Oleh Canny Watae*
Saya mendapat pesan inbox dari seorang kawan FB yang menyodorkan sebuah berita dari Kompas. Saya sebenarnya sudah tidak lagi membaca Kompas, kecuali judul-judul beritanya yang seliweran di wall. Saya tidak ingin menyerahkan alam pikir saya terisi oleh framing Kompas (Framing atau pembingkaian adalah pengolahan suatu peristiwa untuk kemudian disampaikan pada pembaca dengan sudut pandang pengelola media ybs). Belakangan ini, saya melihat Kompas membodohi-bodohi pembacanya. Atas permintaan sang kawan, saya komit bantu bikin ulasan.
Ini soal “oleh-oleh” Jokowi dari Amerika, yaitu apa yang disebut sebagai Kesepakatan Bisnis Senilai 275 Trilyun. Beritanya ada di http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/10/27/130300226/Ini.Rincian.Kesepakatan.Bisnis.Rp.275.Triliun.Saat.Jokowi.di.AS.
Materi berita yang sama sebenarnya sudah saya baca pada situs media lain. Kompas sendiri mendapatkan materinya dari Kantor Berita Antara. Awalnya, saya sudah “gatel” untuk mengulasnya, tapi, saya prihatin pada sebagian orang di jagad Facebook yang mengobral cap “hater” pada siapa pun yang berpandangan kritis pada Jokowi. Saya perkirakan, mereka akan semakin menurunkan harga lebih lanjut, diskon besar-besaran untuk men-cap “hater, hater, hater” lagi di wall saya. Paling memprihatinkan kalau mereka mulai menggunakan kalimat frustasi: kalo kamu yang jadi Presiden, belum tentu kamu bisa lebih baik dari Jokowi. Di mata kelompok ini, dalam amatan saya, yang penting Jokowi sudah Presiden, dan itu sudah cukup. Perkara Kepresidenan Jokowi tidak membawa maslahat bagi seluruh rakyat Indonesia, sepertinya mereka tidak peduli. Sebuah perilaku yang menurut saya “pengabaian terhadap cita-cita Proklamasi dan Reformasi” .
Agak panjang nggak papa, yah?
Begini. Kita mulai dari kisah perdagangan antar-bangsa.
Supaya dekat-dekat menuju klop, saya langsung mengumpamakan perdagangan antara negara I yang bermata uang R, dengan negara A yang bermata uang D.
Penduduk negara I gemar makan tempe. Karena kedelai yang adalah bahan baku pembuatan tempe hanya sedikit di negara I, maka I mencari sumber bahan dari luar negaranya. Ketemu negara A, ternyata A punya perkebunan kedelai yang maha luas. Produksinya banyak, di satu sisi kebutuhan dalam negeri A tercukupi dari produksi mereka sendiri, bahkan melebihi kebutuhan. Masuk ini barang. I segera membeli kedelai dari A. Pake uang apa I membayar? Ya pake uang R, dong, karena uangnya I adalah R. A bersedia menerima pembayaran dalam bentuk mata uang R. Mengapa? Selidik punya selidik, A ternyata butuh tembaga untuk memenuhi kebutuhan pembuatan kabel di negerinya. Ada pun tembaga, berlimpah di negara I. Tercapailah kesepakatan, bahwa A bersedia menerima pembayaran kedelai dalam bentuk mata uang R, dengan catatan A boleh membeli tembaga dari I, menggunakan uang R hasil pembayaran kedelai dari I.
Atau, dalam skenario yang sedikit berbeda, ternyata A tidak mau menerima pembayaran dalam bentuk uang R, A maunya dibayar pake uang D, karena uang D itu yang laku di negara A. Kalo dibayar pake uang R, A bilang “ngapain, wong tidak laku di negara saya?”. Lalu gimana dong? Dicarilah jalan keluar, agar I bisa punya duit dalam bentuk D, maka harus ada sesuatu dari negara I yang bisa dibeli oleh A. Aha, tembaga jawabannya. Jadi, A beli tembaga dulu dari I, bayarnya pake uang D, lalu uang D itu dipake oleh I, untuk bayar belanjaan kedelai. Adil, kan? Tidak ada yang dirugikan, kan?
