Mengutuk Keadaan dan Golput, Selesai Masalah?


"Ah, semua paslon sama saja, mereka adalah produk demokrasi!" begitu biasanya sebagian orang, yang menurut saya orang baik, mengutuk keadaan.

Atau yang lain, "Ah, sama aja paslon-paslon itu, kalau sudah menang jadi lupa."

Ungkapan-ungkapan senada dengan pernyataan diatas itu, dipastikan nanti akan meramaikan jagad dunia nyata dan dunia maya. Dan finalnya, orang-orang yang mengutuk keadaan itu memprovokasi agar tidak usah memilih dalam pilkada.

Inilah sebagian dari bencana demokrasi itu.

Sampai-sampai, situs Hizbut Tahrir Indonesia pun sampai memaksakan diri memposting artikel dengan judul 'Pepesan Kosong Pilkada Serentak'.

Saya coba salin sedikit paragraf dalam artikel itu...

Akibat dari semua itu, Pilkada serentak hanya memberikan pepesan kosong. Hasil Pilkada Serentak pada akhirnya tak beda dari Pilkada sebelumnya. 

Pertama: Kekuasaan tetap dikendalikan oleh sekelompok kecil elit daerah. Sebabnya, paslon hampir semuanya berasal dari petahana dan elit politisi daerah dari DPR, DPRD I dan DPRD II, elit birokrasi daerah, PNS dan pengusaha.

Kedua: Korupsi, suap dan penyalahgunaan wewenang akan tetap marak. Untuk mengembalikan modal pencalonan yang mustahil ditutup dari pendapatan resmi, terjadilah korupsi, penyalahgunaan wewenang dan anggaran, atau tindakan memperdagangkan kekuasaan dan wewenang seperti dalam pemberian berbagai ijin.

Ketiga: Perselingkuhan penguasa dengan pengusaha akan terus berlanjut. Pengusaha memodali paslon. Imbalannya, proyek-proyek akan diserahkan kepada pengusaha itu melalui “pengaturan” tender, meloloskan proyek-proyek yang disodorkan oleh pengusaha atau cara lainnya.

Keempat: Akibat dari semua itu, pemimpin daerah akan lebih mengutamakan kepentingan dirinya, kelompok, partai dan pemodalnya. Sebaliknya, kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan dipinggirkan.”

Apakah mengutuki kegelapan, seperti paragraf tersebut diatas itu menyelesaikan masalah?

Apakah tidak memilih dalam pilkada itu menyelesaikan masalah?

Apakah golput itu bisa membuat perbaikan?

Apakah golput bisa menentukan jadi tidaknya kebijakan?

Tidak...!!!

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Teman saya, Mustofa B. Nahrawardaya pernah bertanya pada kawan HTI.

Begini pertanyaannya, “Bagaimana cara/proses berpindah dari Sistem Demokrasi ke Khilafah”. Mereka menjawab: “Ya mereka tinggal menyerahkan saja pada kami. Nanti kita kelola secara Islam”. Lah.... lha koq enak?

Gak mau milih, mengharamkan demokrasi bahkan memprovokasi golput, tapi berharap hasil dari proses demokrasi itu diberikan kepada mereka dan dikelola secara Islam?

Lha memangnya yang disebut dengan ‘mereka’ oleh syabab HTI itu mau nyerahin begitu saja? Lha koq nggace tenan....

Kita semua bisa menjadi bagian dalam berkontribusi untuk kebaikan negeri ini. Yang bisa kita lakukan adalah menjadi orang baik, lalu menjadi bagian dari kebaikan.

Kita bisa menjadi bagian dari "Orang-orang yang paling baik amalnya." Ikhtiar kita adalah, memperbanyak orang-orang baik untuk mengelola negeri ini. Ikhtiar itulah yang dinilai oleh Allah, bukan hasilnya.

Kalau orang-orang jahat menggunakan demokrasi untuk memusuhi Islam, merongrong kedaulatan negeri ini, merampok kekayaan negeri ini, bagaimana mungkin orang-orang yang sejatinya orang baik itu malah meninggalkan ‘gelanggang peperangan’, lalu berteriak diluaran demokrasi itu haram, mari kita wujudkan syariah khilafah sembari membusuki saudaranya yang sedang berdakwah dengan ‘menunggangi' demokrasi?

Apakah kita akan biarkan orang-orang jahat menggunakan demokrasi untuk memusuhi Islam, merongrong kedaulatan negeri ini, merampok kekayaan negeri ini?

TIDAK...!!!

Kita harus rebut kekuasaan, agar kemaslahatan bisa terdistribusi secara luas. Itulah HARAPAN SEMUA,

Allahu a'lamu bishshowab.

Wahid Irsyadi Ali
Balikpapan

___
*Sumber: https://www.facebook.com/notes/wahid-irsyadi-ali/jangan-golput-di-balikpapan-ada-hs-harapan-semua/997956493594222


Baca juga :