RUMAH TANGGA NABAWY


RUMAH TANGGA NABAWY

[Dikutip dari Kitab Sirah Nabawiyah 'Ar-Rahiqul Makhtum' Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury]

Uraian tentang rumah tangga nabawy ini dapat dipaparkan menurut masing-masing dari istri-istri beliau.

1. Khadijah binti Khuwailid

Rumah tangga nabawy yang dibangun di Makkah sebelum hijrah adalah bersama Khadijah binti Khuwailid. Beliau menikah dengan Khadijah binti Khuwailid pada usia 25 tahun, sedangkan Khajidah sendiri berumur 40 tahun. Khadijah adalah wanita pertama yang dinikahi beliau. Selama membina rumah tangga dengan Khajidah, beliau tidah menikah dengan wanita lain. Dari Khadijah inilah beliau mendapatkan putra dan putri. Tak seorang pun dari putra beliau yang hidup. Adapun putri-putri beliau dari Khadijah: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Zainab dinikasi anak bibinya, Abdul-Ash bin Ar-Rabi’ sebelum hijrah. Sedangkan Ruqayyah dan Ummu Kultsum dinikahi Utsman bin Affan tidak secara bersamaan. Sedangkan Fatimah dinikahi Ali bin Abi Thalib pada waktu antara perang Badar dan Uhud. Dari pernikahan Fatimah dan Ali ini lahir Hasan. Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum.

Sebagaimana yang sudah diketahui, Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam berbeda dengan umatnya, dengan diperbolehkan bagi beliau untuk menikahi wanita lebih dari empat orang. Banyak tujuan dari pernikahan beliau ini. Wanita yang pernah terikat dengan perkawinan beliau ada tiga belas orang. Sembilan orang meninggal dunia sepeninggalan beliau, dua orang meninggal semasa hidup beliau, yaitu Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah, ibu para fakir miskin. Dua orang yang tidak pernah dijamah Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam.

2. Saudah binti Zum’ah

Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam menikahinya pada bulan Syawwal tahun kesepuluh dari nubuwah, tepatnya beberapa hari setelah Khadijah meninggal dunia. Sebelumnya Saudah menjadi istri anak pamannya yang bernama As-Sakran bin Amr, yang kemudian meninggal dunia.

3. Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq

Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam menikahinya pada bulan Syawwal tahun kesebelas dari nubuwah, selang satu tahun setelah menikahi Saudah atau dua tahun lima bulan sebelum hijrah. Beliau menikahinya saat dia masih berumur enam tahun, lalu hidup bersama beliau pada bulan Syawwal, tujuh bulan setelah hijrah di Madinah, yang saat itu umurnya Sembilan tahun. Aisyah adalah seorang gadis dan beliau tidak menikahi gadis kecuali Aisyah. Dia termasuk orang yang amat dicintai Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam dan merupakan wanita yang paling banyak ilmunya di tengah umat.

4. Hafshah binti Umar bin Al-Khathab

Dia ditinggal mati suaminya, Khunais bin Hudzafah As-Sahmy pada waktu antara peranga Badr dan Uhud, lalu dinikahi Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam pada tahun 3 H.

5. Zainab binti Khuzaimah

Dia berasal dari Bani Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah, yang dijuluki Ummul-Masakin (ibunda orang-orang miskin), karena kasih sayang dan kemurahan hatinya terhadap mereka. Sebelum itu ia adalah istri Abdullah bin Jahsy, yang mati syahid pada perang Uhud, lalu dinikahi Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam pada tahun 4 H. namun dia meninggal dua atau tiga bulan setelah pernikahan ini.

6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah

Sebelumnya dia adalah istri Abu Salamah yang meninggal dunia pada bulan Jumadats-Tsaniyah tahun 4 H, lalu dinikahi Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam pada bulan syawwal pada tahun yang sama.

7. Zainab binti Jahsy bin Rayyab

Dia berasal dari Bani Asad bin Khuzaimah dan putri bibi Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam sendiri. Sebelumnya dia adalah istri Zaid bin Haritsah, yang dianggap sebagai putra beliau sendiri. Zaid menceraikannya, lalu Allah menurunkan ayat Al-Qur’an yang tertuju langsung kepada beliau,

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia.” (Al-Ahzab: 37).

