2016: Peta Baru Politik KMP-KIH, Pencopotan Fahri dan Blunder PKS


Lembaran lembaran pertama tahun 2016 diprediksi akan menjadi catatan indah bagi jalannnya politik pemerintah. Komposisi KMP-KIH hampir bisa dikatakan tak lagi relevan dibaca sebagai kekuatan politik. Penguasaan politik KMP yang awal nya didorong meluas sampai ke daerah ternyata hanya mampu dipertahankan di DPR. Itupun karena memang diikat oleh penguasaan bersama atas alat kelengkapan Dewan (AKD). Dalam politik, menjaga koalisi tanpa basis kuasa memang bukan pekerjaan yang mudah. Koalisi politik tidak akan mampu diikat hanya didasarkan pada kesepahaman semata.

Kini, DPR sebagai satu satunya basis pertahanan KMP pun mulai goyang dan rapuh. Satu persatu partai yang sebelumnya mendapatkan posisi melalui konsensus yang dibangun dengan KMP, mulai mundur teratur. Godaan survive merawat basis demi kepentingan Pemilu mendatang membuat Parpol-parpol di KMP mulai tergoda untuk merapat ke pemerintah yang berkuasa.

Penguasaan jumlah anggota Dewan yang menjadi senjata utama KMP dalam melakukan bergaining politik kini mulai berubah peta. Di awali dengan Demokrat yang memang sedari awal tidak menunjukkan posisioning yang jelas, lalu diikuti PAN yang telah dengan jelas menyatakan diri bergabung bersama pemerintah. Maka 61 kursi Demokrat dan 47 kursi PAN yang melahirkan paket pimpinan DPR sesungguhnya telah berada di luar jangkauan kontrol KMP. Degradasi kekuatan KMP ini kembali terjadi ketika sidang Setya Novanto berlangsung. Komposisi pimpinan MKD yang lahir dari paket yang diusulkan oleh KMP pecah dan hanya meninggalkan Gerindra, Golkar dan PPP, sementara PKS yang sedari awal menjadi motor penggerak KMP berubah haluan dalam kasus Setya Novanto.

2016 akan menjadi hari hari terberat bagi KMP sebagai sebuah kekuatan politik. Ujian terbaru yang akan segera datang adalah terkait manuver PKS. Setelah terjadi pergantian gerbong di tubuh PKS dari Anis Matta ke Sohibul Iman, PKS dengan menggunakan alibi oposisi loyal mulai berkomunikasi untuk menjajaki kompromi dengan pemerintah.

UJIAN BESAR KMP: JALAN MULUS POLITIK PEMERINTAH

Sebagaimana dilansir oleh media massa dalam 1 bulan terakhir, PKS berencana mengganti posisi Fahri Hamzah. Fahri Hamzah dikenal sebagai salah satu master mind dalam tubuh KMP yang mampu membangun rasionalisasi logis tentang pentingnya KMP dalam percaturan politik kebangsaan. Manuver Fahri Hamzah melalui KMP ini juga yang membawa PKS sukses mendapatkan kursi Pimpinan MPR dan DPR, meski perolehan kursi PKS di DPR menempati urutan ke-7.


Logika dua cabang kekuasaan (Eksekutif dan Legislatif) tidak boleh diisi oleh kelompok dengan bangunan frame yang sama, karena rentan mengakibatkan terjadinya kompromi yang merugikan rakyat adalah salah satu ide Fahri yang mampu menjaga semangat kekompakan KMP, untuk terus bekerja meski di luar kekuasaan. Namun politik tidak berjalan linier seperti pengalaman PDIP yang sukses memberikan teladan yang baik untuk betah berpuasa 10 tahun berada di luar kekuasaan. Rasionalisasi kolektif kebangsaan tidak cukup untuk menjelaskan kepentingan masing-masing parpol yang harus menjaga suara di Pemilu berikutnya. Maka bergabung mengambil bagian dalam pemerintahan adalah langkah taktis yang juga dipandang rasional oleh masing masing parpol.

Kembali ke rencana recall Fahri oleh PKS dari kursi pimpinan DPR. Situasi ini akan menjadi ujian terakhir bagi KMP untuk tetap berada dalam 1 gerbong sampai 2019.

