Bersinergi Dalam Kebaikan (Catatan Pilkada 2015 Untuk HTI dkk)


Bersinergi Dalam Kebaikan
(Catatan Pilkada 2015)

by Eko Jun*

Sebelum tidur, kami menyempatkan diri membaca artikel dr temen-temen HTI bertajuk “Pepesan Kosong Pilkada Serentak”. Sebenarnya, ada beberapa hal yang kami sepakati. Mulai dari data-data yang disajikan sampai tentang mekanisme pengangkatan gubernur oleh khalifah. Tetapi hemat kami, solusi itu tidak kompatibel dengan kondisi saat ini. Istilahnya, solusi yang tidak solutif.

Dalam sistem kekhalifahan, semua mandat praktis disematkan kepada Amirul Mukminin. Dari Amirul Mukminin inilah, mandat akan diturunkan (diangkat). Mulai dari gubernur, penglima perang sampai petugas pemungut zakat. Dalam batas tertentu, kaidah ini masih bisa dilakukan baik dalam sistem kerajaan maupun presidensial.

Namun PR besarnya masih berkutat tentang bagaimana mendirikan sistem kekhalifahan dalam tata politik dunia modern yang sudah mapan seperti saat ini. Bagaimana roadmapnya. Bahkan eksperimen untuk mendirikan negara islam saja saat ini hanya bisa dilakukan dengan tiga cara, yaitu revolusi, referendum maupun disintegrasi. Dan ketiganya sulit sulit untuk dilakukan, baik di Indonesia maupun di negara lain.

Mencari Titik Temu

Sulit dipungkiri bahwa belum semua elemen umat Islam bersepakat dengan demokrasi. Menyatukan pandangan diantara mereka agak utopis, sebagaimana cita-cita sebagian kalangan untuk menyatukan semua mazhab fikih. Yang relatif bisa dilakukan adalah mencari titik temu dan mensinergikan gerakan. Butuh dialog yang penuh kearifan.

Jujur, kami salut dengan Partai Golkar. Bukan main intrik (pecah belah) yang terjadi sejak setahun belakangan. Namun, mereka bisa rehat (gencatan senjata) dalam momentum Pilkada Langsung 2015. Mereka dipertemukan dengan kepentingan sesaat, agar kadernya bisa menjadi kontestan dan bisa memenangkan ajang Pilkada Langsung.

Sesama umat islam, sungguh kita memiliki banyak titik temu dan persamaan. Dalil yang dipakai pun seringkali sama, meski kesimpulannya kadang bisa berbeda. Mengapa kita tidak merasa malu dan iri dengan “islah sementara” yang dicontohkan oleh Partai Golkar?

Kami salut dengan beberapa elemen pergerakan umat islam di Surakarta. Mereka umumnya memiliki pendapat yang sama, cenderung golput dan mengharamkan demokrasi. Wajar jika akhirnya kaum marhaenis mendominasi perpolitikan dan merumuskan berbagai macam kebijakan publik. Namun, saat gelaran Pilkada Langsung besok dihadapkan pada fakta lapangan yaitu pilihan Muslim vs Non Muslim, mereka tidak lagi apatis.

Mimbar dan kajian mereka berbicara tentang keharusan memilih pemimpin muslim. Bukan lagi wacana haramnya demokrasi dan seruan golput sebagaimana biasanya. Beberapanya bahkan ikut terlibat mensosialisasikan calon pemimpin muslim dan bertekad untuk ikut menggunakan hak politiknya, yang selama ini mereka abaikan.

Khatimah

Jika kita belum sepakat untuk berdemokrasi, setidaknya hargailah mereka yang ingin berjuang dan mengambil kesempatan dari jalur ini. Jika kita masih memilih untuk menjadi penonton, setidaknya berikan dukungan dan semangat dari tribun dan bangku penonton. Toh pada akhirnya, kepada merekalah kita menitipkan kebanggaan tentang jumlah umat islam yang mayoritas, tentang advokasi atas produk perundangan dan kebijakan publik lainnya.

Jangan sampai kita mengeluarkan statemen yang melemahkan semangat, mengurangi dukungan dan membuat musuh bergembira. Jangan sampai para pengamat politik dan pemilik media jadi punya legitimasi untuk mendiskreditkan umat islam. Sungguh beberapa hari kedepan, kita sangat membutuhkan sinergi dari seluruh elemen umat Islam di Indonesia.

Alhamdulillah, gelaran Pilkada Langsung ini sudah mampu mengantarkan bupati dan gubernur yang hafal qur’an disana sini. Semoga beberapa tahun lagi, agenda Pilkada Langsung juga mampu mengantarkan sosok Presiden yang hafal qur’an. Dan itu sama sekali bukan mimpi disiang bolong, insya Allah.

__
Sumber: https://www.facebook.com/eko.jun.5/posts/482900968559177
Baca juga :