Pakar Komunikasi Effendi Gazali mengaku heran dengan cara kerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.
Effendi memberi contoh beberapa kasus besar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bernilai di atas Rp 1 miliar, mandek tanpa ada kejelasan lanjut atau tidak diproses.
"Kasus Sumber Waras yang dari temuan BPK ada penyimpangan Rp 191 miliar. Kasus ini masih tersimpan di KPK dan menunggu untuk diproses," kata Effendi saat Refleksi 69 Tahun BPK RI, Selasa (19/1/2016), kutip Harianumum.com.
"Saya heran, kasus yang nilai kerugiannya lebih besar malah mandek. Yang nilai Rp 200 juta malah diuber-uber. Ada apa ini?!" serunya.
Cara kerja aparat penegak hukum yang tidak jelas inilah sering menjadi tanda tanya masyarakat. Apakah kerja penegak hukum ini mengikuti aturan atau disesuaikan dengan kondisi.
"Jangan salah kalau ada sebagian masyarakat menilai kinerja aparat hukum kita ada nuansa politiknya. Jika ada kaitannya dengan politisi, itu duluan yang digarap," jelasnya.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 8 Agustus 2015 dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus jual beli tanah Rumah Sakit (RS) Sumber Waras. Ahok dituding menyebabkan kerugian negara ratusan miliar.
BPK sendiri sudah menyampaikan laporan Hasil Audit Investigasi RS Sumber Waras kepada KPK pada 7 Desember 2015.
Dalam hasil audit, BPK mengatakan ada enam penyimpangan dalam pembelian lahan seluas 3,6 hektare di Grogol, Jakarta Barat.
"Secara prinsip, ada enam penyimpangan, mulai perencanaan, penganggaran, pembentukan tim, pengadaan, pembentukan harga, hingga penyerahan hasil," kata Eddy Mulyadi Supardi, Anggota III BPK RI di kantor KPK, Senin, 7 Desember 2015, kutip Tempo.
BPK menilai pembelian lahan yang bersertifikat hak guna bangunan itu telah merugikan daerah sebesar Rp 191 miliar. BPK juga menilai lahan yang dibeli pemerintah lebih mahal dibandingkan harga tanah di sekitarnya sehingga ada potensi kerugian sebesar Rp 484 miliar.