Atau, skenario lain lagi. A butuh tembaga, I tidak mau dibayar dengan uang D. I maunya uang R. Jalan keluarnya, I yang kebetulan butuh kedelai dari A, membayar dengan uang R. Dengan demikian, A akan punya alat bayar dalam bentuk uang R. Alat dalam bahasa Inggris disebut “device”. Pakar Bahasa Indonesia J.S. Badudu menganjurkan kita menyebutnya “devisa”. Devisa itu selanjutnya disimpan (reserved, dicadangkan) oleh A, untuk kemudian digunakan nanti untuk membayar tembaga. Jadi, negara A punya “cadangan devisa” dalam bentuk uang R.
Katakanlah kedua negara sepakat berdagang (trading) menggunakan mata uang R sebagai devisa (alat bayar).
Pada tahun pertama, I membeli kedelai senilai seribu R (1.000 R). Sebagai respon, A membeli tembaga dari I juga dengan nilai 1.000 R. Uang dari negara I mengalir ke negara A sebesar 1.000 R, lalu mengalir balik lagi ke negara I. Adakah yang dirugikan? Jawabannya: tidak. Adakah yang diuntungkan? Gimana ya, ada yang untung, nggak? Melihat I keluar 1.000 R, A terima 1.000 R, lalu A keluar 1.000 R, dan terakhir I menerima lagi 1.000 R, secara matematis tidak ada yang untung. Memang tidak ada yang rugi, tapi tidak ada pula yang untung. Benarkah tidak ada yang untung? Tunggu dulu. Kedua-duanya UNTUNG. Untung Sejati, namanya. Untung bagaimana? Nanti saya jelaskan. Kita melangkah ke tahun kedua dulu.
Pada tahun kedua, I kembali membeli kedelai dari A sebesar 1.000 R. Karena permintaan kabel turun di negaranya, A pada tahun kedua ini membeli tembaga hanya senilai 900 R. Berarti ada sisa devisa 100 R di brankas negara A. Itu namanya surplus dagang. Apakah itu berarti negara A meraih keuntungan? Sepertinya iya, tetapi sejatinya tidak. Lho, kenapa? Lha, duit 100 R itu mau diapain sama negara A? Dipake belanja dalam negeri sendiri juga kagak laku. Duit dengan satuan R itu hanya laku kalau dipake membayar ke negara I. Bagaimana dari sisi negara I? Seratus R yang tidak kembali pada tahun kedua itu dianggap “tak masalah”. Hanya “sedikit”. Pula, toh “suatu saat nanti akan dibelanjakan pula oleh A ke I”.
Pada tahun ketiga, keempat, kelima, pembelian tembaga oleh A ke I ternyata selalu lebih rendah nilainya daripada pembelian kedelai dari I ke A. I mulai protes: "Hei, perdagangan kita tidak seimbang. Makin habis duit R kami di dalam negeri kami sendiri. Kalian perbanyak belanja dong ke sini, biar duit R yang ada di brankas kalian bisa kembali ke sistem perekonomian kami".
Dalam kondisi di atas, neraca dagang kedua negara tidak seimbang. Tetapi, apakah itu serta merta berarti negara I rugi? Bisa dikatakan tidak juga. Toh, beli kedelai tiap tahun seharga 1.000 R, barang yang datang benar adalah kedelai, tiap tahun, tepat waktu. Duit yang dibelanjakan senilai 1.000 tiap tahun mendatangkan kedelai dengan jumlah yang sesuai nilai itu. Tetapi, dipandang dari perspektif “bangsa”, ada kerugian karena devisa negara tersedot keluar. Di sisi lain, negara A memupuk cadangan devisa dalam bentuk mata uang R di negaranya. Kondisi ini menjadi makin merugikan bagi negara I apabila, ternyata, di awal kesepakatan, alat bayar yang disepakati bersama adalah mata uang milik A, yaitu uang D. Untuk bisa membayar negara A dalam bentuk uang D, melihat transaksi yang tidak seimbang, satu-satunya cara bagi I untuk memiliki uang D adalah dengan cara meminjam, alias berhutang (!).
Itulah sebabnya dalam perdagangan antar-negara, kedua negara saling berharap agar terjadi transaksi yang seimbang. Saling menjaga, saling mengisi, saling menerima. Selisih transaksi kecil dapat diterima sebagai sesuatu yang tak dapat dihindari (dengan demikian bagi negara yang berposisi surplus, mereka mendapat kesempatan memperkuat cadangan devisa asing di negaranya).
