Lee Kwan Yew dan Krisis Air di Singapura
Oleh Ahmad Dzakirin
Mungkin sedikit pemimpin visioner yang kita jumpai di dunia. Boleh jadi, Erdogan di Turki dan Lee Kwan Yew di Singapura. Don't get me wrong, Lew Kwan Yew adalah pemimpin yang sukses mengubah ancaman menjadi kesempatan serta kelemahan menjadi kekuatan.
Hal tersebut tidak terlepas dari kemampuan seorang pemimpin melihat sisi positif dari setiap kekurangan. Bagaimana cara anda melihat setengah gelas air yang kosong akan menentukan cara pandang dan keputusan yang berbeda. Fokus kepada setengah air yang kosong atau sebaliknya setengah yang terisi. Positif atau sebaliknya negatif.
Dalam dunia marketing dikenal kisah dua orang salesman kaus kaki AS yang dikirim ke Panama untuk eskpansi bisnis. Sesampai disana, satu salesman pesimis karena mendapati perusahaan pesaing telah menguasai 55 persen pasar kaus kaki di negara itu sehingga memutuskan untuk kembali. Sementara salesman lainnya justru melihat adanya 45 persen peluang pasar yang bisa digarap sehingga terus tinggal disana. Anda lihat satu obyek yang sama ternyata dapat menghasilkan dua keputusan yang berbeda, tergantung bagaimana cara anda melihat.
Ketika perpanjangan kontrak pengiriman air dari Malaysia ke Singapura akan berakhir di 2010. Lew Kan Yew memutuskan berhenti melanjutkan kontrak karena Malaysia menaikkan harga jual hingga 100 persen. Ini menjadi keputusan tergenting Lew Kwan Yew karena pada praktiknya sejak merdeka, Singapura tergantung dari Malaysia. Dalam waktu dua dekade, Singapura memutuskan mempersiapkan dua langkah terobosan terpenting untuk mengembangkan teknologi pengolahan kembali (Recycle) air limbah dan desalinasi air laut untuk memasok kebutuhan air segar (fresh water) bagi 8 juta warga Singapura, terbesar diantaranya Marina Barrage.
Konon, 15 persen kebutuhan air minum di Singapura berasal dari recycle air limbah, disamping desalinasi air laut dan penampungan tadah hujan (water reservoir) yang dimiliki di banyak titik di seluruh penjuru Singapura.
Satu tahun tinggal di Singapura memberikan pengalaman unik bagi saya, kebutuhan air dan listrik yang tidak pernah putus serta kita dapat minum air gratis dari banyak pancuran air (water fountain) di kampus, bis, pusat keramaian (mall) dan bandara. Dan tidak mengapa jika kita membayangkan minum bekas urin kita, saat meneguk air segar dalam kemasan, pancuran atau kran air di Singapura. Betapa kita harus bersyukur kepada Allah SWT bahwa kita dianugerahi berlimpah air segar di tanah air.
Dalam konteks ini, kita melihat sosok pemimpin berkualitas seperti Lee Kwan Yew. Dia sukses mengubah krisis dan ancaman menjadi peluang dan kekuatan. Isu independensi selalu menjadi titik krusial bagi setiap bangsa yang merdeka. Ketika suatu bangsa mampu meraih independensi dengan added value (nilai tambah), maka dia akan menjadi kebanggaan dan kenangan di sepanjang masa. Gamal Abdel Nasser merebut Terusan Suez dari Inggris dan demikian pula Sukarno dengan Nasionalisasi aset Belanda, namun gagal memberikan added value.
Lee Kwan Yew adalah sosok yang membangun independensi Singapura dengan added value. Karena itu, bagi banyak rakyat Singapura, dia adalah living legend (legenda hidup), bahkan di antara para profesor. Seorang akademisi senior bertutur kepada saya bahwa banyak pemimpin mampu bertahan berkuasa dalam waktu lama, namun gagal meninggalkan legacy (jejak positif) yang nyata. Itu yang boleh jadi membedakan Lee Kwan Yew dengan banyak pemimpin dunia lainnya.[]