Penggusuran warga, bukanlah sebuah frase ajaib yang belum pernah didengar sebelumnya. Bukan pula frase tabu yang tak boleh diucap sembarangan. Penggusuran warga adalah aktivitas lumrah dan biasa-biasa saja dalam koridor penataan ruang wilayah atau kota.
Lazimnya sebuah penataan, tentu ada dua unsur yang terlibat. Siapa yang ditata dan siapa yang menata. Dua unsur itu diperlukan untuk menjawab pertanyaan "untuk siapa penataan itu dilakukan?".
Sejarah Jakarta mencatat. penggusuran untuk menata kota, sudah terjadi sejak era kolonial Belanda. Sejarawan JJ Rizal mencatat, kasus penggusuran pertama di Jakarta dilakukan penjajah Belanda yang banyak merampas tanah rakyat pribumi untuk membangun Kompleks Menteng.
Penggusuran dilakukan tanpa pertanggungjawaban. Kasus itu mencuat pada 1930-an. Husni Thamrin –pahlawan nasional asal Betawi yang berayahkan seorang Belanda dan beribukan Betawi– pun kala itu ikut menggugat.
Sementara di masa Orde Lama, penggusuran dimulai pada masa Wali Kota Sudiro. Saat itu Satuan Polisi Pamong Praja mulai hadir pada aksi-aksi penggusuran era 1950-an. Salah satunya di kawasan Hotel Indonesia. Bung Hatta saat itu bahkan sempat melayangkan protes.
Penggusuran wilayah Senayan untuk membangun Kompleks Gelora Bung Karno, terbilang sangat menarik karena mengedepankan unsur manusiawi Presiden Sukarno turun langsung dalam rencana pembangunan dan penggusuran itu.
Ketika itu, setelah menemukan tempat yang tepat melalui potret udara di pesawat, Bung Karno mendatangi sahabatnya Haji Muntako untuk berdialog. Dia meminta agar para sesepuh dan orang yang dianggap berpengaruh di Senayan dikumpulkan untuk sosialisasi rencana pembangunan.
“Bung Karno berdialog tentang rencana itu, sampai pohonnya dihitung. Bukan hanya tanah, tapi pohon dan buahnya pun dibayar. Disediakan tempat baru buat warga di Tebet. Diganti semua dan sangat manusiawi,” kisah Rizal.
Sementara pada Orde Baru, pembangunan gencar dilakukan. Gubernur Ali Sadikin tidak lepas dari aksi menggusur. Namun, menurut Rizal, Bang Ali menggunakan cara-cara persuasif dan penuh dialog.
Ali memperhatikan ganti rugi dan kebutuhan warga sebelum tempat tinggal mereka digusur, sehingga warga menerima program pembangunan kala itu. Bahkan ada warga yang dengan sukarela mewakafkan tanah mereka.
Singkatnya, penggusuran dalam rangka penataan kota, bukanlah hal aneh. Bila dipertanyakan, penggusuran itu untuk siapa? Jawabnya mudah ditebak. Untuk kedua belah pihak. Pemerintah memerlukan ruang baru untuk membangun fasilitas kota yang kelak juga bermanfaat bagi warga Jakarta.
Lalu, mengapa belakangan ini publik bereaksi keras atas segala bentuk penataan kota Jakarta yang melibatkan penggusuran warganya?
Lagi-lagi, JJ Rizal dengan mudah mampu merinci dan menjawab dengan gamblang.
“Justru penggusuran paling tidak manusia itu dilakukan di masa ini, di mana nilai-nilai kemanusiaan menjadi mahkota reformasi,” kata Rizal.
Sepanjang tahun lalu, berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, ada 113 kasus penggusuran paksa oleh Gubernur DKI Jakarta, Ahok. Penggusuran itu merugikan 8.315 kepala keluarga dan 600 unit usaha. Sebanyak 84 persen penggusuran dilakukan secara sepihak. Itu belum termasuk penggusuran yang dilakukan sejak awal hingga menjelang tengah tahun ini.
Merujuk pada data tersebut, sejarawan Betawi JJ Rizal menyebut Ahok sebagai Gubernur Jakarta yang paling sering menggusur warganya.
Penggusuran pada era Ahok, kata Rizal, bukan hanya sering terjadi, tapi juga dilakukan dengan pendekatan kekerasan, stigmatisasi, bahkan teror. Menurut Riza, Ahok tak mengedepankan dialog sebelum menggusur.
“Sejarah penggusuran yang paling rutin dan tanpa pendekatan kemanusiaan, justru terjadi sekarang. Periode Ahok penggusuran paling brutal dalam sejarah,” ujar Rizal
Pun ganti rugi dan jaminan atas kehidupan dan pekerjaan warga yang digusur, menurut Rizal, tidak dipikirkan oleh gubernur.