Nah, dengan transaksi yang seimbang, tidak ada yang dirugikan, dan kedua-duanya UNTUNG. Untungnya di mana? Untungnya adalah: di kedua negara tercipta kesempatan kerja bagi rakyat masing-masing. Inilah Untung Sejati itu. Ketika A butuh tembaga, maka proses pengambilan, pengolahan, pengadaan energi untuk pengolahan, pengapalan, pajak, dlsb memungkinkan perputaran uang di dalam negeri negara I. Demikian pula sebaliknya. Proses negara A menyiapkan kedelai untuk dijual ke negara I menciptakan lapangan pekerjaan di sana. Mulai dari pengadaan bibit, penanaman, pengadaan alat mekanik pertanian, pengangkutan, pajak, dlsb. Kedua negara menghidupkan rakyat masing-masing dari perdagangan mereka.
Itu baru pada 2 komoditas dagang. Bagaimana untuk ratusan bahkan ribuan komoditas? Jutaan orang bisa hidup. Di sinilah peran Negara sangat penting. Apabila transaksi dagang bergejala tidak seimbang, pemerintah Negara bersangkutan harus segera memainkan instrumen-instrumen aturan, pengawasan, pengendalian, pembinaan, sedemikian rupa sehingga posisi keseimbangan dagang terjaga dengan baik. Sambil, dengan cara-cara yang sportif membuat selisih dagang yang positif, agar kelebihan itu dapat memperkuat cadangan devisa.
Kesepakatan Bisnis Rp 275 Triliun Jokowi di AS
Nah, sekarang mari kita elaborasi oleh-oleh Jokowi dari Amerika senilai 20,25 Milyar Dollar atau setara 275 Trilyun Rupiah, sebagaimana link Kompas di atas.
A. Kesepakatan bisnis 15,705 milliar dollar AS yakni:
1. Perjanjian jual beli gas alam cair (LNG) antara Pertamina dan Corpus Christie Liquefaction senilai 13 miliar dollar AS untuk pengiriman LNG ke FSRU Lampung bagi kebutuhan gas di wilayah barat Indonesia dan terminal LNG untuk Indonesia Timur.
* Amerika mendapat 15,705 milyar dollar. Baru pada permulaan ini saja sebenarnya tak perlu lagi kita jauh-jauh ke bawah untuk menarik kesimpulan apakah kita (sebagai bangsa) mendapat untung sejati atau rugi sejati.
2. Ekspansi Phillip Morris sebesar 1,9 miliar dollar AS (500 juta dollar ASuntuk belanja modal dan 1,4 miliar dollar AS berupa penerbitan saham baru Sampoerna). Belanja modal tersebut untuk perluasan pabrik dan perkantoran serta investasi yang akan dilakukan dalam kurun waktu 2016-2020.
* 500 juta dollar, apakah duit ini murni dana segar dari kantong Philip Morris (perusahaan Amerika yang menjadi pemilik Sampoerna sejak beberapa tahun lalu), atau duit ini sebenarnya duit yang sudah ada di kas perusahaan di Indonesia?
* 1,4 milyar dollar, ini adalah duit yang didapat dari penerbitan saham baru. Di Pasar Modal mana Sampoerna mencatatkan diri (listing)? Di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Itu berarti, duit ini datang dari pasar dalam negeri kita sendiri.
3. Coca Cola juga akan menanamkan investasi 500 juta dollar AS untuk perluasan dan penambahan produksi, pergudangan, distribusi, dan infrastruktur minuman ringan selama 2015-2018.
* Tidak dijelaskan di sini apakah duitnya datang dari AS atau tidak.
4. Rencana pengembangan lahan shale gas Eagle Ford, Fasken, milik Swift Energy, yang akan dilakukan oleh Saka Energi dengan Swift Energy di Webb County, Texas, dengan nilai sebesar 175 juta dollar AS.
* kita anggap saja ini duit masuk, 175 juta dollar dari AS. Tapi tunggu dulu, lokasi investasi ternyata di Texas. Di manakah Texas itu? Saya yakin bukan di Jabar, Sulsel, atau pun Papua. Berarti, ini bukan duit masuk.
