Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri*
Turki Erdogani yang dimaksud adalah Turki pada masa 13 tahun Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) berkuasa, dengan pemimpinnya Recep Tayyip Erdogan. Termasuk ketika mereka memenangkan pemilu parlemen pada awal November ini.
Secara resmi AKP kini diketuai Ahmet Davutoğlu. Namun, pemimpin sebenarnya adalah Erdogan. Hanya karena peraturan membatasi pemimpin partai --dan sekaligus perdana menteri-- menjabat tiga periode, Erdogan pun harus minggir. Ia kemudian didapuk jadi presiden yang hanya simbolik. Tapi, sebagai pendiri AKP, Erdoganlah sesungguhnya yang mengatur partai. Termasuk menunjuk Davutoğlu sebagai ketua partai dan sekaligus PM Turki.
Pemilu parlemen awal November ini sebenarnya pemilu ulang. Sebelumnya, pada pemilu 8 Juni lalu, tidak ada satu partai pun yang menang mutlak yang memungkinkan membentuk pemerintahan sendiri. Termasuk AKP yang memperoleh suara terbanyak, 41 persen. Menurut undang-undang, partai dengan suara terbanyak dipersilakan membentuk pemerintahan koalisi. Namun, hingga waktu yang ditentukan, AKP dan partai lain gagal berkoalisi membentuk pemerintahan. Dengan menggunakan hak konstitusinya, Presiden Erdogan lalu memerintahkan penyelenggaraan pemilu ulang.
Pemilu awal November lalu diikuti 16 partai. Namun, persaingan sebenarnya hanya antara empat partai. Pertama, AKP yang merupakan partai Islam moderat, memperoleh suara 49,5 persen di parlemen. Pada pemilu Juni lalu AKP hanya mendapatkan 41 persen.
Kedua, Partai Rakyat Republik (CHP). Partai ini merupakan gabungan kelompok sekuler, liberal, dan kiri. Perolehan suara CHP tidak banyak berubah, sekitar 25 persen. CHP merupakan partai lama, didirikan oleh Kemal Attaturk, dan satu-satunya partai yang pernah memerintah selama 27 tahun (1923-1950).
Ketiga, Partai Gerakan Nasional (MHP). Partai yang beraliran kanan ini menyerukan persatuan berbagai kelompok di Turki. Suara MHP kali ini turun dari 16,5 persen pada pemilu Juni lalu menjadi 12 pesen saja. Keempat, Partai Rakyat Demokratik (HDP) yang mengandalkan suara pada basis Kurdi. Perolehan suara HDP juga menurun dari lebih 13 persen pada pemilu Juni lalu menjadi 10,5 persen.
Hasil pemilu ulang ini jelas kemenangan telak bagi AKP. Dengan perolehan suara lebih dari 49,5 persen otomatis partai ini bisa membentuk pemerintahan sendiri. Apalagi pemilu kali ini diikuti lebih 85 persen pemegang hak suara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Antusiasme masyarakat Turki ini menegaskan mereka ingin AKP kembali berkuasa.
Pertanyaannya, bagaimana hanya dalam waktu singkat -- dari 8 Juni hingga 1 November -- AKP seolah bisa membalikkan tangan opini publik Turki? Jawabannya adalah pada strategi jitu kampanye AKP.
Ketika partai-partai lain mengupas tuntas berbagai kelemahan dan keburukan AKP selama memerintah dan melemparkan tuduhan negatif kepada Erdogan, partai Islam moderat ini justeru sebaliknya. Selama kampanye mereka lebih banyak mengusung tentang persoalan hidup sehari-hari rakyat.
Misalnya tentang pemberian santunan sebanyak 800 lira (sekitar 300 dolar) bagi setiap lulusan perguruan tinggi hingga mereka mendapatkan pekerjaan. Bagi yang ingin berwiraswasta, pemerintah -- bila AKP berkuasa -- akan membantu modal 50 ribu lira, di samping pinjaman lunak senilai 100 ribu lira. Sedangkan jika perusahaan swasta mau mempekerjakan lulusan universtias, pemerintah akan membayarkan gaji yang bersangkutan selama setahun pertama.
Dalam bidang kesejateraan keluarga, pemerintah akan membantu 15 persen dari biaya perkawinan dan perabotan rumah tangga. Bila seorang ibu melahirkan, mereka akan diberi bantuan 300 lira untuk bayi pertama, 400 lira untuk kelahiran kedua, dan 600 lira untuk bayi ketiga.