“Ini lembaran paling hitam dalam sejarah penggusuran, bagaimana pemerintah hadir dalam wajah yang paling menyeramkan,” kata Rizal.
Seolah menyepakati pernyataan JJ Rizal, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Hafid Abbas menerangkan penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta telah menyalahi prinsip ketentuan HAM internasional. Pasalnya, ada empat hal yang diabaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang dapat dipermasalahkan dari perspektif HAM.
Pertama, menurut Hafid, Pemda DKI Jakarta menggusur tanpa memperhatikan keadaan dari anak-anak kecil di daerah penggusuran tersebut. Seperti halnya terdapat anak-anak yang sedang menjalani ujian sekolah atau ujian nasional. Padahal, penggusuran bisa saja ditunda hingga 10 Juni sampai masa sekolah anak-anak dapat diselesaikan terlebih dahulu.
"Saya bertemu anak-anak baik yang di Kalijodo dan Luar Batang, mereka enggak mau pindah karena sedang sekolah, jadi bayangkan menghancurkan masa depan anak-anak yang jumlahnya sekian ribu. Anak-anak ingin sekolah tapi harus melihat rumahnya yang porak-poranda ini akan timbulkan trauma," ujarnya Rabu, 27 April 2016.
Kedua, tambah Hafids, mekanisme dalam penggusuran belum sesuai karena belum terciptanya penampungan yang layak. Ia mencontohkan yang terjadi di Luar Batang saat ini, banyak masyarakat yang akhirnya hidup terapung di atas perahu. Hal sama juga dialami warga eks Kalijodo, dari sekitar 7 ribu hingga 8 ribu penduduk yang digusur, hanya 114 yang disediakan tempat di Rusunawa.
"Mereka ini kan warga negara yang sah, bukan warga negara kelas dua. Setelah pembongkaran itu mereka lari ke mana?" kata Haifd.
Penduduk yang alami penggusuran akhirnya tercabut dari akar kehidupan. Ini dianggap Haifd menjadi permasalahan ketiga. Dia menjelaskan seluruh sumber penghidupan diporak-porandakan oleh pemerintah. Ia menambahkan, tidak mungkin seorang penjual ikan dapat langsung menjadi seorang tukang kayu. Pelatihan untuk alih profesi ini yang luput dari perhatian Ahok.
Keempat, Hafid mengatakan agar pemerintah menganut pendekatan satu, dua dan tiga yang artinya adakan rumah mewah, rumah bagi kaum menengah dan rumah bagi kalangan tidak mampu.
Dengan adanya penggusuran di berbagai daerah di Jakarta disinyalir dapat menjadi petaka Jakarta di masa depan karena adanya upaya pembalasan dendam dari anak-anak korban penggusuran yang menyimpan trauma.
"DKI ini bukanlah tempat yang aman di masa depan, tempat yang bisa membawa bencana dan petaka sosial karena generasi muda dari kaum terpinggirkan ini digusur," ujar dia.
Sejauh ini, Komnas HAM sudah berkunjung ke lokasi-lokasi penggusuran di Jakarta. Tak diam, mereka pun mengirimkan surat kepada pihak-pihak terkait di jajaran pemerintah Jakarta. Hafid juga menambahkan pihaknya masih menunggu waktu dan memperhatikan tindakan pemerintah untuk membawa hal ini untuk masuk dalam permasalahan mekanisme internasional.
Menanggapi keriuhan penggunaan kekerasan dalam proses penggusuran, Ahok masih berlindung di balik kekuatan aparat dan balik menuding pihak-pihak yang menolak digusur adalah penduduk ilegal yang menduduki tanah negara alias bukan penduduk resmi Jakarta.
Bahkan, saat ditanya mengapa tak pernah hadir saat proses penggusuran, Ahok bersembunyi di balik kata-kata sombongnya.
“Lu ngajak gue duel, lu naik ring saja, mau di mana? Orang sudah ngeyel menduduki tanah negara, lu cuma mengharap gue ribut. Kalau gue luka, lu tepuk tangan. Kalau gue balas, salah juga. Kalau naik ring resmi, ayo” tantang Ahok.
Jika penggusuran yang dilakukan Ahok dan jajarannya merupakan penggusuran yang melanggar HAM dan paling brutal dalam sejarah hingga membuat trauma berkepanjangan bagi bocah korban penggusuran, maka dapat kita temukan jawaban dari pertarnyaan, "Penggusuran Paksa Penuh Kekerasan di Jakarta, untuk siapa?".
Jawabannya, tentu bukan untuk warga Jakarta yang digusur paksa, distigmatisasi dan diteror hingga mengalami trauma.
Data LBH Jakarta Tentang Penggusuran Paksa di Jakarta periode Januari - Agustus 2015
,