Ustadz Rappung Samuddin
Diantara alasan yang dikemukakan kelompok yang menghalalkan mencela bahkan menjatuhkan pemimpin muslim seperti Mursi dan Erdogan adalah karena mereka tetap berhukum dengan sistem Demokrasi. Padahal keduanya sedang merangkak dan tidak hanya tinggal diam memperbaiki kondisi agama dan umat di negaranya. Sistem demokrasi yang ada bukanlah atas prakarsa mereka, akan tetapi warisan turun-temurun dari penguasa-penguasa sebelumnya.
Sungguh, para pencela ini tidak bisa membedakan, perkara "apa yang wajib di lakukan", dan "apa yang mungkin dilakukan" terkait sistem negara yang mereka warisi. Yang wajib dilakukan adalah merubah sistem dan berhukum dengan syari'at. Itu merupakan impian setiap muslim yang beriman. Namun terkadang, kondisi yang ada sangat tidak mendukung. Maka yang ada di hadapan kedua pemimpin ini adalah, apa yang mungkin bisa dilakukan secara maksimal demi mewujudkan tujuan dari kepemimpinan itu, yakni menjaga agama dan mengatur urusan mashlahat rakyat.
Barangkali masih hangat bagi kita, sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hari kematian Raja Najasyi: “Telah wafat hari ini seorang laki-laki yang shalih; bangkit dan shalatlah atas saudara kalian, Ash-hamah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Disebutkan dalam sejarah, bahwa al-Najasyi tetap menjadi seorang Raja di atas aturan dan undang-undang kufur kendati beliau telah masuk Islam. Walau demikian, Nabi Saw tetap menganggapnya sebagai seorang laki-laki yang shalih setelah kematiannya, tidak menyalahkan dan mencela perbuatannya. Sebab, saat itu kondisinya tidak memungkinkan untuk melakukan sebuah perubahan radikal.
Bukti bagi keislaman beliau adalah hadits di atas, juga riwayat-riwayat lainnya yang disebutkan oleh Imam al-Bukahri seputar kematian al-Najasyi. Nabi Saw bersedih dan sholat (ghaib) atasnya serta menyifatinya dengan keshalihan. Semua ini menguatkan bahwa ia adalah seorang muslim, padahal beliau adalah raja bagi rakyat yang kafir serta berhukum menurut apa yang berlaku dari undang-undang dan kebiasaan mereka.
Syaikh Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar mengumpulkan banyak bukti yang menunjukkan bahwa Raja al-Najasyi ra tidak menghukum rakyatnya dengan syariat Islam; diantaranya:
Pertama: Perkataan beliau dalam suratnya kepada Nabi Saw: “Sungguh, aku tidak memiliki sesuatu-pun melainkan diriku sendiri”.
Kedua: Rakyatnya melakukan pemberontakan untuk melengserkannya dari jabatan kepemimpinan, namun Allah tetap menjaga dan menolongnya dari rongrongan tersebut. Diantara alasan yang kemudian beliau kemukakan di hadapan rakyatnya untuk menenangkan mereka, bahwa ia tidak akan merubah dan tidak pula mengganti apa yang telah berlaku diantara mereka berupa hukum dan undang-undang. Sementara sisi lain, beliau menyakini Islam dalam batinnya dan mengirim utusan yang memberitahu Rasulullah Saw tentang keyakinannya. (Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar, Hukmu al-Musyarakah fi al-Wazarah wa al-Majalis al-Niyabiyah, hlm. 74-75).
Maka itu, Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah menegaskan:
“Raja Najasyi tidak memiliki kesanggupan berhukum dengan aturan al-Qur’an, karena rakyatnya tidak mengakui dan tidak pula menerimanya. Banyak orang yang memegang jabatan hakim diantara kaum muslimin dan Tartar, bahkan sebagai seorang pemimpin, di dalam dirinya terdapat perkara-perkara terpuji berupa sifat adil dan ia ingin mengaplikasikannya, akan tetapi kondisi tidak memungkinkan sebab ada (kekuatan) yang menghalangi demikian. Dan Allah tidak membebani seorang hamba melainkan sebatas kesanggupannya... Al-Najasyi dan yang semisal dengannya telah berbahagia di surga, kendati mereka tidak menjalankan syariat Islam (dalam kekuasaannya) karena tidak memiliki kesanggupan menegakkannya. Namun mereka tetap berhukum dengan hukum-hukum yang memungkinkan untuk mereka laksanakan (demi maslahat)”. (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Vol. XIX, hlm. 218-219).
Wallahu A'lam.
__
*dari fb ustadz Rappung Samuddin (Kamis, 12/11/2015)