Oleh Chandra HafizunAlim
Alumni Universitas Islam Bandung
Pada hari Sabtu (28/11) lalu, saya, istri, dan kedua anak saya mengunjungi museum geologi. Sebagai orang Bandung yang bertahun-tahun tinggal di Bandung dan juga sering sekali saya melewatinya, baru kali ini saya berkunjung ke tempat itu. Saya penasaran mengapa banyak orang yang mengunjungi tempat itu. Akhirnya saya memutuskan untuk mengajak istri dan kedua anak saya mengunjungi tempat itu. Istri saya sendiri sudah beberapa kali mengunjungi tempat itu sewaktu dia masih mengajar di SDIT.
Saya dapati di dalam musem itu benda-benda bersejarah, mulai benda-benda yang keberadaannya beberapa tahun yang lalu hingga puluhan ribu tahun yang lalu. Mulai dari replika hingga yang berwujud asli. Mulai dari bebatuan hingga fosil-fosil. Walaupun tergolong singkat mengunjunginya, saya sangat menikmati pemandangan itu. Pada suatu hari nanti saya akan mengunjunginya lagi. Mungkin seorang diri saja agar saya dapat berlama-lama. Mencatat dan merenungkan keajaiban benda-benda di masa lalu.
Saya termasuk orang yang mempunyai ketertarikan terhadap alam semesta. Saya membaca buku-buku yang berkaitan tentang keajaiban alam semesta. Saya mencatat apa-apa yang saya lihat dari keindahan alam semesta. Bila saya melihat pemandangan di bawah saya dari atas bukit, saya melihat betapa luasnya alam semesta. Entah bagaimana bila saya melihatnya dari luar angkasa. Itu yang saya lihat saat ini. Bagaimana dengan makhluk-makhluk di masa lalu? Betapa luas terbentang alam semesta. Betapa panjangnya ruang dan waktu. Betapa banyaknya makhluk yang masih ada dan yang sudah punah. Begitu kompleks dan rumitnya penciptaannya. Betapa semua ini adalah keajaiban.
Bagi orang yang beriman kepada Allah, semua makhluk ciptaan-Nya tidaklah tercipta secara kebetulan, melainkan ia ada karena ada yang menciptakannya, yaitu Allah Swt. Semua yang ada di alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah, Tuhan, itu ada. Jangankan kita berbicara tentang manusia yang penelitian tentangnya hingga kini belum juga usai. Berbicara tentang seekor lalat saja kita masih juga belum selesai. Dan masih banyak makhluk kecil lainnya yang masih diteliti hingga kini. Apalagi kita berbicara tentang gunung. Apalagi kita berbicara tentang bumi. Tentang alam semesta!
Lalu, bagaimana dengan mereka, walaupun berilmu, yang tidak percaya kepada Tuhan? Bukankah fakta-fakta menunjukkan bahwa alam semesta tidak tercipta secara kebetulan? Saya melihat awal dari kekacauan ini terjadi karena Bibel dan gereja tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang ketuhanan dan hal-hal kontradiksi yang ada di dalamnya. Ilmuwan terkemuka, Sir Isaac Newton, mempunyai minat pada agama dan teologi. Pada awal tahun 1690-an, ia mengirimkan kepada sahabatnya, John Locke, satu kopi tulisannya yang mencoba membuktikan bahwa ayat-ayat yang menyiratkan Trinitas di dalam Perjanjian Baru adalah tambahan belakangan yang disisipkan oleh kubu Athanasius. Ketika John Locke berniat menerbitkan karya itu, Newton segera menariknya kembali, karena takut pandangannya yang anti-Trinitas diketahui umum.
