"IMUNITAS" Oleh: Anis Matta


"IMUNITAS"

Oleh: Ust. Anis Matta, Lc.

Ketika kita memasuki dunia politik dan mencoba memikul beban baru da’wah, dihadapan kita terbentang sebuah persoalan: seberapa kuat daya tahan idiologi dan mental kita di dunia yang rumit ini? Itu semua benar-benar berbeda dengan dunia kita selama ini. Sebuah dunia yang tenang, damai dan penuh idealisme. Dunia yang tercipta dari fikiran-fikiran jernih dan jiwa-jiwa yang ikhlas. Sebuah dunia putih dengan nuansa spiritual dan ubudiyah yang kental. Di masjid-masjid dan majelis-majelis ilmu yang penuh dengan cahaya dan rahmat, kita saling menyucikan jiwa, menambah ilmu, bersaudara, dan bekerjasama.

Tetapi dunia politik yang kita masuki sekarang adalah dunia yang gaduh. Penuh warna-warni. Tempat orang-orang cerdas (dan juga licik) saling bertaruh, berdebat, memamerkan ‘otot-otot’ pengetahuan dan ambisi. Dunia politik adalah tempat dimana persahabatan dan pilihan-pilihan sikap dibangun atas landasan kepentingan yang rendah. Dunia politik -dengan segala nuansanya-adalah juga tempat bersemayam kekuasaan yang secara pasti akan mempengaruhi kehidupan orang banyak.

Itulah masalah kita! Kita ingin mengembalikan kekuasaan ke tempat yang sebenarnya. Tetapi kekuasaan itu pedang bermata dunia: mungkin kita bisa “membersihkannya”, mungkin juga menodai kita. Itulah sebabnya kita memerlukan imunitas: semacam daya tahan terhadap lingkungan yang tidak Islami, daya tangkal terhadap pengaruh negatif, atau daya seleksi terhadap pengaruh positif.

IMUNITAS IDIOLOGI

Duniia politik mempunyai satu sisi yang sangat dinamis dan semakin dinamis di alam demokrasi: dunia gagasan -dunia ide-ide- dunia wacana. Politik adalah sebuah pasar raksasa yang menampung semua produk ide dan gagasan tentang cara mengatur kehidupan bersama masyarakat manusia.

Gagasan yang paling berbahaya dan mungkin bisa menghancurkan kehidupan umat manusia, bisa laku di pasar ini. Maka, selama 70 tahun masa kejayaan komunisme di Rusia, kurang lebih 60 juta rakyat Soviet terbunuh. Yang terjadi disini adalah peristiwa yang tidak bisa difahami orang banyak. Sebuah gagasan telah mendapatkan kekuasaan dan memaksakan perwujudanya dengan kekuasaan itu.

Walau pengalaman politik kita mungkin tidak sekelam itu, tetapi yang perlu kita catat adalah perubahan besar bermula dari perubahan pada wacana pemikiran. Perubahan wacana itu tentu saja tidak terbentuk sekaligus, namun berkembang menjadi arus besar manakala tidak ada gagasan lain yang sepadan dengannya melakukan perlawanan.

Mereka yang memasuki dunia politik yang sangat dinamis ini, tanpa kesiapan ilmu pengetahuan dan penguasaan konseptual yang mendalam, akan kehilangan imunitas idiologinya.

IMUNITAS MENTAL

Kadang-kadang kita mempunya imunitas idiologi yang kuat, tetapi waktu berinteraksi dengan dunia gaduh dan ramai ini, secara perlahan akan mengurangi kepekaan iman dan spiritual kita. Yang kita rasakan kemudian adalah kurangnya kepekaan terhadap kemungkaran yang terjadi di sekeliling kita. Bahkan, mungkin kita tidak merasakan “amarah” yang wajib kita rasakan setiap kali kita menyaksikan kemungkaran.

Akibat lain dari melemahnya kepekaan itu adalah degradasi spiritual dan semangat ubudiyah, khususnya terhadap ibadah-ibadah mahdhoh. Dalam pemahaman ibadah yang integral, kia mungkin merasa bahwa semua yang kita lakukan saat ini juga dalam kerangka ibadah. Akan tetapi, ibadah mahdhoh mempunyai fungsi yang lebih spesifik yang tidak ada dalam ibadah ghoiru mahdhoh: semacam fungsi stasiun tempat kita mengisi bahan bakar bagi mesin jiwa kita.

Apa yang lebih parah dari itu adalah kemungkinan kita mulai meremehkan dosa-dosa kecil yang terjadi dalam masyarakat. Perasaan meremehkan itu sendiri sudah cukup mendorong kita untuk mentolerir diri sendiri untuk melakukan hal yang sama. Inilah awal mula penyimpangan di jalan da wah.

ILMU DAN IBADAH

Catatan yang mungkin lebih penting dari semua itu adalah bahwa kita memasuki dunia politik dalam usia yang sangat muda. Tentu saja mempunyai masalah dalam hal ilmu dan mental. Tetapi, kita telah memasuki dunia ini dan rasanya tidak mungkin kembali. Karena itu, yang harus kita lakukan sekarang adalah menutupi kelemahan-kelemahan itu dengan ilmu yang luas dan mendalam, ibadah yang banyak dan khusyu'.

Dalam setiap perenungan pribadi, saya selalu teringat pesan Umar Bin Khottob “berfiqihlah sebelum kamu dinobatkan untuk memimpin”. Sebab, inilah celah yang senantiasa menjebak para penguasa dan para pemimpin: kebodohan.

Maka,setiap kali saya berada di perpustakaan dan tenggelam dalam lembaran-lembaran buku, saat itulah saya teringat akan nasihat Imam Syafi`i “kalau ada orang muda muncul ke panggung, maka ia akan kehilangan banyak ilmu” orang seperti kitalah yang mungkin dimaksud oleh Imam Syafi`i.

Tentu saja, kita mempunyai situasi dan momentum historis serta pertimbangan strategi da'wah yang dapat membenarkan keputusan kita untuk memasuki dunia politik. Tetapi, itu sama sekali tidak menghilangkan ancaman ini: kebodohan, kedangkalan, syahwat yang terpendam, dan ketidakmatangan. Itulah kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri kita yang setiap saat bisa menjadi jebakan yang mematikan.[]


Baca juga :