ISIS, Perang Proxy, dan Indonesia
Oleh Mahfudz Siddiq
Ketua Komisi I DPR RI, F-PKS
Konflik politik di kawasan Timur Tengah (Timteng), khususnya di Irak dan Suriah, telah memunculkan pola baru konflik di kawasan tersebut yaitu proxy war (atau perang proxy) –konflik yang menggunakan instrumen ketiga yang dikendalikan oleh pihak-pihak negara yang terlibat konflik, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam konteks perang proxy itulah muncul satu aktor non-negara yang bernama ISIS. Sejumlah analis yang masyhur di antaranya Michel Chossudovsky, profesor dari University of Ottawa juga direktur Centre for Research on Globalization; Tim Anderson, profesor dari University of Sydney; Garikai Chengu, peneliti Harvard; dan Paul Craig Roberts yang pernah berada di Kementrian Keuangan masa pemerintahan Reagan telah mengungkap ke publik bahwa ISIS diciptakan, dikembangkan, dan dikendalikan oleh sejumlah negara besar baik di kawasan Timteng maupun di luar Timteng dengan kepentingan dan tujuannya masing-masing.
ISIS, Melting Pot Kelompok Garis Keras
Bagi pihak yang memiliki agenda Perang Global Melawan Terorisme (PGMT), ISIS dijadikan sebagai tempat berhimpun (melting pot) berbagai kelompok garis keras yang membawa bendera Islam.
Bukan saja agenda perjuangannya dipertegas yaitu mendirikan negara Islam di kawasan Syam (diawali dari Irak dan Suriah), tapi juga pola gerakannya difasilitasi dengan persenjataan militer yang lengkap dan canggih (well equip). Berbagai elemen kelompok radikal dan individu-individu yang punya preferensi radikalisme dikondisikan dan dimobilisasikan untuk menjadi foreign fighters di Irak dan Suriah.
Situasi ini tercermin dalam beberapa reportase investigatif para jurnalis di antaranya Samira Shackle dari Middle East Monitor atau Adam Withnall dari Independent, Inggris. Sel-sel baru ISIS juga dikembangkan di berbagai negara dengan memanfaatkan kelompok-kelompok radikal yang sudah ada seperti ragam ulasan khusus yang telah hadir di media ternama seperti NewYork Times, WashingtonPost, Economist, dan lainnya.
ISIS sekarang tampil sebagai kekuatan non-negara yang bergerak secara terbuka, melakukan propaganda secara terbuka melalui berbagai media, dan menyebar teror juga secara terbuka. Mereka bisa leluasa bergerak dan mengembangkan diri karena didukung pula oleh sumber pendanaan besar dari penguasaan sejumlah ladang minyak di Irak. Namun, akankah agenda PGMT dengan ISIS sebagai melting pot akan berhasil cepat? Saya kira tidak.
Pertama, karena pematangan terhadap berbagai elemen potensial yang digiring untuk bergabung dengan ISIS akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Kedua, ada sejumlah negara khususnya di kawasan Timteng yang masih menggunakan ISIS sebagai instrumen proxy untuk menjalankan kepentingannya. Hal ini terlihat jelas di Irak dan Suriah. Konflik bernuansa Sunni versus Syiah yang melibatkan beberapa negara saat ini akan dikelola dengan menggunakan instrumen proxy ISIS.
Ketiga, Suriah yang saat ini dijadikan medan pertempuran (battlefield) bagi ISIS dan ke depan akan dirancang sebagai killing-ground bagi semua kekuatan inti ISIS masih diwarnai pertarungan kekuatan antarnegara. Keterlibatan sejumlah negara di kawasan dan di luar kawasan tersebut membuat skenario Suriah sebagai killingground memiliki tingkat kerumitan yang tinggi.
Keempat, ISIS meski lahir sebagai kekuatan proxy, namun dalam perjalanannya bisa berbelok menjadi aktor kekuatan yang mandiri. ISIS bisa saja mampu mengendalikan gerakannya sendiri dan bahkan berbalik menyerang para pihak yang semula membidaninya. Jadi, kita harus berani membayangkan bahwa agenda PGMT (Perang Global Melawan Terorisme) masih akan berlangsung lama.
Instrumen Proxy Selain ISIS
Ada konteks lain yang berpotensi menjadikan perang proxy di kawasan Timteng menjadi episentrum yang dampaknya meluas ke kawasan lain yaitu pertarungan kepentingan dan pengaruh sejumlah negara utama, sebut saja Saudi dan Iran, yang menggunakan instrumen proxy selain ISIS, yaitu sentimen dan konflik Sunni (”Salafi”) versus Syiah.
Gerakan Syiah dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan agresivitas gerakannya di sejumlah negara, tentunya ditopang penuh oleh Iran. Pada sisi lain gerakan ”Salafi” juga menunjukkan agresivitasnya di sejumlah negara. Tentu saja ditopang penuh oleh Saudi. Arab Spring yang dalam waktu cepat diikuti oleh kontra Arab Spring juga telah menambah dimensi perang proxy di kawasan Timteng juga Afrika Utara. Jadi, peta konflik yang sedang terjadi di kawasan juga berciri multiaktor dan multivariabel.
