Antara Yahudi dan Syiah, Mana Lebih Berperan?
Oleh: Nugra Abu Fatah
Selama ini kita selalu terpatron dengan perspektif bahwa Yahudi selalu hebat. Khususnya dalam rekayasa sosial politik hingga militer (perang). Apapun masalahnya, selalu berperspektif Yahudi-sentris.
Tapi benarkah demikian? Saya mencoba membawa pada perspektif berbeda, tentang Syiah dan segala rekayasanya yang patut diketahui.
Kita tarik dari kondisi terkini lalu ke belakang ratusan tahun silam. Lihatlah dua negeri yang mengapit Iran, yakni Afghanistan dan Iraq, keduanya hancur lebur menjadi negara lemah karena isu Usamah Bin Ladin di Afghan dan nuklir di Iraq.
Dua isu yang sama sekali tidak ditemukan faktanya. Siapa yang menang? Amerika atau Iran? Amerika menghabiskan jutaan dolar tanpa hasil keuntungan selain mengamankan pasokan minyak yang sekarang surplus hingga harga minyak terjun.
Sementara Iran tanpa high cost, mendapatkan stabilitas dan jajahan Iraq timur plus hadiah Suriah yang justru mengkhawatirkan semua pihak non-koalisi Iran-Rusia.
Mari kita mundur 1000 tahun sebelumnya, 100 tahun sebelum Perang Salib. Saat Kekhalifahan Abbasiyah dikuasai dinasti Syiah, Buhaihi. Sebelumnya Kesultanan Turki mendominasi Abbasiyah, kemudian raja-raja daerah Persia yang beragama Majusi, menjadi Syiah (keturunan Abu Syuja) lalu menguasai dominasi pengaruh di Baghdad, pusat Abbasiyah, tahun 945 M. Pada masa-masa itulah Syiah Qaramithah masuk ke Makkah dan membantai ribuan jamaah haji di depan Ka’bah.
Selama 100 tahun berikutnya Syiah sesuka hati mengganti khilafah yang sifatnya khilafah hanya tukang stempel. Tak heran Syiah menyebar hingga terbentuknya Dinasti Fatimiyah di Mesir. Tidak ada Yahudi di belakang, murni Syiah-Persia.
Ketika tahun 1050 Dinasti Buwaihi Syiah dijatuhkan Sultan Turki Saljuk, Syiah-Persia kembali mundur ke wilayah Persia (Iran saat ini).
Secara peta, wilayah Persia takluk dalam kedaulatan Saljuk, namun secara sosial masyarakat, masyarakat persia tetap menyatu dan loyal kepada Syiah.
Hanya berselang 30 tahun kemudian tokoh-tokoh besar Saljuk Islam mati terbunuh oleh Hasyasyin (Asassin), sebuah aliran Syiah ekstrim. Dan provokasi adu domba terjadi terhadap peziarah Kristen Eropa pada 1090, salah satu faktor penyebab Perang Salib. [Baca juga: Assassin: Pemburu Maut dari Lembah Alamut]
Siapa yang mengambil keuntungan dari Perang Salib? Tentu pasti Syiah-Persia, sebab tidak ada urusan Yahudi di sana. Bahkan ketika Mongol datang seabad setelah Perang Salib, Syiah lah yang membuka jalan kehancuran Abbasyiah (Islam) dari Baghdad hingga Suriah.
Syiah, bukan Yahudi
Sosok yang berhasil membunuh pemimpin tertinggi kedua umat, Umar bin Khathab bukan Yahudi, tapi Majusi Persia (sekarang Syiah).
Yahudi barangkali berperan pada sosok Abdullah bin Saba’ yang kita kategorikan sebagai salah satu peletak dasar Syiah dengan ungkapan penuhanannya pada Ali.
Tapi apakah hanya satu orang Saba’ lalu kita katakan Syiah produk Yahudi? Faktanya Persia lebih berkontribusi besar terhadap lahirnya Syiah (dukungan Kufah, bekas wilayah Persia) hingga menjadi Iran seperti hari ini.
Sejak berdirinya Dinasti Safawi abad 16 di Persia (Iran) Syiah-Majusi mengkristal di Isfahan hingga berhasil menggagalkan proyek penaklukkan Wina pada masa Utsmaniyah Sultan Sulaiman the Great. Lagi-lagi Syiah dan tidak ada Yahudi di sana.
Sementara itu Yahudi muncul zamannya di abad 20 yang secara kebetulan Rotschild Yahudi kaya raya melalui industri minyak hingga bisa mempengaruhi pimpinan dunia dengan uangnya.
Sementara pada masa Perang Salib, Yahudi diburu di Eropa (Prussia-Jerman) hingga dibantai juga di Palestina, saat penaklukkan Ferdinand-Isabella di Spanyol 1493 M, Yahudi diburu dan dibantai hingga masa perang dunia, barulah Yahudi muncul.
Artinya selain kita harus mengkaji kembali ‘yahudi-sentris’ yang tertanam dalam benak kita, tetapi juga kepada peran Syiah.
Terakhir kita mengira hanya Yahudi yang untung besar dengan terbentuknya Israel di Timur Tengah, sisi lain yang kita tidak pahami adalah, justru negara-negara Barat beruntung mengeluarkan Yahudi dari tanah mereka untuk ditempatkan di Timur Tengah sebagai 'kanker' yang menciptakan instabilitas. Barat mengambil keuntungan besar.
Lalu apakah otaknya Yahudi atau justru Kristiani? Faktanya Iran pun beruntung dengan 'kanker' Israel di Timteng. Iran duduk tenang menonton kegoncangan negara di sekitarnya.[]
Sumber: Hidayatullah (05/12/2015)