Den Haag; Mengadili 1965, Melupakan Westerling?!


"Mengadili Indonesia soal kasus 1965 di Den Haag…?" Ungkapan spontan dari sejarawan Anhar Gonggong langsung muncul ketika diminta pendapatnya soal digelarnya pengadilan Kasus Pembunuhan 1965 di Den Haag, Belanda, beberapa hari lalu. Tanpa basa-basi ‘khas’ orang Bugis dia mengatakan bila ada orang Indonesia ikut di pengadilan tersebut, maka tindakannya jelas merupakan sebuah ‘kebodohan sejarah’ dan sangat tidak nasionalis.

"Apa tidak ingat berapa banyak rakyat kita dibunuh pada zaman penjajahan Belanda. Apa tidak ingat peristiwa pembantaian warga Sulawesi Selatan oleh Westerling. Kalau kasus 1965 mereka ribut, kenapa soal pelanggaran HAM yang mereka lakukan malah bungkam," ujar Anhar lagi.

Tak beda dengan peristiwa kasus pembunuhan pengikut PKI di tahun 1965, rakyat Sulawesi Selatan (kini juga termasuk wilayah Sulawesi Barat) mengingat betul apa yang dilakukan komandan pasukan khusus Belanda Kapten Raymond Pierre Paul Westerling alias ‘Si Turki’ yang lahir di Istanbul 31 Agustus 1919. Ribuan orang ditembak mati oleh anak buahnya demi memecah keinginan kuat rakyat di Sulawesi Selatan agar mau mendukung pembenukan negara boneka Belanda, Negara Indonesia Timur.

Bahkan, sebelum melakukan pembunuhan masal di tanah Sulawesi, pasukan Westerling yang mentasbihkan dirinya sebagai Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), juga melakukan pembantaian di sekitar Bandung. Tak beda dengan tujuan aksi terror di ‘tanah Bugis’ tujuan Westeling melakukan pembantain massal adalah untuk menurunkan mental para pendukung Republik.

Yang leibih penting lagi, perilaku biadab itu ketika dilakukan di Jawa Barat juga bertujuan untuk memancing agar pasukan Siliwangi yang dikomandani AH Nasution mau ke luar dari persembunyian gerilyanya. Tapi terror Westerling tak dilayani oleh para komandan Siliwangi karena sadar bila persenjataan mereka tak akan mampu mengimbangi kekuaan  pasukan khusus Belanda tersebut.

Nah, meluasnya aksi terror dan pembunuhan yang dilakukan pasukan Westerling pada saat itu pun jelas mendapat perhatian khusus para pemimpin RI yang tinggal dan menetap di Ibu Kota Negara Yogyakarta. Catatan arsip berita yang dtulis ‘Antara’ pada  saat itu, terlihat jelas adanya ketakutan mendalam dan menyebar oleh tindakan Westerling.

Pihak pemerintah di Yogyakarta membuat berbagai antisipasi serta himbauan untuk mencegah merembesnya teror Weseterling sehingga sampai memakan korban petinggi negara. Di perbatasan kota Yogyakarta misalnya  pasukan TNI memasang penjagaan khusus mengantisipasi penyusupan pasukan mereka. Semua elite RI seperti Sukarno, Hatta, dan Panglima Besar Sudirman saat itu memasang sikap waspada serta paham bahwa ancaman terror pembunuhan dari Westerling bisa muncul sewaktu-waktu.

"Kahar, berapa yang mati?" begitu tanya Presiden Sukarno kepada Kahar Muzakar pengawalnya yang asal Makassar. Saat itu di Yogyakarta berita pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan oleh pasukan Westerlingg sudah tersebar luas. Tapi pemerintah belum tahu dengan pasti berapa banyak jumlah korbannya.

Mendengar pertanyaan Bung Karno, Kahar berpikir sejenak. Karena juga belum bisa menjawab, dia kemudian  meminta izin kepada presiden untuk mencari tahu berapa banyak korban pembantaian Westerling yang terjadi di kampungnya.

Dan ketika melapor kembali ke Presiden Sukarno, Kahar menyebut angka 40 ribu orang. Sukarno pun terkejut karena jumlah korbannya banyak sekali. Sesaat setelah mendengar kabar mengenai jumlah rakyat yang meninggal dunia, maka Sukaro pun segera memrintahkan agar segera dibuat upacara khusus untuk memperingati tragedi pembantaian massal rakyat Sulawesi Selatan oleh Westerling yang terjadi pada ujung tahun 1946 hingga beberapa bulan di awal tahun 1947.

*Sumber: ROL


Baca juga :