“Saya tak pernah mengunjungi atau melihat Lifta, tetapi cerita-cerita nenek saya menciptakan sebuah gambaran indah mengenai seperti apa Lifta sebelum terjadi tragedi Nakba,” sebutnya. Ameena menyebut bahwa meski ia belum lahir disaat pengusiran itu, ia juga memiliki hak untuk kembali. “Suatu hari saya akan kembali ke desa saya dan membangun sebuah rumah baru disana,” sebutnya. Mengulangi sentimen yang sama diantara bangsa Palestina, ia menambahkan: “Saya tak akan pernah menyerahkan tanah saya.”

Abbas Zaki, anggota terkemuka dari kelompok Fatah, menyebut bahwa “Hari Nakba” menjadi pengingat bagi dunia mengenai ‘rezim rasis’ Israel yang didirikan “dari reruntuhan desa-desa arab dan darah rakyat Palestina”.

“Kami tak akan melupakan hak para pengungsi Palestina untuk kembali ke desa-desa dan kota-kota kuno mereka," ujarnya.

Perlawanan yang terus berlangsung

Bassam al-Salhi, seorang anggota dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), menyebut bahwa Hari Nakba tahun ini terjadi disaat ‘Intifada’ Palestina sedang berlangsung. 

“Kami akan terus melawan pendudukan Israel hingga kami membebaskan tanah kami, mendirikan sebuah Negara merdeka dan para pengungsi kembali ke rumah mereka,” sebut al-Salhi. “Hak untuk kembali adalah sebuah warisan Palestina yang tak akan terhapus,” sebutnya.

Mohamed Alyan, yang mengepalai Komisi Peringatan Hari Nakba memberitahu Anadolu Agency bahwa, setiap tahun, bangsa Palestina menunjukkan bahwa mereka tak akan pernah melupakan “bencana besar” ini.

“Ribuan warga Palestina turun ke jalan-jalan untuk menandai 68 tahun sejak terjadi Nakba,” sebutnya, menandai bahwa baik orang tua dan muda telah mengambil bagian dalam berbagai aktivitas hari Nakba di seluruh Tepi Barat. “Kenangan dari Nakba dan hak untuk kembali akan diwariskan dari generasi ke generasi,” sebut Alyan.

Konflik Israel-Palestina dimulai pada 1917 saat pemerintah Inggris, dalam “Deklarasi Balfour” yang termahsyur itu, mengimbau “pendirian sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina”. Pada 1948, sebuah Negara baru –“Israel”- didirikan didalam wilayah yang dalam sejarah merupakan wilayah Palestina.

Sekitar 15 ribu warga Palestina terbunuh, 800 ribu terusir, dan 531 desa arab diserang oleh kelompok bersenjata Yahudi pada waktu itu.

Diaspora Palestina setelah itu menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Para pengungsi Palestina sekarang tersebar di Yordania, Lebanon, Suriah dan Negara-negara lain, sementara banyak yang sesudahnya tinggal di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat yang diduduki Israel dan Jalur Gaza yang diblokade Israel.

Menurut UN Relief and Works Agency (UNRWA), sekarang ada lebih dari 5 juta pengungsi Palestina yang terdaftar. Bagi banyak rakyat Palestina, hak untuk kembali ke rumah mereka di Palestina tidak hanya tuntutan politik utama, tetapi juga hak asasi manusia yang fundamental.[portalpiyungan]

Sumber: Anadolu Agency

Baca juga :