ISTIKHARAH DA’AWIYAH


ISTIKHARAH DA’AWIYAH

Oleh: Musyafa Ahmad Rahim
Anggota MPP PKS

Secara Bahasa, “istikharah” berasal dari kata “khair” (kebaikan, terbaik), atau “khiyarah” (pilihan, opsi). Dengan demikian, kata “istikharah” berarti: meminta yang terbaik kepada Allah SWT, atau meminta dari Allah SWT untuk diberi atau ditunjukkan kepada suatu pilihan.

Jabir bin Abdillah (RA) berkata:

كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، كَالسُّورَةِ مِنَ القُرْآنِ (رواه البخاري [6382، 7390])

Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada kami istikharah dalam berbagai urusan, semuanya, sebagaimana mengajarkan sebuah surat dari Al-Qur’an. (HR Bukhari [6382, 7390]).

Paling tidak, ada dua hal yang perlu digaris bawahi di sini, yaitu:

1. Bahwa, perhatian Rasulullah SAW dalam pengajaran shalat dan do’a istikharah sangatlah besar, sebesar perhatian beliau SAW dalam pengajaran Al-Qur’an. Artinya, tarbiyah beliau SAW kepada para sahabat (RA) agar mereka beristikharah setingkat dan selevel dengan tarbiyah Qur’aniyyah!!

2. Bahwa, istikharah itu dilakukan bukan hanya dalam urusan mencari jodoh saja, namun, perlu dilakukan dalam berbagai urusan, semuanya.

Untuk ini, tidak mengherankan jika Syekh Aqil bin Salim Asy-Syamriy memunculkan istilah: al-istikharah ad-da’awiyyah, istikharah dalam konteks dakwah dengan segala urusannya, wabil khusus yang berkenaan dengan keputusan-keputusan penting, genting dan strategis.

Bahkan beliau (Syekh Aqil bin Salim Asy-Syamriy) mengatakan bahwa al-istikharah ad-da’awiyyah jauh lebih diperlukan daripada istikharah dalam banyak urusan yang mubah atau jaiz yang bersifat personal, sebab, keengganan seseorang dalam melakukan istikharah dalam urusan personal, dampak buruknya, hanyalah menimpa dirinya sendiri.

Berbeda dengan al-istikharah ad-da’awiyyah, sebab, jika para aktifis dakwah enggan dan malas, atau tidak mau melakukan istikharah untuk urusan dakwahnya, maka dampak buruk dari keengganannya itu akan menimpa banyak pihak.

Terlebih lagi para qiyadah (pimpinan) dan mas-ulin (penanggung jawab) dakwah. Jika mereka enggan, malas, atau – na’udzubillah – tidak mau, atau lupa melakukan istikharah, padahal mereka sering sekali membuat keputusan-keputusan penting, genting dan strategis, dan dampaknya pun sangat luas jangkauan dan spektrumnya, juga panjang zaman dan waktunya, sebab dampaknya bisa lintas generasi, maka, mereka akan memikul tanggung jawab yang buuueeesaaarrr sekali atas terjadinya dampak buruk akibat keengganan, atau kealpaannya dalam ber-istikharah.

Oleh karena itu, tuntutan untuk ber-istikharah bagi para pimpinan dan penanggung jawab dakwah, jauh lebih besar, lebih dipertegas dan mendekati kemestian dibandingkan dengan aktifis dakwah yang biasa-biasa saja (dalam arti yang bukan pimpinan dan mas-ulin).

Ya Allah …
Bimbing dan beri kekuatan kepada kami untuk selalu beristikharah dalam segala urusan kami, amin.


Baca juga :