[Catatan Tarli Nugroho]*
DARI TRANSKRIP ITU
Kalau kita telaah, pertemuan ketiga yang direkam MS itu terjadi bulan Juni 2015. Waktu itu LBP masih menjabat Kepala Staf Kepresidenan. Bayangkan, dalam posisi non-struktural tersebut, seturut transkrip yang beredar, ia menjadi salah satu blok kepentingan yang digambarkan sangat berpengaruh.
Jika transkrip menjadi satu-satunya acuan kita untuk merekonstruksi peran para aktor yang terlibat dalam percakapan, serta para aktor yang namanya dipercakapkan, maka ada dua "blok mayor" yang saling berebut kue Freeport, serta satu "blok minor".
Dua blok mayor itu adalah (1) LBP, yang namanya selalu dirangkai dengan nama presiden, serta (2) JK.
Di halaman tujuh transkrip, misalnya, SN melontarkan kutipan tak langsung dari presiden berupa ucapan "masak Jusuf Kalla terus". Khusus untuk urusan Freeport, seturut ucapan-ucapan SN dalam transkrip yang beredar, presiden selalu melimpahkan urusan tersebut pada LBP. "Melalui Pak Luhut saja, Pak Ketua." Kurang lebih begitulah nadanya dalam transkrip.
Sampai di sini ada dua persoalan. Pertama, apakah demikian berpengaruhnya LBP, yang disebut sebagai kepanjangan tangan kepentingan presiden oleh transkrip hanyalah klaim-konstruksi dari SN dan MRC saja, untuk menaikan posisi tawarnya di depan Freeport c.q. MS, ataukah mewakili posisi sebenarnya?!
Kedua, masuk ke layer sebelum itu, apakah posisi LBP sebagai kepanjangan tangan presiden sebagaimana dimaksud oleh pertanyaan pertama tadi hanyalah klaim LBP semata di hadapan SN dan MRC, untuk menaikan posisi tawarnya yang secara struktural sebelumnya memang lemah, ataukah memang mewakili posisi yang sebenarnya?!
Mari kita tarik lagi lebih ke belakang. Anda masih ingat bagaimana geramnya JK ketika pada Maret 2015 lalu Presiden memperluas kewenangan Kepala Staf Kepresidenan sehingga yang bersangkutan bisa memanggil para menteri?!
Kewenangan memanggil dan mengkoordinir para menteri memang menjadi domain presiden dan wakil presiden. Makanya agak aneh jika kewenangan itu bisa didelegasikan dan bahkan dibagikan kepada pejabat non-struktural seperti Kepala Staf Kepresidenan, yang tidak ada nomenklaturnya dalam tata pemerintahan resmi. Waktu itu bahkan sampai ada yang menyebut istilah "Presiden Harian" untuk menggambarkan posisi LBP yang demikian superior, yang telah menggelisahkan seorang JK.
Namun, kenyataannya LBP mendapatkan kewenangan itu secara resmi. Dari presiden! Artinya, seluruh peran yang dimainkan LBP sejak menjadi Kepala Staf Kepresidenan, hingga bulan Agustus 2015, kemungkinan adalah resmi berasal dari presiden. Kecuali jika presiden nanti membantahnya tentu saja.
Jadi, dari rekonstruksi atas transkrip percakapan lengkap itu, dua blok mayor yang terlibat 'head to head' tadi adalah (1) LBP, yang mungkin mewakili kepentingan presiden, kecuali jika nanti terkonfirmasi sebaliknya; dan (2) blok JK. Pemetaan ini terutama berasal dari lontaran MRC dalam transkrip terkait perlunya presiden c.q. LBP untuk membagi dan berbagi saham pada JK, supaya tidak ribut.
Pemosisian LBP sebagai setara dengan JK, jika menggunakan taksonomi pemerintahan hari ini mungkin agak berlebihan, karena LBP hanyalah seorang menteri. Tapi, sebagaimana pernah saya tulis jauh sebelum ini, soal kenapa pemerintahan saat ini sering gaduh dan terlihat tanpa koordinasi, adalah karena ada banyak aktor dalam pemerintahan saat ini yang sebelumnya adalah kolega yang setara dalam kabinet Gus Dur dan Megawati. LBP, JK, RS dan RR adalah alumni kabinet lama. Dan mereka jauh lebih senior dan superior sebagai personal dibandingkan presiden.
Bayangkan, kini mereka reuni akbar dalam pemerintahan JKW. Jadi, pemosisian LBP dan JK dalam transkrip itu mesti juga memperhatikan latar belakang keduanya sebelumnya.
Ngototnya Kementerian ESDM dan Freeport sebelum ini agar mekanisme divestasi saham Freeport dilakukan melalui IPO sepertinya mengkonfirmasi dugaan bahwa dua puluh persen saham yang disinggung dalam transkrip adalah saham jatah divestasi. Skenarionya jelas, melalui IPO, kepemilikan oleh pihak swasta menjadi terbuka. Di situlah perebutan dan keributan sebagaimana yang disinggung oleh MRC akan terjadi, jika tak dibagi sedari awal.
Nah, itu dua blok mayor. Blok minor yang terekam dalam transkrip itu tak lain adalah MRC sendiri, yang mencoba mengais proyek-proyek turunan dari kontrak Freeport. Untuk mendapatkan limpahan itu, dia berusaha menjual kedekatannya pada LBP dan SN.