Ada juga beberapa ayat dari Al-Ahzab lainnya yang menjelaskan masalah anak angkat, yang akan kami sampaikan setelah ini. Beliau menikahinya pada bulan Sya’ban 6 H.

8. Juwairiyah binti Al-Harits

Bapaknya adalah pemimpin Bani Al-Musthaliq dari Khuza’ah. Tadinya Juwairiyah ada diantara para tawanan Bani Al-Musthaliq, yang kemudian menjadi bagian Tsabit bin Qais bin Syammas. Lalu Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam menebus dirinya dan menikahinya pada bulan Sya’ban 6 H.

9. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan

Sebelumnya dia istri Ubaidillah bin Jahsy. Bersama suaminya dia hijrah ke Habasyah. Namun di sana Ubaidillah murtad dan masuk agama Nasrani dan juga meninggal di sana. Sekalipun suaminya murtad, Ummu Habibah tetap teguh dalam Islam. Tatkala Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam mengutus Amr bin Umayyah Adh-Dhamry untuk menyerahkan surat beliau kepada Raja NAjasyi pada bulan Muharram 7 H, beliau juga menyampaikan lamaran kepadanya.

10. Shafiyah binti Huyai bin Akhthab

Dia berasal dari Bani Israel, yang sebelumnya dia termasuk salah seorang dari para tawanan Khaibar. Lalu Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam memilihnya untuk diri beliau sendiri, membebaskannya dan menikahinya setelah penaklukan Khaibar pada tahun 7 H.

11. Maimunah binti Al-Harits

Dia adalah saudari Ummul-Fadhl Lubabah binti Al-Harits. Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam menikahinya pada bulan Dzul-Qa’idah 7 H. saat umrah qadha’ setelah habis masa iddahnya.

Mereka inilah para wanita yang dinikahi Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam dan beliau hidup bersama mereka. Ada dua orang yang meninggal ketika beliau masih hidup, Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah, yang berarti beliau meninggal dengan meninggalkan sembilan lainnya menjadi janda.

Adapun wanita yang beliau nikahi bukan sebagai wanita merdeka adalah Mariyah Al-Qibthiyah, yang dihadiahkan Al-Maquqis dan melahirkan putra beliau, Ibrahim, namun meninggal dunia selagi masih kecil di Madinah semasa hidup beliau, pada tanggal 28 atau 29 Syawwal 10 H, bertepatan dengan tanggal 27 Januari 632 M. Selain Mariyah adalah Raihanah binti Zaid An-Nadhiriyah atau Al-Qurzhiyah, yang sebelumnya termasuk tawanan Quraizhah. Beliau memilihnya untuk diri beliau sendiri. Ada yang berpendapat dia juga termasuk istri beliau, yang dimerdekakan lalu dinikahi. Pendapat pertama ditegaskan Ibnul-Qayyim. Sedangkan Abu Ubaidah menambahi dua wanita lainnya, yaitu Jamilah yang termasuk tawanan dan Jariyah yang dihadiahkan Zainab binti Jahsy kepada beliau.

IBRAH

Siapa yang mengamati kehidupan Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam ini tentu bisa mengtahui secara pasti, bahwa perkawinan beliau dengan sekian banyak wanita ini, justru pada masa-masa akhir hidup beliau, setelah mlewati tiga puluh tahun dari masa muda beliau, yang pada masa itu hanya bertahan bersama wanita yang lebih tua, Khadijah, lalu disusul Saudah, tentu dia mengetahui bahwa perkawinan ini tidak sekedar dorongan gejolak dalam diri dan mencari kepuasan dari sekian banyak wanita, tetapi di sana ada berbagai tujuan yang hendak diraih dengan perkawinan tersebut.