Sementara itu, untuk perempuan pekerja bila melahirkan mereka boleh bekerja separoh waktu selama dua bulan dan menerima gaji penuh. Kerja separoh waktu itu meningkat jadi empat bulan untuk kelahiran kedua dan enam bulan untuk kelahiran ketiga. Meskipun mereka bekerja separoh waktu namun gajinya tetap penuh. Dan begitu seterusnya.
Janji-janji kampanye AKP ternyata sangat cespleng. Banyak pemilih muda yang terpikat. Apalagi mereka tahu janji AKP tak sekadar janji. Selama 13 tahun berkuasa, AKP dan Erdogan telah membuktikan keberhasilan mereka untuk mensejahterakan rakyat Turki. AKP telah membawa Turki menjadi negara yang disegani di dunia. Padahal, 13 tahun lalu Turki dianggap sebagai negara sakit di Eropa.
Rekam jejak Erdogan sendiri juga sudah dianggap jaminan mutu. Ia mengawali karir politiknya dengan menjadi walikota Istanbul. Setelah berhasil membenahi bekas ibokota Khalifah Usmaniyah itu ia pun membentuk AKP dan memenangkan pemilu pada 2002. Selama 12 tahun menjadi PM, ia telah sukses menjadikan Turki sebagai negara maju.
Selain strategi kampanye yang jitu, memang ada faktor lain yang membantu kemenangan AKP kali ini. Pertama, AKP yang didirikan pada 2000 bisa dikatakan mewakili identitas asli bangsa Turki yang mayoritas beragama Islam. Identitas yang berakar pada kebanggaan terhadap Kekhalifahan Usmaniyah yang pernah menguasai dunia selama beberapa abad.
Sementara, idelogi liberal, sekuler, dan paham kekiri-kirian yang disandang CHP dianggap berasal dari luar/Barat. Sedangkan Partai Rakyat Demokratik dianggap hanya menyuarakan kepentingan suku Kurdi yang hanya 10-15 persen di Turki.
Kedua, selama 13 tahun berkuasa AKP dianggap telah membawa kestabilan politik, keamanan, ekonomi, dan sosial. Bandingkan dengan usia pemerintah koalisi sebelum tahun 2002 yang hanya berumur sekiar 1 hingga 1,5 tahun.
Ketiga, kegagalan AKP mengajak koalisi partai-partai lain untuk membentuk pemerintahan, yang dipersalahkan justeru oposisi. Partai-partai oposisi dianggap tidak bertanggung-jawab dan hanya mementingkan partai dan para pimpinannya. Bukan kepentingan bangsa dan negara. Apalagi selama lima bulan tidak ada pemerintahan definitif, Turki benar-benar diguncang ketidakstabilan.
Sejumlah bom meledak yang menewaskan minimal 120 warga. Juga kembalinya kelompok Kurdi mengangkat senjata telah menambah kekacauan di dalam negeri. Instabilitas ini dikhawatirkan akan menyebabkan militer kembali melakukan kudeta, seperti pernah mereka lakukan beberapa kali sebelum ini.
Keempat, instabilitas dalam politik dan keamanan ini ternyata juga telah merembet pada kelesuan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dari 9 persen ketika AKP berkuasa anjlok jadi hanya 3 persen. Nilai mata uang Turki, lira, turun drastis terhadap dolar AS. Pengangguran pun meningkat, terutama di kalangan anak muda.
Hal-hal tersebut itulah yang kemudian menggiring antusiasme masyarakat Turki menuju bilik-bilik suara. Dan, mayoritas mereka memilih AKP, sebuah partai Islam di negara sekuler, yang selama ini menunjukkan bukti dan bukan hanya janji-janji.
Jejak dan Kemenangan AKP ini semestinya menjadi contoh bagi partai-partai Islam di negara-negara demokrasi, termasuk di Indonesia. Kuncinya, kaderisasi. Dalam kasus di Turki, Erdogan telah membuktikan diri sebagai walikota sukses di Istambul, lalu sukses pula selama menjadi PM. Kini ia pun ingin sukses jadi presiden. Sementara itu, di tingkat partai, AKP telah sukses menunjukkan janji-janji (kampanye) menjadi bukti. Tidak sekadar slogan dan simbol-simbol agama. Tidak aneh bila kemudian mayoritas rakyat Turki memilih partai Islam ini.[]
*Sumber: ROL