Pemilu Myanmar Hanya Omong Kosong Bagi Muslim Rohingya


Beberapa media luar negeri terutama Asia menyoroti positif pesta demokrasi yang berjalan lancar di Myanmar. Pemilu yang diadakan Minggu (8/11/2015) waktu setempat tersebut menjadi pertarungan dua partai utama yang berebut suara untuk menjadi pemenang dan menjadi penguasa di Myanmar. Pemilu yang multi partai tersebut hanya bermuara kepada USDP partai petahana milik junta militer dan NLD partai milik Aung San Suu Kyi.

Jutaan orang memberikan suara mereka untuk pertama kalinya selama seperempat abad dalam pemilu yang sangat bersejarah dan penuh perasaan. Namun tidak ada satu pun muslim Rohingya yang diberi hak untuk memilih dan diperbolehkan maju sebagai kandidat.

Muslim Rohingya dicabut hak pilihnya oleh KPU Myanmar atas perintah junta militer yang diaminkan pula oleh partai oposisi. Sebanyak 500.000 pemilih yang berhak dari 1,3 juta minoritas Muslim Rohingya di negara itu dilarang ikut pemilu. Pemerintah Myanmar tidak mengakui sebagai warga negara meskipun mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.

Abdul Melik, seorang Rohingya 29 tahun, menghabiskan hari pemilihan hanya menonton orang lain memilih. Dia menatap keluar dari kamp di pinggiran ibukota Rakhine barat negara, Sittwe, di mana Rohingya dipaksa untuk hidup di kamp-kamp kumuh dan tidak bisa pergi tanpa persetujuan resmi. "Saya hanya bisa melihat orang Rakhine Buddha, Hindu dan muslim etnis Kaman (yang diakui negara) pergi memberikan suara di TPS," katanya dalam sebuah percakapan telepon, kutip Daily Sabah. "Kami berharap bahwa entah bagaimana kami akan diizinkan untuk memilih. Tapi hari ini saya telah kehilangan harapan dari setiap perubahan dalam hidup saya." "This is the day that hope ends," ("Ini adalah hari dimana harapan telah sirna,") tambahnya.

Josef Benedict, Direktur Kampanye Amnesty South East Asia, mengatakan dilarangnya muslim Rohingya dari pemilu jelas menunjukkan bahwa pemerintah "tidak berkomitmen untuk mengatasi situasi Rohingya dengan cara yang akan menghormati martabat mereka dan hak asasi manusia. Pengecualian etnis Rohingya dari pemilu menunjukkan diskriminasi serius dan mengakar dan harus menjadi peringatan bagi masyarakat internasional," katanya dalam pernyataan.

Selama ini pihak oposisi yang dipimpin Aung San Suu Kyi juga hanya diam terhadap aksi kejahatan kemanusian yang dilakukan oleh penduduk mayoritas Budha terhadap kelompok minoritas muslim Rohingya. Karena sikapnya tersebut, Aung San Suu Kyi dikritik oleh banyak aktivis HAM dunia karena sikap diamnya tersebut.

Bahkan peraih Nobel perdamaian tersebut tidak bisa berbuat apa-apa karena tersandera kepentingan politiknya. Kebijakan membela muslim Rohingya akan menurunkan popularitas dan dukungan dari masyarakat Budha Myanmar. Sehingga walaupun terjadi eksodus besar-besaran muslim Rohingya mencari suaka ke luar Myanmar, pejuang pro demokrasi tersebut hanya bisa berdiam tidak bergerak jika tidak sesuai dengan kepentingannya.

Pemilu di Myanmar mungkin akan menjadi kemenangan bagi partai oposisi Aung San Suu Kyi yang harus dibayar mahal oleh darah muslim Rohingya dan darah pejuang pro demokrasi. Bagi kelompok minoritas muslim Rohingya, pemilu Myanmar hanya omong kosong karena tidak menjanjikan perubahan apapun bagi mereka.

Untuk mendapatkan hak hidup di Myanmar saja sudah sulit mereka dapatkan. Oleh junta militer Myanmar, muslim Rohingya dipaksa hidup di dalam camp isolasi yang didirikan oleh junta militer. Kehidupan yang terisolasi semakin membuat hidup mereka menjadi menderita dan tak berdaya.

Sumber: Daily Sabah, sharia.co.id


Baca juga :