Oleh Azzam Mujahid Izzulhaq*
Saya tidak aneh dengan Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang 'Hate Speech'. Jauh sebelum ini dibuat dan dikeluarkan, rencana men-super power-kan Presiden dan jajaran pemerintahannya dalam bentuk produk hukum sudah direncanakan. Walau sempat gagal.
Sejarah peradaban manusia ini banyak mengabadikan bagaimana penguasa-penguasa tirani yg memberlakukan hal demikian. Mulai dari Fir'aun, Qarun dan lainnya di zaman Sebelum Masehi, sampai hingga kini.
Masih ingat Pasal Penghinaan Presiden yang gagal diaktifkan kembali karena terbentur karena tidak disetujui oleh mayoritas anggota DPR? Ya, sekarang adalah produk hukum yang sama namun berbeda tingkatnya saja.
Dengan hanya berbentuk Surat Edaran, pemerintah melalui Kepolisian Republik Indonesia tidak perlu 'ijin' dari DPR.
Tidak mengapa. Jika benar, tidak perlu gentar. Menyatakan kebencian berbeda dengan menyatakan kebenaran. Walau terkadang, mengatakan kebenaran dibenci, pastikan yang membenci itu adalah orang yang sedang melakukan kesalahan.
Orang yang bertindak benar tidak akan tersinggung jika dikatakan keliru atau salah. Hanya orang-orang yang 'merasa benar' dan atau orang-orang yang sedang berbuat kekeliruan dan kesalahan lah yang akan tersinggung saat dikatakan, dibeberkan, disampaikan kebenaran.
Mungkin, mungkin saja saya termasuk ke dalam orang-orang yang dianggap menyebarkan kebencian, hate speech, namun saya tak akan gentar. Karena obyek yang saya benci adalah "apa" yang dilakukan, bukan "siapa" yang melakukan.
Bagi saya, cukup kaidah dan sabda Sang Baginda menjadi bahan bakar,
قل الحق و إن كان مرا
"Katakanlah kebenaran walau terasa pahit" (H.R. Baihaqi)
أفضل الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر
"Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa zhalim" (H.R. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
__
*dari fb Azzam Mujahid Izzulhaq (Kamis, 5/11/2015)