Oleh: Ganjar Widhiyoga
(Mahasiswa S3 Durham University – Inggris)
Alhamdulillah, sejak 2013, saya dapat menikmati suasana dan budaya menuntut ilmu yang begitu kental di salah satu universitas tertua dan terkemuka di Inggris, Durham University. Dan sampai saat ini, saya tinggal di sebuah pemukiman penduduk di Newcastle Upon Tyne.
Pertama kali menginjak negeri ini, saya perlu beradaptasi dengan hal-hal yang benar-benar berbeda dengan Indonesia. Misalnya mengenai perbedaan musim. Inggris adalah negeri dengan empat musim. Matahari terbit dan terbenam sesuai musimnya. Tentu hal ini membuat panjang hari berbeda-beda, dan berpengaruh pada waktu shalat.
Pada puncak musim panas, saya bisa melaksanakan shalat Subuh pada pukul 02.30, Maghrib pukul 20.30. Lain hal dengan musim dingin, matahari di Inggris terbit pukul 07.00 dan tenggelam pukul 16.00. Selama di sini, saya belajar untuk terus mencatat jadwal shalat di masjid setempat, dan menginstal aplikasi yang menghindarkan saya dari melalaikan ibadah.
Pun, hidup di negeri minoritas muslim, tentu merupakan pengalaman baru. Lain dengan Indonesia, di mana setiap masjid bisa mengumandangkan azan saat waktu shalat tiba, di Inggris tidak seperti itu. Di sini, azan tidak diizinkan menggunakan pengeras suara. Hal ini memang termasuk dalam aturan umum terkait “polusi” udara, yang tidak mengizinkan suara keras di atas ambang batas tertentu.
Namun, bukan berarti Inggris adalah negara yang intoleran pada Islam. Umat Islam diizinkan mendirikan masjid sejauh disetujui oleh dewan kota setempat. Walaupun memang, masjid umumnya berdiri di wilayah-wilayah migran asal Turki, Pakistan, atau Bangladesh menetap. Namun umumnya, masyarakat Inggris amat menghormati hak kami untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan ajaran agama kami.
Kebanyakan dari mereka sama sekali tidak mempermasalahkan identitas keislaman kami. Saat Idul Fitri tahun lalu, beberapa anggota dewan yang notabene bukan muslim, bersedia memberikan pidato singkat sebelum shalat Id berlangsung. Ini membuat kami, umat Islam, turut diakui juga sebagai bagian dari tatanan masyarakat Inggris.ganjar
Di tempat saya tinggal sendiri, komunitas muslim bahkan kerap bergerak aktif melayani warga sekitar yang muslim maupun non-muslim. Terkadang, kami melakukan kunjungan ke panti asuhan dan panti jompo, atau berkumpul sekadar kerja bakti membersihkan lingkungan kami.
Syukur Alhamdulillah, saya bisa tinggal dengan komunitas yang sangat aktif, terutama dalam menjalin ukhuwah islamiyah. Di dalam komunitasnya sendiri, kami mengadakan kegiatan yang beragam. Ada Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) untuk anak, atau saat Ramadhan, tak jarang kami berbuka dan Shalat Tarawih bersama di masjid dekat lingkungan saya yang terus kami pelihara, Masjid At Tauhid.
Namun, kedamaian tersebut bukan tanpa nyinyir dari orang-orang anti-Islam. Seiring dengan terjadinya teror yang mendiskreditkan Islam, seperti serangan di Paris, aksi anti-Islam pun semakin gencar disuarakan kelompok garis kanan radikal di Inggris. Mereka sering menggelar demonstrasi anti-Islam di jalanan.
Namun uniknya, biasanya tak sedikit pula masyarakat Inggris yang justru berbalik mendukung umat Islam. Misalnya, pernah ditemui suatu kasus dimana dua orang muslimah menaiki sebuah bus.
Di bus tersebut, dua orang pemuda bersikap rasis dan mengusir muslimah-muslimah tersebut. Alih-alih menyepakati sikap dua pemuda tersebut, seisi bus malah membela dua muslimah tadi dan meminta kedua pemuda tersebut untuk segera turun di halte berikutnya.
Sebagai muslim, saya menyadari bahwa demam Islamophobia ini hanyalah karena ketidaktahuan non-muslim mengenai Islam. Dan tentu, mereka perlu dikenalkan dengan wajah Islam sesungguhnya. Maka, saya sendiri berusaha mencerminkan agama melalui perilaku dan sikap.
Saya pun terus menjalin komunikasi yang baik dengan lingkungan terdekat. Ini semua dilakukan guna menunjukkan bahwa umat Islam tidak seperti apa yang dicitrakan oleh media selama ini.
Saya pun mulai awas akan risiko hidup di negeri dengan Islam sebagai minoritas. Jika mengadakan kegiatan sosial, saya selalu memastikan keamanannya terjamin. Pun ketika ada demonstrasi-demonstrasi anti-Islam di City Center, saya akan memilih untuk tetap berada dalam rumah. Tak lupa, kami juga mencatat nomor-nomor penting untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.
Kunci lainnya, adalah dengan terus menjalin komunikasi dan ukhuwah dengan teman di student council, tempat kerja, komunitas se-negara, dan komunitas Islam setempat. Dengan begitu, sebagai sesama muslim dan sesama manusia, kami bisa saling membantu kesulitan satu sama lain.
Amat banyak hikmah dan ilmu yang bisa dipetik dari pengembaraan saya selama ini di Inggris. Saya harap, sekembalinya ke Indonesia kelak, orang-orang yang bekerja maupun menuntut ilmu di luar negeri bisa memperbaiki bangsa tercinta dengan pengetahuan dan pengalaman yang kita dapatkan.
Sumber: http://alhikmah.co/2016/02/17/cerita-toleransi-dari-negeri-britani/