Tujuan yang bisa dibaca, mengapa beliau berbesanan dengan Abu Bakar dan Umar, dengan menikahi Aisyah dan Hafshah, mengapa beliau menikahkan putri beliau, Fathimah dengan Ali bin Abu Thalib, Ruqayyah dan disusul Ummu Kultsum dengan Utsman bin Affan, mengisyaratkan bahwa beliau ingin menjalin hubungan yang benar-benar erat dengan empat orang tersebut, yang dikenal paling banyak berkorban untuk kepentingan Islam pada masa-masa krisis, yang berkat kehendak Allah akhirnya masa-masa krisis ini dapat dilewati dengan selamat.

Di antara tradisi bangsa Arab adalah menghormati hubungan perbesanan. Keluarga besan menurut mereka merupakan salah satu pintu untuk menjalin kedekatan antara beberapa suku yang berbeda. Menurut anggapan mereka, mencela dan memusushi besan merupakan aib yang dapat mencoreng muka. Maka dengan menikahi beberapa wanita yang menjadi Ummahatul-Mukminin, Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam hendak mengenyahkan gambaran permusuhan beberapa kabilah terhadap Islam dan memadamkan kemarahan mereka terhadap Islam. Setelah Ummu Salamah dari Bani Makhzum, yang satu perkampungan dengan Abu Jahal dan Khalib bin Walid, dinikahi Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam, membuat sikap Khalid bin Al-Walid tidak segarang sekapnya sewaktu perang Uhud. Bahkan akhirnya dia masuk Islam tak lama setelah dengan penuh kesadaraan dan ketaatan. Begitu pula Abu Sufyan yang tidak berani menghadapi beliau dengan permusuhan setelah beliau menikahi putrinya, Ummu Habibah. Begitu pula yang terjadi di Bani Al-Musthaliq dan Bani An-Nadzir, yang tidak lagi melancarkan permusuhan setelah beliau menikahi Juwairiyah dan Shafiyah. Bahkan Juwairiyah merupakan wanita yang paling banyak mendatangkan barakah pada kaumnya. Setelah menikah dengan Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam, para sahabat membebaskan seratus keluarga dari kaumnya. Karena itu para sahabat ketika itu berkata, ”Mereka adalah para besan Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam.” Tentu saja hal ini sangat mengundang simpati manusia dan berkesan di dalam jiwa.

Lebih besar dari itu, Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam sudah diperintahkan untuk membersihkan dan memberdayakan manusia sebelum mereka mengenal sedikit pun etika peradaban yang wajar dan bagaimana ikut andil dalam membangun masayarakat yang maju.

Prinsip-prinsip yang menjadi dasar untuk membagun masayarakat Islam, tidak memberikan kaum laki-laki bercampur baur dengan kaum perempuan. Tidak mungkin memberdayakan wnita, seketika waktu itu pula, sementara pada saat yang sama prinsip-prinsip ini sama sekali tidak boleh diabaikan. Padahal pemberdayaan kaum wanita lebih sedikit daripada pemberdayaan kaum laki-laki, bahkan dikatakan lebih kuat dan dominan.

Maka tidak ada pilihan lain bagi Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam kecuali memilih beberapa wanita dengan usia yang berbeda-beda dan kelebihannya masing-masing, guna mewujudkan tujuan itu. Dengan begitu beliau bisa membersihkan diri mereka, mendiik, mengajarkan syariat dan hukum-hukum, memberdayakan mereka dengan berbagai pengetahuan Islam. Lebih jauh lagi beliau membekali mereka untuk mendidik wanita di pedalaman yang masih badui atau yang sudah beradab, yang tua maupun yang muda, sehingga mereka sudah cukup mewakili dakwah terhadap seluruh kaum wanita.

Para Ummahatul-Mukminin memiliki keutamaan yang amat bear dalam mengajarkan berbagai kondisi rumah tangga kepada manusia terutama mereka yang memiliki umur relatif panjang, seperti Aisyah. Dia meriwayatkan sekian banyak perbuatan dan ucapan Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam. .

