Aceh Utara - Empat mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Nanyang Technological University of Singapore mengunjungi ICS (Integrated Community Shelter) for Rohingya di Desa Blang Ado, Kabupaten Aceh Utara, Aceh. Keempat mahasiswi tersebut, Goh Chiewy Tong sebagai director project, Jade, Aileen, dan Clarissa sebagai anggota.
Kehadiran mahasiswi luar negeri di ICS Rohingya dalam rangka membuat video dokumenter sebagai tugas akhir (skripsi) tentang pengungsi Rohingya diperlakukan di Aceh dengan judul 'Peumulia Jamee' (memuliakan tamu_red) yang diambil dari bahasa Aceh.
“Mereka datang berempat dengan dibantu seorang transletter dan tim jalan, lalu menjelaskan kedatangan mereka untuk membuat vidio dokumenter tentang bagaimana para pengungsi Rohingya diperlakukan di Aceh,” kata Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh Utara Laila Khalidah yang dikutip joss.today, Jum’at (11/12/2015). Laila Khalidah juga tercatat sebagai relawan ACT di ICS Rohingya.
Mahasiswi Singapura ini tertarik dengan salah satu budaya masyarakat Aceh 'Peumulia Jamee' (Memuliakan Tamu). Implementasi budaya memuliakan tamu ini, terlihat dari bagaimana masyarakat Aceh menyambut kedatangan para pengungsi etnis Rohingya yang terdampar di pantai Aceh Utara dari Negara Burma tengah tahun lalu. Ketika itu, banyak negara justru menghalau para pengungsi ini agar tak mendarat di negara mereka.
Keempat mahasiswi asal Singapura ini mengakui tingkat kepedulian dan rasa sosial masyarakat Aceh sangat tinggi. “Kami banyak membaca dari media, bagaimana nelayan Aceh dengan heroiknya menolong para pengungsi ini di tengah laut dan kemudian membawanya ke daratan Aceh. Di sini masyarakat Aceh lainnya juga menerima dengan penuh rasa kekeluargaan, menyambut, memberikan bantuan dan menerima mereka layaknya tamu. Para pengungsi begitu dimuliakan,” kata Chiewy, saat bekunjung ke Integrated Community Shelter/ICS yang dibangun dan dikelola Aksi Cepat Tanggap (ACT) bersama Komite Nasional untuk Solidaritas Rohingya (KNSR) di Desa Blang Adoe, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, Jumat (11/12/2015).
Apa yang masyarakat Aceh lakukan terhadap para pengungsi ini, kata Chiewy, ternyata menjadi bagian dari budaya peumulia jamee. “Kami terinspirasi budaya mulia ini, karenanya kami ingin membuatnya menjadi sebuah film dokumenter. Film ini nantinya menjadi tugas akhir kami sebagai mahasiswi di NTU,” jelas sutradara film dokumenter ini.
Di ICS Blang Adoe, keempatnya mewawancarai sejumlah relawan, yang selama ini menghabiskan waktu di sana dan terlibat langsung dalam penanganan pengungsi etnis Rohingya. Banyak sekali tantangan yang dihadapi pada saat awal penanganan, karena adanya perbedaan bahasa, budaya dan karakter antara para relawan asli Aceh dengan pengungsi Rohingya. Para mahasiswi ini juga mengapreasiasi, karena para relawan memilih menghabiskan waktu untuk orang lain, tidak semata untuk kepentingan dirinya.
Belakangan ini, kata Chiewy, saat ia melihat ada orang yang berbuat untuk kebaikan hidup orang lain, itu menjadi hal yang menyentuh hatinya. Membuatnya merasa, harusnya hidup kita memang bukan hanya tentang mengurusi diri kita sendiri. Tapi juga tentang bagaimana membuat keberadaan kita bisa bermanfaat buat orang lain. “Ketika kita mati, orang-orang akan lupa berapa banyak uang yang telah kita kumpulkan, berapa banyak harta yang berhasil kita raih, tapi orang-orang takkan pernah lupa apa yang pernah kita lakukan untuk mereka,” ungkapnya. Melalui budaya peumulia jamee, tambah Chiewy, masyarakat Aceh sudah berbuat banyak sekali untuk orang lain. Sesuatu yang begitu menyentuh.
Untuk menuntaskan film ini, keempatnya juga sudah mengunjungi kamp penampungan Rohingya di Bayeun, Aceh Timur dan Langsa. Mereka akan kembali ke Aceh pada Januari mendatang, setelah membawa materi film yang telah diambil untuk proses editing. Salah seorang relawan ACT, Laila Khalidah yang diwawancarai untuk proses pembuatan film dokumenter tersebut menyatakan, sangat terkesan dan kagum karena para mahasiswi asing ini justru tertarik dengan budaya masyarakat Aceh.
“Mereka belajar banyak tentang peumulia jamee yang masih terus hidup dalam kehidupan masyarakat Aceh. Hal ini sangat luar biasa, karena justru mereka sebagai orang luar begitu peka dengan budaya kita,” katanya. “Kedatangan mereka, sambung Laila, bentuk nyata bahwa keberadaan Rohingya di Aceh masih tetap menarik mata banyak pihak di dunia. Masih banyak orang yang terus menghimpun kepedulian, terlepas dari berbagai dinamika yang terjadi.
Laila berharap, melalui film yang digarap oleh empat mahasiswi NTU Singapura ini kian menjelaskan kepada warga Singapura dan negara lain betapa masyarakat Aceh memiliki tingkat kepedulian sosial yang sangat tinggi terhadap orang lain, sekalipun orang itu bukan dari bangsanya. “Seperti mereka memperlakukan pengungsi Rohingya. Semua yang datang adalah tamu dan tamu harus dilayani sebaik mungkin. Ini sangat luar biasa,” jelasnya.
Sementara itu, Media Relations Komite Nasional untuk Solidaritas Rohingnya (KNSR) Aceh Utara Zainal Bakri mengapresiasi kepedulian mahasiswa Singapura itu untuk mendokumentasikan kisah heroik nelayan Aceh tersebut. “Semoga film ini bisa memberikan gambaran bagaimana Aceh sangat memuliakan tamu di negeri ini,” kata dia.