Kalau kita baca dengan seksama, seluruh isi pembicaraan MRC sebenarnya tak lebih sedang mempromosikan dirinya sendiri. Dia ndomblang kemana-kemana menceritakan "investasinya" pada berbagai tokoh sebenarnya tak lebih merupakan bentuk promosi untuk mendapatkan framing bahwa dirinya adalah "big player" yang perlu diperhatikan oleh Freeport c.q. MS.
Posisi SN, dalam semesta transkrip yang beredar, merupkan penghubung bagi LBP, sekaligus sebagai "penjamin" bagi MRC yang sedang mencoba ikut mengais rezeki. Semua materi omongannya, kalau kita baca kembali, selalu memposisikan diri sebagai penyambung lidah LBP.
Sekali lagi, transkrip itu adalah perbincangan bulan Juni, ketika LBP masih menjadi Kepala Staf Kepresidenan dan izin ekspor konsentrat Freeport akan berakhir pada akhir Juli 2015. Kalau MS berkali-kali memberikan ancaman soal pengaduan ke arbitrase internasional, dan juga berkali-kali meminta kepastian garansi pada SN dan MRC dalam transkrip tadi, sepertinya gertakan itu terutama dikarenakan Freeport belum juga mendapatkan kepastian perpanjangan izin ekspor konsentrat.
Penghujung Agustus, kita tahu terjadi reshuffle kabinet. LBP, yang semula Kepala Staf Kepresidenan, kemudian masuk struktur pemerintahan dan naik pangkat menjadi Menko. Bisa kita dibayangkan, tanpa kewenangan strukturalpun, sebelumnya posisinya sudah demikian dominan, apalagi kini dalam posisi baru sebagai Menko sekaligus menteri senior. Naiknya LBP secara komposisional membuat kekuatan blok-mayor LBP lebih kuat, apalagi secara de facto ada satu lagi pimpinan lembaga negara turut bersamanya.
Pada saat yang bersamaan, reshuffle memasukan juga RR. Dan dia langsung membuka front terhadap JK, RS, dan SS. Masuknya RR ini saya kira telah merusak "stabilitas kawasan". Apalagi ketika ia mulai masuk ke isu pertambangan dan energi. Pernyataan-pernyataannya terutama sangat tidak menguntungkan bagi JK, RS dan SS.
Kalau kita kilas balik sebentar, sejak reshuffle sampai dengan awal Oktober, ketika nilai tukar rupiah terus merosot mendekati angka Rp15 ribu per USD, sorotan tajam banyak diberikan kepada menteri-menteri ekonomi. Dan di antara yang paling dapat sorotan adalah RS dan SS.
Dorongan reshuffle jilid kedua kita tahu mulai muncul pada saat itu. Di panggung opini, posisi RS dengan SS cukup terpojok. Pencabutan berbagai subsidi energi yang menekan daya beli masyarakat, serta mencuatnya skandal Pelindo, sangat memojokkan SS, RS, dan JK.
Apalagi ketika isu PMN menjadi sorotan publik dan terutama DPR pada November lalu. Ketika realisasi penerimaan pajak berada pada posisi paling rendah dalam sepuluh tahun terakhir, pemerintah melalui Kementerian BUMN malah mau memberikan PMN yang akan memperbesar defisit anggaran.
Nah, posisi terpojok tiga nama tadi kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Kecuali mungkin untuk RS.
Di level blok mayor, serangan terhadap SN merupakan serangan pembuka yang telak terhadap blok LBP. Tapi kita masih belum bisa melihat ujungnya, karena kini malah sudah jadi bola liar.
Hanya saja, muncul kemungkinan bahwa sesudah SN masalah ini akan segera masuk kotak. SN adalah terminal terakhir yang cantik untuk menyudahi semua kegaduhan soal Freeport. Sebagai pejabat publik, ia pernah terlibat banyak masalah. Belum lagi karena ia terkait dengan blok-minor MRC, yang sejak tahun lalu jadi obyek serangan grup SS.
Saya tidak akan menyebut kalau skandal rekaman Freeport adalah bentuk pengalihan isu. Naif jika kesimpulan akhir kita hanya berhenti di situ.
Sama juga naifnya dengan jika kita mengamini framing SS bahwa kasus SN adalah kasus "pencatutan", yang mengandaikan bahwa nama-nama aktor yang diperbincangkan dalam obrolan sebagai tidak tahu dan tidak terlibat; atau mengamini framing JK, bahwa kasus SN adalah "puncak gunung es", yang mengandaikan tak ada puncak lainnya di luar SN.
Sekali lagi, SN adalah terminal terakhir yang cantik untuk menyudahi kegaduhan soal Freeport. Padahal, kembali ke transkrip, kalau kita rekonstruksi dan kaitkan dengan ingar-bingar yang berlangsung hari ini, pada mulanya ini adalah konflik gono-gini dalam rumah tangga istana kepresidenan.
*) Pendapat pribadi. Ditulis sejak sebelum ashar sembari menemani ngobrol dua kawan yang datang dari jauh.
___
Sumber: fb Tarli Nugroho (05/12/2015)