Kemudian di sana ada satu pernikahan yang dimaksudkan unuk menghapus tradisi Jahiliyah yang terlanjur mengakar, yaitu tentang anak angkat. Menurut kepercayaan bangsa Arab Jahilyah, bagi bapak angkat berlaku seluruh hak dan hal-hal yang diharamkan seperti bagi anak kandungnya sendiri. Kepercayaan ini sudah mengakar kuat di dalam hati mereka dan tidak bisa dihapus begitu saja. Tapi kepercayaan ini bertentangan dengan prinsip yang telah ditetapkan Islam dalam masalah pernikahan, cerai, warisan, dan lainnya. Kepercayaan mereka ini ternyata lebih banyak mendatangkan kerusakan dan hal-hal negatif, yang kemudian dihapus oleh Islam dan tidak berlaku lagi di masyarakat.

Untuk mengenyahkan kepercayaan ini, Allah memerintahkan Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam untuk menikahi putri bibi beliau, Zainab binti Jahsy, yang sebelumnya menjadi istri Zaid (anak angkat beliau). Karena tidak ada kecocokan antara Zain dan Zainab, maka Zaid ada niat untuk menceraikannya. Peristiwa ini terjadi pada saat berbagai golongan sudah menunjukkan ketundukannya kepada Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam dan kaum Muslimin. Sebenarnya beliau khawatir terhadap makar orang-orang munafik, musyrik, dan yahudi, yang bisa menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap jiwa orang-orang Muslim yang lemah. Maka beliau ingin agar Zaid tidak usah menceraikan istrinya, agar beliau tidak mendapat ujian karena masalah ini.

Tidak dapat diragukan, keragu-raguan dan kebimbangan beliau ini tidak selaras sama sekali dengan posisi Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam yang diutus sebagai rasul. Karena itu Allah menghardik beliau dengan berfirman,

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, ‘Tahanlah terus istrimu dan bertawakallah kepada Allah’, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (Al-Ahzab: 37).

Akhirnya Zaid menceraikan istrinya, Zainab, lalu Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam menikahinya pada saat-saat terjadi pengepungan terhadap Bani Quraizhah, setelah habis masa iddahnya. Allah mewajibkan pernikahan ini dan tidak memberikan kepada beliau untuk menentukan pilihan. Bahkan Allah sendiri yang mengatur pernikahan itu, dengan berfirman,

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi kaum Mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak angkat itu sudah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya.” (Al-Ahzab: 37)

Hal ini dimaksudkan agar penghapusan aturan yang berlaku sebelumnya tidak hanya dengan ucapan belaka tapi juga dengan berbuatan nyata.

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah.” (Al-Ahzab: 40).

Beberapa banyak tradisi yang sudah terlanjur berlaku dan mengakar, tidak bisa dihapus begitu saja hanya dengan ucapan, tetapi juga harus dibarengi dengan tindakan nyata yang mengajak kepada perubahan itu. Hal ini tampak jelas dalam tindakan orang-orang muslim saat di Hudaibiyah. Di sana ada orang-orang muslim yang keadaannya seperti yang dilihat dan dituturkan Urwah bin Mas’ud, bahwa setiap kali Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam mengeluarkan dahak, maka dahak itu pasti jatuh di tangan salah satu diantara mereka, karena mereka menadahinya. Dia juga melihat bagaimana mereka saling berebut sisa air wudhu’ beliau, hingga hampir saja mereka bertengkar. Mereka adalah orang-orang yang berlomba-lomba dalam berbaiat, menyatakan kesiapannya untuk mati atau tidak lari. Di tengah-tengah mereka bahkan ada Abu Bakar dan Umar. Tetapi tatkala beliau memerintahkan agar para sahabat bangkit menyembelih korban (sebagai pertanda mengakhiri ihram/tidak jadi ke Makkah sebagai konsekwensi perjanjian Hudaibiyah), tak satu pun diantara mereka mau melaksanakan perintah beliau. Tanpa bicara dengan seorangpun diantara mereka, beliau bertindak sendiri. Melihat beliau menyembelih korban, mereka langsung bagkit dan mengikuti perbuatan beliau dan bahkan mereka saling berlomba-lomba menyembelih hewan korbab mereka. Dengan peristiwa ini, tampak jelas perbedaan antara pengaruh tindakan dan perkataan untuk menghapus sebuah tatanan yang sudah mapan sekalipun.

