Langkah Catur Jokowi: Awasi Benteng Kosong, Jokowi Ambil Johan Budi


"Sepi di luar sana, terlalu sepi.. saya tidak suka ini.."
Gilbert Martin dalam 'Drums Along the Mohawk'.

It's Quiet Out There, Too Quiet, merupakan petikan lagendaris saat sang tokoh mencurigai daun daun yang gugur dan sunyi, sebagai pertanda datangnya mara bahaya. Musuh telah merencanakan sesuatu, tapi apa? Mereka merencanakannya dalam kesunyian, tidak dapat di pastikan dari mana arah serangan kelak akan datang? Bagaimana serangan itu dilakukan? Dan oleh siapa? Ketika segalanya tengah gelap, sulit ditakar, sulit di ukur, bahkan oleh akal sehat, apa yang lantas dilakukan sang jagoan?

Presiden Joko "Joko" Widodo punya resep ampuh. Tarik sosok yang terbiasa bermain dalam kegelapan untuk memandunya melihat dalam gelap.

Lalu benarkan situasi bagi Joko Widodo tengah berada dalam kegelapan?

Pada tulisan saya sebelumnya, "Catur Empat Langkah Jokowi Matikan Kawan Dan Lawan" Anda bisa memperhatikan bagaimana Jokowi membuat lawan-lawannya lengah merasa digjaya lalu satu demi satu patah.

Jokowi membonekakan diri, seolah-olah bisa diatur oleh sang "chief", namun pada prinsipnya Jokowi bisa bermain bebas sekehendak hati, sebagaimana Sun Quan raja pertama negeri Wu China di era Three Kingdom, membonekakan diri pada Yuan Shu yang memiliki kekuatan militer besar. Pada akhirnya segala kekuasaan besar milik Yuan Shu yang menua diambil alih oleh Sun Quan.

Jokowi juga menghinakan diri, namun itu adalah taktik politik brilian yang pernah dipraktikan oleh penguasa pemersatu Jepang di abad 16, Toyotomi Hideyoshi. Sang Shogun, tidak keberatan disebut "monyet" oleh atasannya Oda Nobunaga lalu menjadi olok-olok orang banyak, sebagaimana Jokowi tidak keberatan disebut sakit jiwa, sinting, oleh para politisi pesaing.

Jokowi juga tidak peduli pada "dukungan orang kuat" yang selama ini menjadi rumus pemerintahan yang kuat. Bagi Jokowi pemerintahan yang kuat adalah yang konsisten pada tujuan. Taktik ini diberlakukan oleh Eisenhower pemimpin militer Sekutu pada perang dunia kedua, alih-alih memberikan kekuatan besar pada Jenderal terbaiknya Patton yang idealis, dia lebih percaya pada Jenderal karir biasa namun profesional seperti Omar Bradley.

Jokowi pun melihat peluang dari gerak lawannya yang mudah terbaca. Sejauh lawan-lawannya serakah dan pemburu rente, sejauh itulah mereka selamanya merupakan buku yang bisa dibaca, yang perlu Jokowi lakukan adalah menyebarluaskan "isi buku" itu pada khalayak ramai dalam prinsip pemerintahan yang transparan. Inilah taktik yang diberlakukan Salahuddin Al Ayubi saat memenangkan perang tanduk Hattin di abad 12. Dirinya mengerti Jenderal-jenderal Yerussalem haus akan hadiah tanah besar, dari Raja baru mereka Guy of Lusignan. Mereka melihat Salahuddin sebagai "orang baru yang tidak jelas", justru merekalah yang terbaca dengan jelas. Salahuddin tidak bernafsu sebagaimana nafsu mereka pada kejayaan duniawi.

Taktik Benteng Kosong

Namun kini lawan-kawan telah belajar banyak dari kekalahan mereka. Sedikit lambat mereka melihat bahwa frontal menyerang Jokowi bagai telur yang ingin memecahkan batu. Lalu apa yang mereka lakukan agar tetap bisa "bermain" di tengah situasi sulit? Mereka lantas melakukan taktik terkenal ala Sun Zu, yakni taktik "Benteng Kosong".

Taktik ini taktik penuh resiko, namun apabila berhasil maka hasilnya panen besar. Taktik ini kerap diberlakukan oleh para Yakuza untuk merebut posisi tertinggi. Caranya adalah dengan mengosongkan kandang mereka, memberikan kandang dan benteng-benteng yang mereka miliki untuk di serahkan kepada penguasa. Inilah yang dilakukan oleh koalisi anti pemerintah Jokowi, yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Satu demi satu mereka mengosongkan benteng, memperlihatkan sisi chaotik yang bagi penulis sangat mencurigakan.

