Koordinator relawan sosial media Jokowi (JASMEV), Dyah Kartika Rini Djoemadi (Kartika Djoemadi) akhirnya mendapat jatah jabatan kursi komisaris di PT Danareksa..
"Ibu Dyah Kartika Rini diangkat sebagai komisaris PT Danareksa (Persero) tanggal 27 Oktober 2015," ujar Corporate Secretary Danareksa Fattah Hidayat melalui pesan singkat kepada Sindonews di Jakarta, Rabu (9/12/2015).
Wanita cantik ini resmi menjadi komisaris perusahaan pelat merah tersebut sesuai SK Nomor SK-204/MBU/10/2015 tanggal 27 Oktober 2015.
Pengangkatan Kartika Djoemadi sebagai komisaris BUMN ini mendapat kritik keras dari sesama relawan Jokowi.
"edannnnnnnnn, PhD palsu jadi komisaris danareksa.....," komen netizen Aprina Murwanti.
Bahkan seorang relawan, Buni Yani, sampai membuat surat langsung ditujukan ke Presiden RI Joko Widodo.
Desas desus bagi-bagi jatah komisaris untuk Kartika Djoemadi sudah ramai beredar di kalangan relawan Jokowi sejak Januari lalu.
Melalui surat tertanggal 14 Januari 2015, Buni Yani menyampaikan bahwa Kartika Djoemadi amat bermasalah integritas pribadinya, penipuan gelar Ph.D dan suka berbohong.
Berikut isi lengkap Surat tersebut yang juga tersebar di facebook.
SURAT UNTUK PRESIDEN JOKO WIDODO MENGENAI SAUDARI KARTIKA JUMADI
Jakarta, 14 Januari 2015
Kepada
Yth. Presiden RI
Bapak Joko Widodo
di Tempat
Hal: Pengangkatan Staf dan Integritas Pribadi
Dengan hormat,
Saya menulis surat terbuka ini didasarkan atas rasa tanggung jawab yang besar karena telah memilih dan ikut berjuang sebagai relawan agar Bapak terpilih menjadi presiden rakyat, pilihan kami semua, yang mendambakan perubahan di negeri yang kita cintai ini. Kami selalu berdoa semoga Bapak diberikan kekuatan mengemban amanah yang besar sehingga bisa membawa negeri kita ke arah yang lebih baik.
Saya mendengar kabar dari sumber yang bisa saya percayai bahwa Bapak akan memberikan kepercayaan kepada Kartika Djoemadi, koordinator Jasmev, organ relawan yang ikut membantu dalam kampanye pilpres dulu, untuk menangani satu urusan dalam pemerintahan Bapak. Saya amat terkejut. Apakah saya tidak salah dengar? Kita tahu Kartika Djoemadi amat bermasalah integritas pribadinya. Dia mengaku tamat Ph.D. dari jurusan Ekonomi Makro Universiteit Amsterdam, tetapi setelah saya dan kawan-kawan melacak kebenarannya, ternyata tidak ada orang dengan nama demikian membuat disertasi dan menjadi alumni di sana. Kartika menaruh latar belakang pendidikannya tersebut di beberapa akun media sosial dan web perusahaannya (bernama Spin Doctor). Ketika kami ramai-ramai mempermasalahkan hal tersebut tiga tahun lalu, Kartika buru-buru mengedit dan mengubah latar belakang pendidikannya. Namun Bapak masih bisa menelusuri data tersebut di blog ini: https://sebelumdiedit.wordpress.com/. Selain saya yang masih penelitian di Universiteit Leiden, Belanda, tiga tahun lalu itu, ada sejumlah kawan yang juga bisa bersaksi. Di antaranya Dr. Agung Trisetyarso yang waktu itu masih mahasiswa di Jepang, Dr. Sony Koesoemasondjaja dan Dr. Usep Suhud yang waktu itu keduanya masih sekolah di Australia.
Saya sudah menghubungi seorang petinggi PDIP yang dekat dengan Ibu Mega mengenai masalah ini dengan harapan Bapak akan mengurungkan niat untuk memberikan kepercayaan kepada Kartika. Namun, tanggapannya di luar dugaan saya. Dia mengatakan Kartika bekerja keras untuk memenangkan Bapak dalam pilpres. Pertanyaan saya, apakah aspek bekerja keras ini bisa secara total mengalahkan integritas pribadi seseorang? Menurut saya tidak. Seharusnya integritas pribadi menjadi hal utama dalam pemilihan orang yang akan memegang jabatan tertentu. Karenanya, dengan sangat menyesal surat ini saya tulis, agar mendapatkan perhatian semestinya.
