Jatuhnya penguasaan bandara Halim Perdanakusuma ke tangan Lion Group yang notabene pihak swasta terus memicu polemik. Putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan Lion Group terhadap Angkasa Pura II dan Induk Koperasi Angkatan Udara (Inkopau), diduga karena kehadiran UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dimana undang-undang tersebut memperbolehkan pihak swasta mengelola sebuah bandara. Akibatnya pihak swasta memperoleh ruang dan masuk ke Bandara Halim Perdanakusuma, demi memperoleh keuntungan.
Dilansir Gresnews (6/3/2016), Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal TNI Chappy Hakim menceritakan awal mulanya terjadinya perebutan Bandara Halim Perdanakusuma antara PT Angkasa Pura II (Persero), TNI Angkatan Udara dan Lion Group.
Menurutnya awal masuknya LIon ke Halim Perdanakusuma disebabkan oleh pengelolaan bandara Soekarno Hatta yang tidak memperhatikan laju pertumbuhan penumpang yang sampai 10 persen hingga 15 persen setahun. Hal itu telah menyebabkan Cengkareng menjadi bandara yang kelebihan kapasitas dan berakibat fatal, sehingga menghasilkan situasi kacau dengan delay penerbangan hingga 12 jam.
Hal itulah sebabnya, dalam beberapa waktu Cengkareng menjadi tidak nyaman. Akhirnya penerbangan haji berpindah kembali ke bandara Halim Perdanakusuma. Bahkan bukan hanya itu, penerbangan komersil lainnya juga ingin pindah dan menggunakan bandara Halim Perdanakusuma sebagai basis penerbangan komersial.
Hingga sampai titik puncaknya, pemerintah 'terpaksa' mengambil keputusan memindahkan beberapa penerbangan komersial ke Bandara Halim Perdana Kusuma. Hal itu sebagai solusi dan jalan keluar dari kekacauan bandara Soekarno Hatta.
Menurut Chappy, dalam kondisi tersebut tidak ada pihak manapun yang memikirkan kepentingan TNI AU. Hal itu juga menyebabkan banyak pihak yang menginginkan untuk berperan menjadi pengganti Angkasa Pura II di bandara Halim Perdanakusuma, untuk mengelola bandara sebagai bandara komersial, tanpa memikirkan kepentingan penerbangan latihan dan operasi TNI AU. Namun saat itu, pihak swasta terganjal oleh UU bahwa perusahaan swasta tidak boleh mengelola bandara Halim Perdanakusuma.
"Jadilah Angkasa Pura sebagai penguasa tunggal, penikmat keuntungan dari keberadaan Landasan Udara Halim Perdanakusuma tanpa sekali lagi merasa terbebani oleh keberadaan Angkatan Udara," kata Chappy, Jakarta, Sabtu (5/3).
Chappy menambahkan, saat menjelang perjanjian Angkasa Pura di Bandara Halim Perdanakusuma selesai, maka para pihak lain mencoba untuk menguasai bandara Halim. Hal itu termasuk dalam upaya menyelundupkan pasal-pasal dalam UU Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009, agar pihak swasta dapat dibenarkan oleh undang-undang mengelola sebuah bandara. Setelah UU tersebut terbit, pihak swasta langsung berupaya masuk untuk memperoleh ruang dan keuntungan di bandara Halim.
"Itulah sekelumit sejarah yang melatar belakangi mengapa Mahkamah Agung (MA) sampai mengeluarkan satu keputusan yang sangat mengagetkan banyak orang baru-baru ini," kata Chappy.
Dia menjelaskan sebenarnya keputusan MA tidak ada hubungannya dengan 'fungsi operasi' dalam konteks pemegang kendali operasi sebuah pangkalan udara termasuk Landasan Udara Halim. Menurutnya Landasan Udara Halim adalah sebuah sub sistem dari sistem pertahanan negara. Jadi pemegang kendali operasi dari sebuah sub sistem pertahanan negara akan selalu berada pada pejabat yang diberikan kewenangan oleh negara, dalam hal ini adalah Panglima TNI.
