Mentarbiyah Untuk Jadi Penurut? Hikmah Kisah Umar bin al-Khaththab


Oleh: Musyafa Ahmad Rahim

Diceritakan bahwa pada suatu hari Umar bin al-Khaththab sedang bersama para sahabatnya.

Lalu, salah seorang dari mereka ada yang bermaksud melakukan pendekatan (pedekate) kepadanya dengan cara memujinya.

Maka orang itu berkata kepada Umar: “Wahai amirul mukminin, kami tidak melihat seseorang yang lebih baik daripadamu setelah Rasulullah SAW!”.

Maka Umar melihat kepada mereka dengan menyimpan rasa marah, dan melihat ke wajah yang hadir satu persatu sambil memfirasati mereka.

Sehingga salah seorang dari mereka berkata: “Tidak, demi Allah, kami telah melihat seseorang yang ia lebih baik daripadamu wahai Umar”.

Umar berkata kepadanya: “Siapa dia?”

Orang itu menjawab: “Abu Bakar”.
فَقَالَ سَيِّدُنَا عُمَرُ: كَذَبْتُمْ جَمِيْعًا وَصَدَقَ، سَيِّدُنَا عُمَرُ عَدَّ سُكُوْتَهُمْ كَذِبًا، مُجَرَّدُ سُكُوْتِهِمْ كَذِبًا

Maka Umar berkata: “Kalian semuanya bohong, yang benar dan berkata jujur hanya dia”. (sambil menunjuk kepada yang berani menyatakan bahwa Abu Bakar adalah yang paling baik setelah Rasulullah SAW).

Dalam kisah ini, Umar memandang bahwa diamnya mereka (saat mendengar seseorang memujinya bahwa dia adalah yang terbaik setelah Rasulullah SAW) sebagai satu bentuk dusta dan kebohongan. Sekedar diam, terhitung sebagai kebohongan.

قَالَ: "وَاللهِ كُنْتُ أَضَلَّ مِنْ بَعِيْرِيْ، وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ أَطْيَبَ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ

Umar berkata: “Demi Allah, saya dahulu lebih tersesat dibandingkan untaku, dan Abu Bakar dahulu lebih harum daripada minyak misik”.

[maksudnya: Saat Umar belum masuk Islam, ia lebih sesat daripada untanya, sedangkan Abu Bakar saat itu telah terlebih dahulu masuk Islam, enam tahun sebelum Umar].

Jadi, engkau mungkin bisa mentarbiyah saudara-saudaramu untuk menjadi penurut, pendiam, tidak membantah, bersikap munafik, dan mengeluarkan pujian bohong.

Mungkin juga engkau mentarbiyah saudaramu-saudaramu untuk berani, melakukan kritikan yang konstruktif, dan bersikap menentang (dalam koridor kebenaran).

Bahkan engkau berkewajiban untuk tidak menerima sesuatu yang tidak diperkuat oleh dalil.

Dengan demikian, Islam telah memberikan kepada manusia satu tolok ukur yang jeli, yang dengannya segala urusan diukur dan ditimbang sisi kesesuaiannya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

[Kutipan dari Taujih Syekh DR. Muhammad Ratib An-Nablusi]


Baca juga :