Namun saya tetap berharap informasi yang saya dengar di Menteng beberapa minggu lalu itu tidaklah akurat. Saya berharap nama Kartika tidak masuk dalam radar nama yang Bapak akan berikan jabatan. Tetapi kalau ya, maka surat ini menjadi relevan. Saya dan kawan-kawan bersedia memberikan informasi apa adanya kepada Bapak agar tidak memilih orang yang tidak tepat untuk suatu jabatan. Namun saya juga mendengar dari kawan relawan bahwa Kartika semakin leluasa keluar-masuk istana dan bahkan diberikan kepercayaan untuk mengkoordinir pertemuan para relawan dengan Bapak. Informasi ini amat mengkhawatirkan kami karena artinya informasi yang saya terima sebelumnya itu sudah hampir akan menjadi kenyataan bahwa Bapak akan memberikan kepercayaan kepada Kartika.
Bapak Presiden yang saya hormati,
Beginilah kronologi kejadian tiga tahun lalu itu. Pada suatu hari di bulan Desember 2011 media sosial Twitter diramaikan oleh perseteruan antara Kartika Djoemadi dengan mantan artis tenar tahun 1980an. Saya mengenal si artis, namun saya tidak mengenal Kartika yang berani menyerang integritas si artis. Karena penasaran, saya mulai menyelidiki timeline Twitter Kartika. Saya menemukan sejumlah kejanggalan. Saya mulai mempertanyakan kejanggalan tersebut kepada Kartika yang membuat konflik Kartika dengan si artis kini melebar juga menjadi konflik antara Kartika dan saya sendiri. Posisi saya jelas tidak membela si artis, tetapi mengkritisi dan mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan tersebut. Melihat temuan-temuan saya tersebut, para pengguna Twitter memasok saya dengan banyak informasi mengenai Kartika, yang maaf, semuanya berisi informasi negatif tentangnya. Teman-teman kuliah Kartika di UI memberikan saya informasi macam-macam termasuk soal gelar yang dia pasang di akun media sosialnya. Dua orang teman kuliahnya tersebut adalah kawan saya mengajar di sebuah perguruan tinggi. Jadi, kualitas informasinya sangat bisa dipercaya. Berbekal informasi dari teman kuliahnya tersebut saya semakin percaya dan berani melakukan penelusuran mengenai gelar akademik yang diobral dan dipakai secara sembarangan oleh Kartika.
Ketika ramai-ramai banyak orang mempermasalahkan gelar Ph.D.-nya, Kartika masih berani dan sempat-sempatnya berbohong kepada banyak orang. Dia mengaku berada di Breda, Belanda pada musim dingin atau bulan Desember 2011. Melalui twitnya Kartika mengatakan sedang turun salju di Breda. Saya terperangah. Saya baru saja balik liburan dari Berlin, Jerman menggunakan kereta api cepat ke Leiden dan sepanjang perjalanan tidak ada turun salju bahkan di seluruh daratan Eropa pada waktu itu. Karena telak ketahuan bohong, Kartika sempat tidak mengaktifkan akun Twitter-nya. Kesimpulan kami pada waktu itu, Kartika tidak berada di Belanda, dia hanya ingin pamer kepada follower-nya untuk menaikkan citra atau pamor dirinya. Saya mendapat kesan, seperti informasi yang saya terima dari banyak orang, Kartika pintar berbohong dan memanipulasi fakta untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri.
Bapak Presiden Jokowi yang saya hormati,
Mudahan Bapak bisa mengambil kebijakan dan keputusan yang tepat atas cerita saya di atas. Sebagai pendukung Bapak dan menjadi relawan waktu kampanye dulu, saya sangat berharap Bapak berpikir ulang untuk memilih Kartika untuk suatu jabatan meskipun Bapak merasa Kartika telah bekerja keras selama pilpres. Memilih orang yang tepat akan menaikkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintahan Bapak, namun sebaliknya, bila memilih orang yang tidak tepat, akan membuat kepercayaan tersebut semakin menurun. Kasus Budi Gunawan yang Bapak setujui menjadi calon Kapolri lalu ternyata dijadikan tersangka oleh KPK haruslah menjadi pelajaran berharga di masa yang akan datang. Saya amat yakin, begitu Kartika Bapak angkat untuk menduduki suatu jabatan, maka suara-suara miring soal kebohongan dan keberaniannya menggunakan gelar palsu tersebut akan segera menjadi perbincangan publik. Dan saya yakin pula, tingkat kepercayaan akan pemerintahan Bapak akan semakin menurun.
Saya meminta maaf bila ada kata yang kurang tepat dan kurang berkenan. Semuanya ini saya dan kawan-kawan lakukan demi kebaikan kita sebagai bangsa Indonesia.
Salam hormat,
Buni Yani
Penggagas Sekolah Gratis Depok
Sumber: fb
***
Sebelum Kartika Djoemadi, bulan Sepetember lalu relawan sosmed Jokowi Fadjroel Rachman juga diangkat sebagai Komisaris Utama (Komut) PT Adhi Karya Tbk (ADHI).