Pasal 42 peraturan DPR tentang Tata Tertib (Tatib) mengatur bahwa jika Parpol menarik anggotanya dari kursi Pimpinan DPR maka harus mendapat persetujuan dari rapat Paripurna. Ini adalah konsekwensi dari UU MD3, dimana sebelumnya pimpinan DPR adalah mandatori pendelegasian dari Parpol dengan urut perolehan kursi terbanyak menjadi dipilih melalui sebuah paket yang bersifat tetap oleh Paripurna. Maka pergantian pimpinan DPR harus disetujui oleh paripurna sebagai pemberi mandat.

Maka jika PKS menghentikan Fahri dari kursi pimpinan DPR akan membuat terbentuknya arena pertarungan baru bagi KMP dan KIH. Paripurna ini akan menjadi teskis (test case) terakhir dari pemerintah untuk mengukur kekuatan KMP di Parlemen. Sementara itu KMP justru tengah berada di titik nadir kekuatannya untuk mampu menengadahkan kepala. Jika struktur PKS membangun komunikasi dengan KIH untuk mendapatkan dukungan agar voting pencopotan Fahri Hamzah berjalan dengan lancar, maka telaklah segala pertarungan yang berbasiskan KMP-KIH akan dimenangkan oleh partai pendukung pemerintah. KMP tak lagi memiliki taring di benteng pertahanan terakhirnya yaitu DPR.

BLUNDER BAGI PKS

Namun hal ini juga akan menjadi blunder bagi PKS. Teskis kekuatan politik parpol pendukung pemerintah jika mampu mengalahkan KMP dalam voting paripurna pencopotan Fahri Hamzah akan menjadi steping stone bagi KIH untuk merubah kembali UU MD3. Pengalaman memenangkan jumlah suara dalam pertarungan head to head kasus Setya Novanto dan pencopotan Fahri akan membuka peta jalan untuk mengusulkan revisi kembali terhadap UU MD3.

Masih ada empat tahun efektif masa jabatan DPR priode 2014-2019. Empat tahun ini akan menjadi waktu yang penting dan strategis bagi pemerintah untuk kembali mengambil alih kursi pimpinan DPR agar program-program pemerintah berjalan mulus tanpa rintangan yang berarti di DPR.

Melihat peta perolehan kursi di DPR, jika mekanisme pengisian posisi pimpinan DPR dikembalikan ke aturan lama -yaitu berdasarkan perolehan kursi terbanyak- maka dari komposisi fraksi pada pimpinan DPR yang ada sekarang, kita akan melihat hanya PKS yang akan kehilangan kursi di jajaran pimpinan. Ketua DPR akan ditempati oleh PDIP dengan 109 kursi, lalu di posisi wakil ketua akan beturut turut ditempati oleh Golkar dengan 91 kursi, Gerindra 73 kursi, Demokrat 61 Kursi dan terakhir PAN 49 kursi.

Dengan komposisi tersebut maka di tengah melemahnya bergaining KMP, dapat dipastikan semua fraksi lain minus PKS akan bisa menerima konsekwensi perubahan UU MD3, karena jatah mereka di pimpinan DPR dan selanjutnya mengikuti di AKD yang lain tidak hilang. Satu satunya fraksi yang akan terdepak dari pimpinan DPR dan seluruh AKD hanyalah PKS. Perubahan UU MD3 tidak akan mengganggu kepentingan parpol manapun kecuali PKS, karena perubahan tersebut hanya mengakibatkan pergantian posisi dari PKS ke PDIP.

(SS)

*NB: Tulisan ini dimaksudkan agar qiyadah dapat mempertimbangkan banyak hal, bahwa pergantian FH memiliki implikasi eksternal yang bisa berakibat pada seluruh kursi PKS di AKD MPR dan DPR akan hilang, karena sesuai UU harus dibawa ke paripurna. Paripurna ini akan jadi panggung politik liar, pertama akan merusak perasaan kader, padahal tidak ada partai yang paling canggih mengelola situasi internal dan menjaganya agar tidak keluar kecuali PKS, tak ada tradisi PKS mengeksplore situasi internal keluar. Kedua paripurna itu akan jadi teskis parpol-parpol pendukung pemerintah bahwa kini suaranya telah lebih banyak, dan itu akan memudahkan mimpi mereka sejak awal untuk revisi MD3, jika MD3 direvisi dan mekanisme pengisian jabatan pimpinam DPR MPR kembali ke sistem lama yaitu berdasar urut perolehan kursi, maka hanya PKS yang akan kehilangan kursi diseluruh AKD MPR dan DPR.


Baca juga :