"SESAMA JENIS" by Tere Liye


"SESAMA JENIS"

Per 1 Januari 2015, tercatat ada 17 negara yang undang-undangnya telah melegalkan perkawinan sesama jenis. Dan akan menyusul belasan negara lain. Trend dukungan atas perkawinan sesama jenis terus bertambah. (http://www.benandjerry.com.au/whats-new/17-and-counting-countries-with-the-freedom-to-marr)

Silahkan tanya ke politisi negeri ini, apakah mereka akan melegalkan perkawinan sesama jenis di Indonesia? Sekarang sih saya yakin jawabannya: TIDAK. Tapi 20-30 tahun lagi, tergantung situasinya. Jika itu membuat mereka terpilih, akan banyak politisi yang bersedia menyetujuinya. Saya tidak berlebihan. Itu rasional sekali. Silahkan cek di negara-negara lain. Tahun 1950, tidak ada satupun negara yang melegalkan perkawinan ini, tapi dunia berubah sangat cepat, kelompok pendukung kebebasan semakin besar, kelompok yang tidak peduli, i dont care semakin banyak, sistem demokrasi mempercepat legalisasi perkawinan sesama jenis. Sah. Atas nama kebebasan.

Semua agama melarang perkawinan sesama jenis. Tapi demokrasi tidak mengenal kitab suci. Kalian tahu, bahkan homo kelas berat, masih santai pergi ke gereja, ke tempat-tempat ibadah. Mereka hanya mengenal suara terbanyak. Saya kasih contoh, Brazil, Mei 2011 mereka melegalkan perkawinan sesama jenis. Apakah orang Brazil tidak beragama? 90% penduduk mereka beragama, lantas apakah tidak ada di sana yang keberatan dengan legalisasi ini? Jawabannya sederhana: mayoritas tutup mata. I dont care. Urus saja masing-masing. Saya tidak mau recok. kamu jangan rese. Yang sesama cowok mau ciuman di tempat umum pun, bodo amat. Toh, mereka tidak mengganggu saya.

Dulu, Brazil itu sangat religius. Lantas kenapa sekarang jadi berubah sekali? Bagaimana mungkin politisi mereka meloloskan UU itu? Apakah rakyatnya tidak keberatan. Itulah kemenangan besar paham kebebasan. Mereka masuk lewat tontonan, bacaan, menumpang lewat kehidupan glamor para pesohor. Masyarakat dibiasakan melihat sesuatu yang sebenarnya mengikis kehadiran agama. Awalnya jengah, lama-lama terbiasa, untuk kemudian apa salahnya? Di sisi lain, eksistensi agama dipertanyakan. Tuh lihat, toh yang beragama juga bejat, tuh lihat, mereka juga menjijikkan. Fobia agama dibentuk secara sistematis, dimulai dari pemeluknya sendiri, untuk kemudian, orang-orang dalam posisi gamang, mulai mengangguk, benar juga. Orang-orang jadi malas mendengarkan nasehat agama, buat apa? Urusa sajalah urusan masing-masing.

Rumus ini berlaku sama di seluruh dunia. Apapun agamanya. Bahkan termasuk dalam kasus, tidak ada agama di suatu tempat, hanya ada nilai-nilai luhur--yang pasti juga akan melarang pernikahan sesama jenis. Fasenya sama persis. Strateginya juga sama. Dekatkan mereka dengan materialisme dunia, jauhkan mereka dari nilai-nilai luhur. Gunakan teknologi untuk mempercepat prosesnya. Internet misalnya, itu efektif sekali menyebarkan berita, propaganda, dsbgnya.

Apakah Indonesia juga akan begitu?

Silahkan tunggu 20-30 tahun lagi. Jika tidak ada yang membangun benteng-benteng pemahaman bagi generasi berikutnya, tidak ada yang membangun pertahanan tangguh, malah sibuk saling sikut berkuasa, sibuk berebut urusan dunia, sibuk dengan urusan duniawinya, 20-30 tahun lagi, kita akan menyaksikan pasangan cowok bermesraan di tempat-tempat umum. Tetangga sebelah rumah kita adalah pasangan sesama jenis, dan mereka dilindungi oleh UU, karena sudah dilegalkan. Ketika masa itu tiba, kalian bisa kembali mengeduk catatan ini.

Pedulilah, hidup ini bukan cuma urusan pribadi masing-masing. Hidup ini tentang saling menjaga, saling menasehati, saling meluruskan. Pedulilah, Kawan, ikut menyebarkan pemahaman baik, lindungi keluarga, teman, remaja, dan semua orang yang bisa kita beritahu agar menjauhi prilaku melanggar aturan agama, nilai-nilai kesusilaan.

Tere Liye
25/01/2016

___
*dari fb Tere Liye: https://www.facebook.com/tereliyewriter/posts/1082665345117366


Baca juga :