Menurutnya putusan tersebut sangatlah aneh karena Landasan Udara Halim Perdanakusuma sebagai salah satu sub sistem dari pertahanan negara malah berada dibawah kendali Lion Group atau pihak swasta manapun. Induk Koperasi Angkatan Udara (Inkopau) bahkan TNI AU juga tidak dapat mengubah fungsi operasi dari Landasan Udara Halim Perdanakusuma tanpa memperoleh persetujuan dari Markas Besar TNI, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, Presiden dan DPR.
"Sebenarnya sangat logis bila kemudian banyak orang mempertanyakan melihat Bandara Halim Perdanakusuma sudah dipenuhi oleh pesawat terbang dari Lion Group," kata Chappy.
Menurutnya jika memang bandara Halim Perdanakusuma ingin dijadikan bandara komersil, seharusnya yang dilakukan adalah mempersiapkan dahulu infrastruktur penunjangnya. Hal itu dilakukan agar dapat melayani penerbangan komersial sekaligus juga tidak mengganggu operasi dan latihan penerbangan Angkatan Udara serta terselenggaranya sistem pengamanan yang ketat dan sarana pendukung keselamatan terbang.
Chappy yang pernah menjadi komandan Skadron 31 Lanud Halim Perdanakusuma pada 1989 itu menambahkan mengubah hal tersebut tidaklah sesederhana itu karena diperlukan pemahaman cerdas dan kesadaran yang jernih dalam konteks bernegara. Maka dari itu diperlukan wawasan kebangsaan yang tidak semata melihat keuntungan finansial saja.
"Bila ini semua dibiarkan berlalu, maka kita semua sudah berada diambang penantian dari musnahnya Halim sebagai salah satu basis pertahanan Indonesia," kata Chappy.
NASIB SKB TIGA MENTERI
Menanggapi hal itu, Sekretaris Perusahaan PT Angkasa Pura II (Persero) Agus Haryadi mengatakan secara aspek teknis dan operasional, bandara Halim Perdanakusuma adalah pangkalan udara yang fungsi utamanya untuk menjaga keamanan Indonesia. Kepentingan atas pertahanan udara adalah kepentingan utama. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah keterkaitan Angkasa Pura II dalam mengelola Bandara Halim Perdanakusuma yaitu adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Perhubungan.
Menurutnya dalam SKB tersebut disepakati bahwa dalam posisi damai, bandara militer dapat digunakan untuk dijadikan sebagai bandara komersil. Dia menambahkan hingga saat ini kondisi negara Indonesia baik secara ekonomi dan geopolitiknya tergolong relatif stabil, oleh karena itu Bandara Halim Perdanakusuma dapat dijadikan bandara komersial.
"Itu alasan legalnya dan kita BUMN yang ditunjuk untuk mengelola Bandara Halim Perdanakusuma," kata Agus kepada gresnews.com.
Seperti diketahui MA akhirnya telah menolak kasasi yang diajukan PT Angkasa Pura II atas dikabulkannya gugatan Lion Group terhadap Angkasa Pura II dan Inkopau atas pihak yang berhak mengelola bandara. Sebab sesuai perjanjian antara Inkopau dan Lion Group pada 2005 mereka akan mengelola bandara setelah masa pengelolaan bandara oleh Angkasa Pura berakhir pada 2003 dengan membentuk perusahaan join kedua pihak yakni PT Angkasa Transportindo (PT ATS). Namun hingga beberapa tahun setelah berakhirnya masa pengelolaan, Angkasa Pura tak kunjung menyerahkan pengelolaan bandara tersebut. Hingga pihak Lion Group selaku pemegang 80 persen saham PT ATS mengajukan gugatan ke pengadilan terkait masalah tersebut. Pada putusan di Pengadilan Negeri gugatan dikabulkan, demikian juga saat di tingkat banding dan Mahkamah Agung.