Begitu mudahnya Golkar dari sisi keras pada pemerintah menjadi lembut. Padahal masih ada Setya Novanto cs di parlemen yang masih mengendalikan situasinya, walau tidak menjabat ketua, dirinya mengangkat diri sebagai ketua Fraksi Golkar, tidakkah ada dendam saat dirinya ditendang sebagai Ketua DPR, oleh salah seorang Menteri nya Jokowi? Lalu, begitu gamblangnya drama PKS "mendekati" pemerintah, walau tetap beriikrar setia pada KMP, mereka mendesak Fahri Hamzah, sosok yang selalu "usil mulut" pada Jokowi untuk lepas dari jabatannya.

Jika dalam kisah Yakuza permohonan maaf dilakukan dengan cara memenggal jari. Maka dalam politik a'la PKS itu dilakukan dengan memenggal jabatan Fahri. Setidaknya, Fahri bisa menjadi tumbal bagus ikrar damai PKS pada pemerintah. Dan kengototan Fahri Hamzah untuk tetap bertahan di jabatannya, merupakan spesial efek dramatis yang bisa membuat orang yakin, bahwa PKS "tengah pecah".

PKS adalah partai kader kultus keagamaan, solidaritas mereka lebih dekat dibandingkan bulu bulu yang menempel di tubuh manusia. Selain terikat tujuan, mereka terikat oleh dogma. Melihat PKS pecah belah di permukaan, bagai melihat Barcelona bermain asal-asalan, membuat sejenak orang lupa bahwa itu Barcelona. Mereka berbeda dengan Golkar, apabila Fahri Hamzah berhasil dilempar keluar dari jabatannya, dia tetap di PKS dan tidak akan mendirikan PKS perjuangan, sebagaimana saat Hilmi Aminuddin tergusur dari posisi Ketua Dewan Syuro tidak tertarik membuat partai tandingan.

Jadi, dicopotnya Fahri bukan berarti PKS tengah berdamai dengan Jokowi, justru itu merupakan deklarasi perang dengan teknik terbaru membidik 2019, dengan cara yang non Fahri Hamzah, non Fadli Zon, non Frontal, non kebisingan, itulah strategi "Benteng Kosong".

Ketika benteng telah kosong, yang terjadi berikutnya bisa Anda perkirakan. Yakini kesunyian. Ketenangan. Sepi namun aura aura gerak dari kejauhan terbaca oleh indera keenam. Ada gelagat tidak beres. Dalam bahasa Jenderal Browning pada buku Cornelius Ryan, "Your silent so thunderous" diam dan sunyimu menggelegar bagai petir. Jelas jelas lawan Jokowi tengah melakukan konsolidasi penting. Di mana gerak mereka tidak perlu di ketahui oleh siapapun. Termasuk jangan sampai terbaca di media sosial.

Lalu Apa Yang Jokowi Lakukan?

Jokowi tidak berdiam diri. Walau dirinya tetap membiarkan kesunyian itu berjalan sebagaimana yang lawan-lawan inginkan. Presiden koppig itu membuat langkah selanjutnya. Yakni mengajak shadow player (pemain yang selalu bergerak dalam bayangan) ke Istana Negara. Dialah Johan Budi. Walau Jokowi menyebut langkah mengangkat Johan Budi sebagai "diperkuat orang baik" Jokowi tidak melanjutkan kalimatnya, yakni diperkuat oleh orang yang bisa melihat situasi benteng kosong dengan baik. Orang yang bisa membaca gelagat para politisi dengan baik.

Johan Budi sejauh waktu berjalan selama sewindu belakangan, hanyalah juru bicara KPK. Tapi di KPK, orang orang di sana tidak bisa di kenakan kata "hanya". Mereka menyimpan aib-aib dan rahasia besar para politisi. Aib dan rahasia yang sebagian besar tidak bisa di perkarakan karena kurangnya alat bukti. Jokowi butuh mata, telinga, dan rekaman berjalan pada segala sesuatu yang tengah terjadi. Penunjukkan Johan Budi akan membuat Benteng Kosong tidak akan berjalan efektif. Karena Jokowi bisa dibisiki Johan Budi gelagat demi gelagat si fulan yang mencurigakan.

Merapatnya Johan Budi juga merupakan kesalahan lawan yang gagal mengamankan Johan untuk merapat ke posisi mereka. Loh masak orang sepenting Johan dibiarkan bebas tanpa "kerjaan" Barangkali karena Johan Budi sendiri jual mahal? Atau karena sulit ditaklukan. Yang jelas, Johan bisa menjadi Kong Ming nya Jokowi, sebagaimana Kong Ming menjadi penasihat militer Liu Bei.

Johan juga bisa membisiki Jokowi kasus-kasus profiler tinggi yang dtangani KPK, dan bagaimana keterkaitan kasus tersebut dengan agenda-agenda partai politik menjelang 2019. Jika ini yang terjadi, maka segala sandiwara di luar sana, dibiarkanlah berjalan. Jokowi mah tinggal ngakaknya saja, melihat lelakon lelakon itu di mainkan.***Red

Sumber: http://www.fiskal.co.id/berita/fiskal-4/6728/langkah-catur-jokowi-:-awasi-benteng-kosong,-jokowi-ambil-johan-budi#.Vpg4tea2p2D


Baca juga :