Tidak mudah diurai dan tidak mudah juga dibayangkan ujung atau akhirnya. Maka dalam konteks situasi ini, berbicara ISIS seperti membaca buku dengan puluhan bab, dan kita baru sampai pada bab kedua atau ketiga. Lalu, apakah AS, Eropa, dan khususnya Israel memiliki peran dalam lanskap konflik kawasan yang sedang meluas ini?
Pastinya ya. AS telah menjadi aktor aktif dan terdepan dalam penumbangan rezim Saddam di Irak dan Khadafi di Libya. Operasi serupa AS di Suriah tidak berhasil hingga sekarang Rusia masuk menyusul Iran mempertahankan rezim Bassar. Kontra Arab Spring, khususnya di Mesir dan beberapa negara lainnya, juga melibatkan tangantangan negara di luar Mesir.
Muncul sejumlah analisis tentang agenda menciptakan peta baru negara-negara di kawasan Arab dan sekitarnya dan penataan hegemoni politik dan ekonomi baru di atasnya. Akan seperti apa peta baru tersebut, kita semua masih meraba. Hampir semua negara di kawasan tersebut sibuk dalam orkestra tak beraturan. Turki sekalipun mengalami hal yang sama. Turki dihadapkan pada manajemen konflik yang melibatkan banyak variabel: Suriah, Iran, Rusia, Kurdi, ISIS, dan juga agenda konflik elite dalamnegerinya.
Dalam kesibukan orkestra tak beraturan ini ada satu negara (seminegara) yang nyaris sendirian dan terisolasi yaitu Palestina. Arus bantuan keuangan terputus, arus dukungan politik mandeg dan kusut. Lalu, tekanan militer Israel ke Palestina makin ekspansif dan brutal.
Tapi, potret konflik Palestina versus Israel makin buram dari penglihatan dunia. Apa yang akan terjadi dengan Palestina? Kita tidak tahu. Yang pasti bangsa terjajah ini sedang terhimpit dan terinjak oleh konflik kawasan yang sedang terjadi.
Keamanan, Politik Luar Negeri, dan Kepemimpinan
Indonesia, negara muslim terbesar dunia, pastilah akan diseret untuk menjadi bagian dari perang proxy yang melibatkan ISIS dan kekuatan-kekuatan besar aktor negara di belakangnya.
Pertama, Indonesia dijadikan salah satu sumber rekrutmen foreign fighters bagi ISIS di Irak dan Suriah. Di mana hal itu sudah berlangsung dan akan terus berjalan.
Kedua, kelompok-kelompok radikal yang sudah lama ada (sekitar 15-16 kelompok) akan terus digalang untuk berpatron dengan ISIS dan kemudian menjalankan operasinya di dalam negeri. Bisa dipastikan mereka yang menamakan diri pendukung atau bagian dari ISIS di Indonesia bukanlah aktor baru. Kelompok, anggota, jaringan, daerah basis, dan pola gerakannya relatif sudah teridentifikasi oleh pihak keamanan dan intelijen Indonesia.
Pengendalian situasi-kondisi akansangat ditentukanolehtingkat kecepatan dan ketepatan aktor keamanan dalam deteksi dini, cegah dini, dan pre-emptive action. Namun, penanggulangan terhadap kelompok-kelompok radikal ini akan berkepanjangan manakala tingkat koordinasi kerja antara Polri, BIN, BNPT, dan juga TNI tidak berjalan baik.
Termasuk juga dengan pihak imigrasi, pengendali transaksi keuangan, dan pengendali komunikasi siber. Sebab lain yang klasik adalahapabilamasihadapihakdalam aktor keamanan negara yang bermain- main dengan mengelola kelompok-kelompok radikal denganpendekatanproyek. Sejarah Orde Baru menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok radikal dikelola sebagai instrumen proxy untuk kepentingan politik penguasa saat itu.
Persoalannya yang jauh lebih besar ketimbang ISIS semata adalah bagaimana kebijakan politik luar negeri Indonesia menyikapi konflik kawasan yang berciri perang proxy dan multivariabel serta cenderung meluas ini? Selain itu, bagaimana Pemerintah Indonesia melakukan manajemen krisis untuk mengantisipasi dampak ikutan dari konflik kawasan tersebut? Seperti terkonsolidasinya hubungan patron kelompok-kelompok radikal dengan ISIS, potensi konflik terbuka pengikut Sunni-Syiah, aksi-aksi teror nyata yang semakin terbuka, dan pengendalian terhadap faktor-faktor dalam negeri yang bisa menyuburkan konflik horizontal dan menyuburkan aksi-aksi teror tersebut.
Sejatinya, pengendalian situasi-kondisi ini membutuhkan kepemimpinan dan manajemen pemerintahan yang solid dan efektif. Hanya dengan modal itu, pemerintah akan mampu memobilisasi arah, dukungan, dan partisipasi semua pihak untuk bekerja bersama-sama menjaga dan membangun Indonesia.
Belajar dari kasus Din Minimi, meski kesigapan BIN harus dihargai, tampak jelas lemahnya koordinasi, tidak ada kesatuan sikap langkah, dan juga tidak jelasnya arah kebijakan kepemimpinan. Padahal, jika kita mau membuka lebar ”karpet” Bumi Nusantara ini, perang proxy juga sedang terjadi di berbagai bidang kehidupan. Politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan bahkan ideologi.[]
*Dimuat di Koran SINDO, Senin, 18 Januari 2016
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=3&date=2016-01-18