Penggusuran paksa warga di beberapa lokasi di Jakarta menimbulkan trauma mendalam bagi warga. Berbeda dengan para Gubernur pendahulu yang melakukan penggusuran setelah melakukan dialog yang panjang, Ahok memilih jalan kekerasan untuk mengintimidasi warga agar mau pindah.
Ada hal yang mengherankan dari tiap penggusuran paksa ini. Yaitu absennya Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang telah memerintahkan penggusuran paksa tersebut. Ke mana Ahok?
Seperti biasa, Ahok berkelit, bahwa tak ada gunanya ia hadir saat proses penggusuran berlangsung. Ahok bahkan balik menuding pihak yang mengharapkan kehadirannya di lokasi penggusuran sebagai pengecut. Kok bisa?
Begini logika Ahok.
"Saya punya intel. Sekarang buat apa saya datang ke lokasi? Saya sudah lihat semua. Sudah,” kata Ahok.di Balaikota beberapa waktu lalu.
“Sekarang pas lagi penggusuran, pas lagi dar der dor, kamu suruh aku datang? Kamu itu pengecut, kamu berharap saya di situ ribut,” kata Ahok.
“Sekarang kalau orang lempar saya, kalau gue diam, lu tulis Ahok Berdarah-darah Dipukul Orang. Kalau gue balas pukul dia balik, Anda tulis Ahok Menganiaya Orang. Lu kan pengecut,” kata Ahok.
“Orang sudah ngeyel menduduki tanah negara, kamu cuma mengharap gue ribut. Kalau gue luka, lu tepuk tangan. Kalau gue balas, salah juga.” ujarnya.
Logika dan penggunaan kata "pengecut" di sini rasanya tak tepat dan justru semakin memperkuat dugaan bahwa Ahok hanya lempar batu sembunyi tangan. Memicu keributan, lalu lepas tanggung jawab begitu saja. Bahkan tak segan justru menuduh balik pihak lawan.
Sinta, salah satu warga Bidara Cina yang menjadi korban penggusuran paksa mengungkapkan kekecewaannya terhadap Ahok.
"Boro-boro diskusi.. berani nongolin kepala aja kagak. Ngumpet di mana tuh dia?" ujarnya kesal.
Sebagai pemimpin yang baik, semestinya Ahok mampu berdiskusi dan hadir memberi sosialisasi dan mengedukasi warga sebelum penggusuran. Bukan seperti maling yang masuk mengendap-endap lalu menghilang saat proses penggusuran seperti pengecut. [*]