Orang-orang munafik menyebarkan isu dan desas-desus yang macam-macam berkaitan dengan pernikahan ini, dan seperti perkiraan semula, mereka menimbulkan pengaruh yang tidak baik terhadap jiwa orang-orang Muslim yang lemah. Terlebih lagi Zainab adalah istri beliau yang kelima. Sementara orang-orang Muslim tidak diperkenankan menikah lebih dari empat wanita, dan Zaid sendiri sudah dianggap seperti anak sendiri bagi Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam. Padahal menikahi janda anak sendiri dianggap perbuatan yang keji. Maka di dalam surat Al-Ahzab Allah menurunkan dua topik sekaligus yang tuntas, dengan begitu para sahabat menjadi tahu bahwa anak angkat tidak mempunyai pengaruh khusus dalam Islam, dan Allah memberi keluasan bagi beliau untuk menikahi beberapa orang wanita, yang tidak diperkenankan bagi orang lain, karena beberapa tujuan tertentu.

Kehidupan berumah tangga yang dijalani Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam bersama Ummuhatul-Mukminin menerminkan kehidupan yang terhormat, mapan, dan harmonis. Derajat mereka setingkat lebih tinggi dalam hal kemuliaan, kepuasan, kesabaran, tawadhu’, pengabdian, dan kewajiban memenuhi hak-hak suami. Padahal hidup beliau tidak lekang dari keprihatinan, yang tidak akan sanggup dijalani seorang manusia pun. Anas pernah berkata, “Aku tidak pernah mengetahui Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam melihat adonan roti yang lebar lagi tipis hingga saat meninggal dunia dan tidak pula beliau melihat hidangan daging domba sama sekali.”

Aisyah berkata, ”Kami benar-benar pernah melihat tiga kali kemunculan hilal selama dua bulan, namun tidak pernah kunyalakan tungku api di rumah Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam.”

Lalu Urwah bertanya kepada Aisyah, ”Kalau begitu apa yang bisa membuat kalian bertahan hidup?”

Aisyah menjawab, ”Dua hal, korma dan air.”

Pengabaran lain yang menggambarkan keadaan rumah tangga beliau seperti ini cukup banyak.

Sekalipun dalam keadaan yang serba kekurangan dan memprihatinkan seperti ini, istri-istri beliau tidak pernah mencaci dan mengumpat, kecuali sekali saja, sebagai tuntutan yang layak bagi manusia biasa dan sekaligus sebab turunnya hukum syariat, lalu Allah menurunkan ayat yang memberikan pilihan kepada mereka,

“Hai Nabi. Katakanlah kepada istri-istrimu, ’Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepada kalian mut’a (suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami) dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik. Dan, jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri  akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantara kalian pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 28-29).

Diantara bukti kemuliaan dan kehormatan Ummuhatul-Mukminin, maka mereka memilih Allah dan Rasul-Nya. Tidak seorang pun dari mereka yang berpaling kepada keduniaan.

Tidak pula terjadi berbagai kasus seperti yang biasa terjadi di antara para istri yang dimadu, sekalipun mereka banyak, kecuali satu dua kasus yang ringan-ringan saja, dan itu pun masih dalam batas kewajaran sebagai manusia biasa. Itu pun kemudian Allah menghardik beliau, hingga mereka tidak lagi mngulanginya lagi. Karena inilah turun permulaan surat At-Tahrim.

Kami merasa tidak perlu mengkaji penjang lebar tentang prinsip poligami. Namun siapa yang melihat kehidupan penduduk Eropa yang mati-matian menolak prinsip ini, ditambah lagi munculnya berbagai macam penderitaan, kekacauan, kekejian, dan kejahatan yang muncul di sana sebagai akibat dari penolakan ini, maka dia perlu mengkaji kembali bahwa kehidupan mereka merupakan bukti nyata tentang keadilan prinsip poligami ini. Semoga hal ini dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berilmu.***

___
Hal. 623-630


Baca juga :