Ketika ditanya oleh salah seorang sahabatnya, apakah Charles Darwin mengimani Perjanjian Baru, beginilah jawabannya, "Tuanku, saya mohon maaf harus menginformasikan kepada Anda bahwa saya tidak mengimani Injil sebagai wahyu tuhan dan untuk itu tidak mengimani Yesus sebagai anak tuhan. Salam hangat Ch Darwin,"
Tuhan Yesus pun diragukan eksistensinya. Doktrin Trinitas yang sulit dipecahkan membuat ilmuan Barat bertambah confuse. Bahkan pada titik ekstrim, mereka putus asa mendiskusikan tentang Tuhan dengan mempertanyakan keberadaan Yesus. Groenen dalam 'Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen' menyimpulkan, kemisteriusan Yesus tidak dapat dijangkau akal. Bahkan ia mempertanyakan apakah Yesus itu ada atau tidak.
Jadi, pada awal mulanya yang dimaksud dengan penolakan mereka terhadap Sang Pencipta adalah Sang Pencipta dalam agama Kristen. Mereka menutup mata tentang adanya kebenaran ketuhanan dalam agama lain, dalam hal ini Islam. Mereka cukupkan sampai disini pencarian mereka tentang konsep ketuhanan lalu menutup rapat-rapat adanya pemikiran lain selain itu. Mungkin saja mereka takut, bila mereka melihat keyakinan agama, meskipun berbeda dengan keyakinan agama mereka yang sebelumnya, mereka akan menemukan hal yang sama dengan keyakinan agama mereka sebelumnya; sama-sama buruk; sama-sama tidak masuk akal. Keyakinan seperti ini kemudian menyebar pada seluruh penganut agama diluar Kristen.
Hal ini tampaknya berbeda dengan apa yang terjadi dengan ilmuwan-ilmuwan muslim. Di masa keemasan Islam, di mana banyak sekali bermunculan ilmuwan-ilmuwan besar, hampir tidak ditemukan ilmuwan yang menjadi ateis. Tidak hanya percaya kepada Tuhan, sebagian besar dari mereka juga berprofesi sebagai ulama yang banyak menguasai ilmu agama. Jabir bin Hayyan, Bapak Pendiri Laboratorium Kimia Pertama, yang hidup di abad ke-9 masehi menghubungkan sistem ilmiahnya dengan ajaran Islam. Contoh yang lain adalah Ibnu Rusyd, ahli kedokteran dan filsafat sekaligus seorang fakih penulis kitab Bidayatul Mujtahid. Ibnu Khaldun, selain seorang sejarawan dan pakar ilmu-ilmu sosial, juga seorang gurubesar ilmu fikih.
Seorang orientalis, Duncan McDonald memberikan komentar tentang relijiusitas Ibnu Sina: “Di samping sebagai pengajar ilmu yang tekun, Ibnu Sina juga pembaca Al Quran dan yakin dalam mengerjakan amal-amal keagamaan.” (Natsir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, hal. 162).
Konsep ilmu pengetahuan di dalam Islam tidak mungkin dipisahkan dengan konsep ketuhanan. Sebagaimana firman Allah, "Bacalah dengan menyebut nama Tuhan yang menciptakanmu." Membaca disini tidak hanya dikaitkan dengan membaca ayat-ayat Al Quran, tetapi juga membaca ayat-ayat alam semesta (kauniyah), bahwa proses mengenal alam semesta tidak bisa dipisahkan dari proses mengenal Allah apalagi sampai mengingkari keberadaan-Nya.
Konsep ilmu pengetahuan di dalam Islam tidak menghalangi seseorang untuk menjadi seorang berilmu sekaligus seorang beriman. Allah Swt. berfirman, "Allah menyatakan bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak di-sembah) melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. Ali Imran: 18)
Setelah menyatakan yang demikian, Allah Swt., pada ayat selanjutnya, berfirman, "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...." (QS. Ali Imran: 19) Menunjukkan bahwa Islam itu adalah kebenaran itu sendiri. Dan kebenaran Islam tidak bertolak belakang dengan kebenaran ilmu pengetahuan.***
__
*dari fb penulis