Di penghujung Desember 2015, seorang gadis belia, Fatimah masih dag dig dug. Abi dan Uminya yang berjanji akan mengambilkan rapor perdananya masih belum datang. Rautnya harap-harap cemas. Satu per satu para orang tua siswa datang ke Pesantren Darulhijroh di sudut Nguter, Sukoharjo.
Siswi kelas satu SMP ini masih celingukan, menanti sang Ayah yang sudah berjanji akan mengambil raportnya. Sudah lama mereka tak bersua. Pesantren Fatimah hanya mengizinkan dirinya pulang ke rumah sebulan sekali tiap Kamis awal bulan.
Dan kini, hari mendebarkan pun tiba. Siyono ditemani istri tercintanya, akhirnya datang untuk mengambil raport sang anak sulung.
“Abi bersama Ummi datang mengambil rapor,” Fatimah mengenangkan sosok almarhum Siyono, kepada wartawan anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU) dengan mata berkaca-kaca.
Dengan wajah berseri-seri Fatimah akhirnya bersua dengan sang Abi. Siyono datang pagi-pagi memenuhi janjinya.
“Nak, nanti Abi belikan sendal eiger,” kata Fatimah menirukan ucapan ayahnya.
Sambil duduk manis, satu per satu wali murid dipanggil ke depan. Fatimah masih gusar, seperti apa rapornya? Apakah nilainya bagus? Ranking berapa?
Dan giliran Siyono kin maju ke depan. Fatimah hanya melirik malu-malu. Ini adalah raport pertamanya setelah satu semester sekolah SMP di Pesantren sambil mondok. Dag dig dug terasa tak karuan.
Setelah map rapor diterima Siyono, Fatimah pun mendekat. Dengan tersipu, takut dimarahi sang Ayah, Fatimah ingin tahu hasil raportnya. Rupanya, ia rangking 13 dari 42 siswa. Dikira sang Ayah akan marah, Siyono malah berkata lembut.
“Jangan lupa belajar. Solat tepat waktu ya nak. Tidak pinter ga apa-apa, yang penting kamu paham agama,” kenang Fatimah, mengulang nasehat yang rupanya menjadi nasehat terakhir sang Abi.
Hari pengambilan rapor adalah hari istimewa bagi Fatimah. Ia tak kan pernah melupakannya, bahwa itu hari terakhir sosok sang Abi mengambilkan raport untuk dirinya.
Bulir-bulir bening masih berkumpul di sudut matanya. Dengan stelan gamis dan kerudung coklat, ia sejenak menepuk-nepuk memorinya. Kepergian seorang ayah untuk selamanya merupakan pukulan terberat bagi seluruh anak di manapun, tak terkecuali anak sulung Siyono. Namun, kenangan itu masih tersimpan dengan apik.
Fatimah tak kuasa menahan bulir bening yang tak terasa sudah meleleh melewati pipinya. Sambil menghela nafas, ia menuturkan bahwa ayahnya sosok yang sangat mementingkan agama, namun di sisi lain sangat memerhatikan kebahagiaan sang anak.
Fatimah menceritakan kenangan manis dalam hidupnya bersama sang ayah. Sarana bermain yang terletak di Jalan Wonosari Km, 10 Yogyakarta, menjadi saksi beberapa tahun silam saat dirinya diajak almarhum berkunjung ke wahana permainan Kids Fun.
“Kenangan manis yang saya ingat saat wisata ke Kids Fun, Jogja, bersamanya,” kenangnya tak kuasa menitihkan air mata.
Tangan kecilnya sesekali memegang kerudungnya yang terangkat tertiup angin. Dengan menaikkan alisnya, Fatimah berkata dengan lirih masih teringat canda tawa terakhir bersama Siyono, saat beliau pulang dari Gorontalo ketika kakeknya meninggal.
***
Kini, dirinya sudah berubah 180 derajat dari anak-anak seumurannya. Sejak musibah 8 Maret itu, saat jenazah sang ayah diantar Densus 88, keceriaan Fatimah seakan telah hilang, berganti dengan kemuraman. Hanya saja, nasehat sang Ayah menjadi peneguh dirinya.
Nasehat terakhir kali yang menjadi penawar, bahwa dirinya harus meneruskan cita-cita Abu dan Ummi. “Saya ingin menjadi guru, melanjutkan perjuangan mereka,” tuturnya.
Keseriusannya dalam pendidikan agama untuk membuktikan kepada almarhum kalau dirinya dapat menjadi anak paham agama.
***
Mentari mulai terbenam, hamparan sawah satu persatu ditinggal empunya. Speaker Masjid Muniroh mulai berbunyi. Kumandang adzan Magrib menggantung syahdu di langit Klaten, berkawan kenangan manis Fatimah yang masih terisak. Sudah saatnya kami pamit.
Tangisnya sudah mereda. Senyumnya mulai tersimpul. Sudah hampir sebulan, ia mulai menata kembali keceriaanya yang dulu tak kuasa menahan tangis hebat begitu ayahnya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Mungkin, hanya ada satu janji Siyono yang masih belum tertunai.
“Aku ingat janji abi ingin membelikan sandal Eiger,” ucapnya haru, sampai membasuh matanya yang kembali berair.
Kini, janji Siyono memang tak tertunaikan. Sandal Eiger hadiah sang Ayah hanya tinggal impian. Tapi, Fatimah berjanji akan selalu mengamalkan nasehat terakhir sang Ayah, berjuang meneruskan perjuangannya, agar menjadi seorang gulu kelak, dan menjadi muslimah yang paham agama. Walau sang Ayah tinggal kenangan, cita-cita gadis belia ini tak akan padam.
“Jangan lupa belajar. Solat tepat waktu ya nak. Tidak pinter ga apa-apa, yang penting kamu paham agama,” kenang Fatimah, mengulang nasehat yang rupanya menjadi nasehat terakhir sang Abi.
(Sumber: Kiblat)