Sepanjang tahun lalu, berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, ada 113 kasus penggusuran paksa oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Penggusuran itu merugikan 8.315 kepala keluarga dan 600 unit usaha. Sebanyak 84 persen penggusuran dilakukan secara sepihak.
Itu belum termasuk penggusuran yang dilakukan sejak awal hingga menjelang tengah tahun ini. Merujuk pada data tersebut, sejarawan Betawi JJ Rizal menyebut Ahok sebagai Gubernur Jakarta yang paling sering menggusur warganya.
Penggusuran pada era Ahok, kata Rizal, bukan hanya sering terjadi, tapi juga dilakukan dengan pendekatan kekerasan, stigatisasi, bahkan teror. Ia menuding Ahok tak mengedepankan dialog sebelum menggusur.
“Sejarah penggusuran yang paling rutin dan tanpa pendekatan kemanusiaan, justru terjadi sekarang. Periode Ahok penggusuran paling brutal dalam sejarah,” ujar Rizal di Serang, Jumat 29 April 2016.
Pun ganti rugi dan jaminan atas kehidupan dan pekerjaan warga yang digusur, menurut Rizal, tidak dipikirkan oleh gubernur.
“Ini lembaran paling hitam dalam sejarah penggusuran, bagaimana pemerintah hadir dalam wajah yang paling menyeramkan,” kata Rizal.
Rizal mencatat, kasus penggusuran pertama di Jakarta yang bermasalah terjadi pada masa penjajahan. Ketika itu, pemerintah kolonial Belanda banyak merampas tanah rakyat pribumi untuk membangun Kompleks Menteng.
Penggusuran dilakukan tanpa pertanggungjawaban. Kasus itu mencuat pada 1930-an. Husni Thamrin –pahlawan nasional asal Betawi yang berayahkan seorang Belanda dan beribukan Betawi– pun kala itu ikut menggugat.
Sementara di masa Orde Lama, penggusuran dimulai pada masa Wali Kota Sudiro. Saat itu Satuan Polisi Pamong Praja mulai hadir pada aksi-aksi penggusuran era 1950-an. Salah satunya di kawasan Hotel Indonesia. Bung Hatta saat itu bahkan sempat melayangkan protes.
Bagi Rizal, yang menarik adalah penggusuran di kawasan Senayan untuk membangun Kompleks Gelora Bung Karno. Presiden Sukarno turun langsung dalam rencana pembangunan dan penggusuran itu.
Setelah menemukan tempat yang tepat melalui potret udara di pesawat, Bung Karno mendatangi sahabatnya Haji Muntako untuk berdialog. Dia meminta agar para sesepuh dan orang yang dianggap berpengaruh di Senayan dikumpulkan untuk sosialisasi rencana pembangunan.
“Bung Karno berdialog tentang rencana itu, sampai pohonnya dihitung. Bukan hanya tanah, tapi pohon dan buahnya pun dibayar. Disediakan tempat baru buat warga di Tebet. Diganti semua dan sangat manusiawi,” kata Rizal.
Sementara pada Orde Baru, pembangunan gencar dilakukan. Gubernur Ali Sadikin tidak lepas dari aksi menggusur. Namun, menurut Rizal, Bang Ali menggunakan cara-cara persuasif dan penuh dialog.
Ali memperhatikan ganti rugi dan kebutuhan warga sebelum tempat tinggal mereka digusur, sehingga warga menerima program pembangunan kala itu. Bahkan ada warga yang dengan sukarela mewakafkan tanah mereka.
“Justru penggusuran paling tidak manusia itu dilakukan di masa ini, di mana nilai-nilai kemanusiaan menjadi mahkota reformasi,” kata Rizal.