Hizbut Tahrir Dinilai Sering Tidak Konsisten Dalam Perjuangan


Menyambut Pilkada Serentak 9 Desember 2015 ini, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengeluarkan tulisan keras dengan judul 'Pepesan Kosong Pilkada Serentak'. Tulisan itu selain dipampang di website resminya, juga dicetak dalam bentuk Buletin Jum’at Al Islam dan disebarkan di masjid-masjid di Indonesia.

Dalam tulisannnya itu Hizbut Tahrir menyimpulkan:

“Akibat dari semua itu, Pilkada serentak hanya memberikan pepesan kosong. Hasil Pilkada Serentak pada akhirnya tak beda dari Pilkada sebelumnya. Pertama: Kekuasaan tetap dikendalikan oleh sekelompok kecil elit daerah. Sebabnya, paslon hampir semuanya berasal dari petahana dan elit politisi daerah dari DPR, DPRD I dan DPRD II, elit birokrasi daerah, PNS dan pengusaha.

Kedua: Korupsi, suap dan penyalahgunaan wewenang akan tetap marak. Untuk mengembalikan modal pencalonan yang mustahil ditutup dari pendapatan resmi, terjadilah korupsi, penyalahgunaan wewenang dan anggaran, atau tindakan memperdagangkan kekuasaan dan wewenang seperti dalam pemberian berbagai ijin.

Ketiga: Perselingkuhan penguasa dengan pengusaha akan terus berlanjut. Pengusaha memodali paslon. Imbalannya, proyek-proyek akan diserahkan kepada pengusaha itu melalui “pengaturan” tender, meloloskan proyek-proyek yang disodorkan oleh pengusaha atau cara lainnya.

Keempat: Akibat dari semua itu, pemimpin daerah akan lebih mengutamakan kepentingan dirinya, kelompok, partai dan pemodalnya. Sebaliknya, kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan dipinggirkan.”

Dikutip dari sharia.co.id, dalam pernyataannya ini seolah-olah Hizbut Tahrir ingin melepaskan dari sistem di Indonesia. Padahal dalam kenyataannya aktivis-aktivis Hizbut Tahrir banyak yang kerjasama dengan pemerintah daerah atau aparatnya dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.

Begitu juga HTI dinilai tidak konsisten ketika menolak sistem demokrasi di negeri ini, tapi dalam demonstrasinya sering menyuarakan suaranya ke DPR RI. Misalnya dalam kasus Timor Timur, LGBT, Pornografi, RUU Ormas dan lain-lainnya. Kalau HTI konsisten tidak setuju sistem di negeri ini, harusnya ketika demo mendatangi DPR dan Istana menyatakan: bubarkan DPR dan Lembaga Presiden, bukan titip suara ke mereka.

http://hizbut-tahrir.or.id/2013/03/26/foto-hti-dan-ormas-islam-menyatakan-sikap-ke-fraksi-pks-menolak-ruu-ormas-pintu-kembalinya-rezim-represif/

Bila kita berpikir cermat, maka memilih ternyata lebih baik. Meski banyak wakil rakyat atau kepala daerah adalah ’brengsek’, tapi masih ada beberapa orang yang baik. Mereka yang muslimnya bagusnya, hidupnya sederhana, peduli kepada masyarakat miskin, suka bekerja keras dan lain-lain.

"Bila kita tidak memilih maka suara kita yang mestinya masuk ke orang-orang yang mungkin baik itu, jadi hilang," kata Hartono Mardjono dan Hussein Umar almarhum.

Bila kita memilih ada kemungkinan orang yang baik terpilih. Bila tidak, maka kemungkinan orang baik terpilih itu jadi hilang. Apalagi ketika gereja-gereja menyuruh warganya memilih. Artinya makna memilih itu lebih penting lagi, ketika masyarakat Islam menjadi minoritas atau seimbang komposisinya di sebuah daerah pemilihan dengan orang non Muslim.

Kita ingin memperbaiki negeri Indonesia ini agar lebih baik dan lebih Islami. Dan dalam sunnatullah perubahan sosial, perubahan masyarakat itu terjadi bertahap. Tidak ada perubahan di dunia ini, perubahan sosial yang tiba-tiba meskipun dengan revolusi. Harus ingat bahwa politik adalah praktek bukan teori. Kepemimpinan adalah praktek bukan angan-angan atau kecaman belaka.


Baca juga :