by Agus Fredy Muthi'ul Wahab*
Sebelum terbit menjadi novel, sama dengan bagian 1 nya, Kang Abik meletakkan penggalan-penggalan ceritanya dalam Cerita Bersambung di Republika. Tapi saya tak telaten membaca cuplikan demi cuplikan itu, meski tetangga meja di kantor berlangganan Republika dan sabar membaca setiap hari Cerbung itu.
Baru ketika benar-benar berwujud novel, saya membaca sekuel apik Kang Abik ini.
Memulai awal novel, saya membayangkan akan diajak ke Turki, karena Fahri tinggal di dekat keluarga Aisha, atau Jerman, tempat leluhur Aisha, atau malah Indonesia, seperti Azzam melanjutkan hidup setelah dari Mesir. Tapi ternyata, Kang Abik menempatkan Fahri di Edinburgh, sebuah kota dingin namun eksotis di Britania Raya. Seperti dulu kita diajak menyusuri Alexandria dengan narasi yang membuat kita tenggelam dan seakan sedang berada di sana, Kang Abik mengajak kita menyusuri setiap sudut Edinburgh sehingga kita bisa merasakan keindahan kota tersebut, setiap tempat, bahkan sampai bentuk dan layout rumah yang ditempati Fahri.
Fahri dikisahkan menjadi pengajar di The University of Edinburgh, sebuah kampus ternama di Eropa. Ia sudah menyelesaikan Ph.D nya di Jerman, dan menetap di Edinburgh untuk mengajar dan mengendalikan jaringan bisnisnya di sana.
Di mana Aisha?
Fahri kini, sama dengan Fahri 12 tahun lalu saat menjadi Mahasiswa miskin di Al Azhar, Kairo. Salih, cerdas, dan laki-laki yang sempurna. Seakan tak ada sekat lagi antara ajaran-ajaran Islam dan pribadi Fahri. Ia, dalam konteks yang berbeda, tetap menjadi seseorang yang belasan tahun lalu kita pertanyakan, 'Adakah benar-benar orang sesempurna Fahri?'. Meski Kang Abik menjawab 'Ada', bagi saya tak penting apakah ada Fahri nyata atau tidak. Novel ini tidak hanya novel. Novel ini dijuluki penulisnya dengan 'Sebuah Novel Pembangun Jiwa'. Kang Abik ingin menampar-nampar kesadaran kita bagaimana seharusnya hidup dan menjalani hidup. Kang Abik ingin mengajari orang Islam tentang seharusnya tidak ada sekat antara Islam dan Kaum Muslimin, tidak boleh lagi kemuliaan Islam tertutupi oleh perbuatan Kaum Muslimin. Dan untuk menuntaskan misi besar itu, Fahri harus tetap Fahri. Berkarakter kuat, salih, cerdas, dan sempurna.
Lalu di Edinburgh saya mengharapkan Fahri semakin mesra dengan Aisha, memiliki beberapa anak dan mereka hidup bahagia. Meski pasti perlu konflik untuk membentuk cerita, dan Fahri akan menghadapi dengan Aisha.
Tapi ternyata di awal novel, Aisha tak muncul. Rasa penasaran di mana Aisha membuat berlembar-lembar halaman tak terasa, berharap segera menemukan Aisha. Tapi sampai jauh tenggelam dalam narasi apik Kang Abik, tak ketemu juga di mana Aisha. Ada apa dengan Aisha?
Rasa penasaran di mana Aisha dan harapan agar Fahri tetap bahagia bersama Aisha mengisi hampir sebagian besar novel setebal 696 halaman ini. Kita disuguhi kisah cinta mendalam suami terhadap istrinya tanpa harus membaca cerita picisan dan romantisme seperti sinetron. Dan bukan Kang Abik kalau tidak menyuguhi kita pengetahuan dalam novelnya. Tak hanya Fiqih, hal yang mendominasi dalam Ayat-Ayat Cinta 1, tapi juga konsep Islam terhadap harta, pengetahuan tentang bagaimana hubungan Islam dengan agama lain, dan bagaimana Islam mengajari toleransi beragama. Satu hal yang menarik juga adalah tentang konsep 'Amalek' dalam Bangsa Yahudi yang menganggap bangsa lain adalah hina dan bahkan perlu dimusnahkan. Kesombongan mereka sebagai 'Bangsa yang terpilih' Tuhan menjadikan mereka seperti itu. Dan mungkin, kesombongan kita juga mengantar kita memiliki konsep amalek tanpa kita sadari.
Novel seharga 76 rb apabila Anda mendapat diskon, meski kental bernuansa Islam, tapi layak dibaca siapapun, karena nilai-nilai yang ditampilkan adalah nilai universal, selain agar mengetahui konsep Islam memandang kaum agama lain yang sering disalahpahami.
Lalu, di mana Aisha? Saya bahkan harus sekuat tenaga tidak 'cheating' dengan mengintip halaman belakang mencari Aisha. Selamat membaca!***
Sumber: https://www.facebook.com/abifata/posts/1020481024639674