Kebijakan pemerintah Turki yang memperbolehkan pegawai negeri sipil (PNS) Muslim pada hari Jumat meninggalkan pekerjaannya guna kepentingan shalat Jumat telah digugat ke pengadilan.
Kebijakan baru yang memberikan waktu “istirahat” untuk melakukan ibadah shalat Jumat itu diumumkan pekan lalu oleh pemerintah Turki yang dipimpin Presiden Erdogan dan PM Ahmet Davutoglu. Namun, langsung mendapat tentangan.
Omer Farouk Eminagaoglu, seorang pengacara ternama, mengajukan gugatannya ke pengadilan adminsitrasi tertinggi di negara itu hanya beberapa jam setelah kebijakan tersebut diumumkan, dengan alasan pemerintah melanggar konstitusi sekuler negara Turki.
“Ini merupakan eksploitasi agama untuk tujuan-tujuan politik,” kata Aminagaoglu kepada Aljazeera Jumat (8/1/2016).
“Kebebasan beragama bagi semua orang harus dilindungi, tetapi tidak boleh dieksploitasi demi kepentingan satu pihak atas pihak lain di masyarakat.”
“Hakim dan guru adalah pegawai negeri. Apa mereka akan meninggalkan pekerjaannya lalu pergi shalat? Waktu shalat berbeda-beda di seluruh bagian negeri ini. Orang harus mengikuti waktu shalat supaya tugas-tugas di kantor pemerintahan dapat dituntaskan,” protes pengacara itu.
Dalam gugatan itu disebutkan bahwa ketentuan jam kerja yang disesuaikan dengan waktu shalat tersebut bertentangan dengan prinsip sekuler negara Turki. Selain itu peraturan tersebut dianggap diskriminatif, sebab akan terungkap siapa saja orang yang shalat atau tidak, padahal masalah ibadah adalah urusan pribadi.
Gugatan tersebut berharap pengadilan akan menghentikan pemberlakuan kebijakakan itu dan membatalkan ketentuan shalat yang berkaitan dengannya.
Ahmet Iyimaya, seorang anggota parlemen dari AKP, mengatakan kepada Aljazeera bahwa sekularisme merupakan jaminan atas kebebasan beragama dalam demokrasi, dan bukan hambatan atas kebebasan itu.
“Saya tidak mengerti bagaimana bisa … memberikan kesempatan orang untuk melakukan shalat jamaah pada waktu tertentu bertentangan dengan sekularisme,” kata Iyimaya.
Menurut pengacara veteran itu, di Turki ada kecenderungan mudah untuk mengkatagorikan suatu tindakan itu diskriminatif. “Kenapa juga orang akan didiskriminasi jika dia shalat atau tidak? [Bahkan] tidak ada diskriminasi berdasarkan warna mata atau pakaian seseorang,” imbuhnya.
Eminagaoglu berkeyakinan jika kebijakan “istirahat shalat Jumat” itu diberlakukan, maka orang-orang dari kelompok agama lain juga akan menuntut hal serupa.
“Apa jadinya jika pemerintah menyesuaikan jam kerja dengan jam shalat lima waktu atau waktu puasa? Tidak ada habisnya kalau begitu,” kata Eminagaoglu kepada Aljazeera.
Seperti negara-negara Barat, Turki memberlakukan hari kerja Senin-Jumat. Hal itu berbeda dengan negara mayoritas Muslim, terutama di kawasan Arab, yang menjadikan Jumat sebagai hari libur.
Tahun 1997, sebuah upaya oleh kelompok “konservatif” di pemerintah untuk mengubah jam kerja sesuai dengan jam puasa Ramadhan dibatalkan oleh pengadilan.
Sumber: Hidayatullah