[Fakta] Mengapa Ahok Tak Disukai Publik?



Kalaulah postingan di berbagai media sosial tentang Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dilihat dengan kacamata yang lebih kritis, bakal muncul sebuah pemahaman baru.  Yaitu munculnya kelompok masyarakat yang begitu marah dan tidak suka terhadap BTP. Alasannya sederhana. BTP dijadikan sosok tumpangan kepentingan oleh para konglomerat keturunan Tionghoa. Para konglomerat menjadikan BTP sebagai "pintu masuk" ke kekuasaan yang tertinggi di Indonesia.

Jadi kemarahan muncul bukan hanya karena BTP ambisius dan tidak tahu diri. Bahwa memang benar ada faktor yang langsung terkait dengan sifat, penampilan BTP, karena cara bicara BTP yang banyak menggunakan umpatan 'kebun binatang' dan karena sifat arogan dan kasar. Namun persentase kebencian yang disebabkan hal-hal di atas tidaklah signifikan.

Kebencian itu bukan pula disebabkan BTP berasal dari kelompok minoritas ganda: keturunan Tionghoa dan beragama Nasrani. Melainkan karena publik menyadari, klaim Ahok bahwa dirinya bersih dan anti korupsi, sementara kenyataannya Ahok sedang dan akan digunakan sebagai tumpangan yang lebih besar lagi oleh konglomerat hitam untuk mencapai tujuan mereka menguasai Indonesia, membuat publik muak dengan seorang Ahok

Beberapa waktu lalu, Hatta Taliwang, aktifis pro demokrasi dan kesetaraan pernah merilis sebuah catatan cukup panjang mengenai hal ini. Catatan tersebut berisi antara lain daftar sejumlah konglomerat keturunan Tionghoa. Ternyata, selain Menjadi pengemplang BLBI mereka juga menjadi 'Teman Ahok'.

Namun yang terjadi, setiap kali fakta mengenai konglomerat hitam di balik Ahok diungkap, selalu saja hal tersebut dibelokkan menjadi isu ketidaksukaan kepada Ahok dikarenakan status minoritas ganda yang disandangnya. Dengan demikian, pihak Ahok  maupun para pendukungnyalah yang sebenarnya sedang menanamkan pandangan rasialis dan berpura-pura menjadi korban dari isu yang mereka buat sendiri.

Hatta Taliwang, secara objektif memiliki rasa hormat kepada Kwik Kian Gie, yang juga menyandang status minoritas ganda. Jadi, persoalannya bukanlah karena Ahok Cina dan Kristen, karena itu sebuah fakta yang tak dapat dipungkiri dan tak tekait SARA.

Ahok ditolak publik, karena publik sudah mengetahui, menjelang Pilkada 2017, para konglomert hitam tersebut sedang membuat pengelompokan baru. Tujuan akhir mereka adalah mau menjadikan Indonesia secara 'negara bancakan saja'. Para konglomerat hitam seolah yakin, dengan kekuatan uang, apapun bisa mereka lakukan di Indonesia.

Dominasi para konglomerat ini tak lagi sebatas di dunia bisnis dan ekonomi. Tapi sudah merambah ke sektor politik dan kekuasaan. Mereka menjadi kaya raya, di tengah jutaan rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka juga ikut membentuk enclave-enclave baru yang bersifat eksklusif.

Secara bisnis semua konglomerat keturunan Tionghoa tersebut bersaing. Tetapi khusus menghadapi perjuangan BTP menjadi Gubernur DKI Jaya dalam Pilkada serentak kedua tahun 2017, para komglomerat ini bersatu. Sebagian dari kekayaan mereka, mereka sisihkan untuk mendanai atau mendukung perjuangan BTP menjadi Gubernur ibukota.

Kemarahan terhadap para konglomerat ini semakin menjadi-jadi sebab sudah muncul kecurigaan baru. Bahwa para konglomerat ini memiliki agenda tersembunyi. Yaitu ingin menjadikan BTP sebagai Presiden RI.

Jadi agenda para konglomerat keturunan Tionghoa ini, bukan lagi demi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Tetapi demi kepentingan kelompok kecil atau minoritas.
Artinya, yang sudah dibaca oleh publik dan aktifis seperti Hatta Taliwang, bagi para konglomerat keturunan Tionghoa, BTP tidak cukup menjadi Gubernur Jakarta. BTP harus jadi RI-1. Tapi untuk menjadi Presiden RI kelak, kursi Gubernur ibukota NKRI, harus direbut terlebih dulu. Sebab Jakarta merupakan barometer segala-galanya.

Tak berlebihan kiranya bahwa kecurigaan ini semakin menguat dengan adanya kasus-kasus hukum yang kini menimpa Ahok. Sejatinya, kasus-kasus tersebut menjadi bukti bahwa kecurigaan publik dan para pengamat, termasuk Hatta Taliwang, menjadi kenyataan.

Editor : Tim Portal Piyungan
Baca juga :