5. Kesepakatan bisnis antara PT PLN (Persero) dan General Electric, yaitu antara PLN Gorontalo dan General Electric dengan nilai sebesar 100 juta dollar AS untuk pembangunan 100 MW gas turbin dancydepower di Gorontalo.
*Amerika lagi lagi dapat duit, di transaksi ini Indonesia-lah yang jadi pembeli.
6. Kerja sama Universitas Udayana dengan Skychaser Energy untuk konservasi air dan reduce power consumption dengan nilai sebesar 30 juta dollar AS.
* Semoga ini kerjasama hibah. Pun, walau pun ini hibah, misalnya, maka sebagian besar dari dana 30 juta dollar ini akan menjadi upah kerja bagi tenaga-tenaga ahli AS.
7. Kerja sama antara BNI Syariah dan Mastercard untuk peluncuran kartu debit haji dan umrah yang diselenggarakan oleh BNI Syariah dengan Mastercard.
* Amerika lagi lagi dapat duit. Tiap kali transaksi menggunakan kartu debit ini dilakukan, ada bagian duit yang mengucapkan “wassalam” pada pemiliknya. Duit itu hijrah ke Amerika.
B. Kesepakatan bisnis bernilai 4,547 miliar dollar AS terbagi atas tiga grup, yakni:
Grup 1
1. Kesepakatan antara PT PLN (Persero) dan UPC Renewables dengan nilai sebesar 850 juta dollar AS untuk pembangunan 350 MW Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dalam waktu tiga tahun (2015-2018).
* Sama dengan listrik untuk Gorontalo di atas, di sini Indonesia adalah pembeli.
2. Kesepakatan antara Cikarang Listrindo dan General Electric dengan nilai investasi sebesar 600 juta dollar AS untuk perluasan pembangunan pembangkit listrik (IPP).
* Idem ditto, kembali Amerika yang dapat duit.
3. Kesepakatan antara PT Indonesia Power dan General Electric untuk pembangunan pembangkit di Jawa Tengah sebesar 700 MW senilai 400 juta dollar AS.
* Untuk menghindari idem ditto, saya sebut saja “sda”, alias “sama dengan atas”.
4. Kesepakatan antara PT PLN Batam (Persero) dan General Electric senilai sebesar 525 juta dollar AS untuk pembangunan pembangkit bergerak (mobile) 500 MW di Mataram, Bangka, Tanjung Jabung, Pontianak, Lampung, dan Sei Rotan.
* Masih “sda”.
Grup 2
1. Kesepakatan antara PT Kereta Api Indonesia dan General Electric senilai 60 juta dollar AS untuk perawatan 50 lokomotif selama 8 tahun.
* Jelas, kita akan membayar Amerika untuk perawatan barang yang sudah puluhan tahun orang-orang Indonesia dari jaman jawatan kereta api sampai jaman PT Kereta Api sudah lakoni.
2. Kesepakatan antara PT PLN (Persero) dan Caterpillar senilai 500 jutadollar AS untuk proyek 2 GW pembangkit tenaga hibrida dan proyek solar PV+ penyimpanan energi untuk microgrid di daerah-daerah terpencil (500 pulau) dengan solusi pembiayaan initial capital investmentmelalui power purchase agreement dengan PLN.
* Kisah yang sama dengan proyek-proyek listrik di atas.
3. Rencana perluasan investasi Cargill pada tahun 2015-2019 dengan nilai sebesar 750 juta dollar AS. Dana investasi sebesar 84 juta dollar ASsudah direalisasikan sehingga investasi baru yang akan dilakukan sebesar 666 juta dollar AS.
* Kita sebut saja, untuk yang ini Amerika-lah yang membawa duit ke Indonesia.
4. Pembangunan fasilitas pemanufakturan ulang untuk Cylinder Head di Cileungsi, Bogor, oleh Caterpillar senilai sebesar 12 juta dollar AS yang merupakan self signing.
* Kita yang membayar
Grup 3
1. Kerja sama antara Perum Peruri dan Crane Currency untuk pembangunan pabrik pengaman uang kertas yang akan dibangun di Karawang dengan nilai sebesar 10 juta dollar AS dan antara Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) dengan Jarden Zinc untuk pembangunan pabrik di Karawang dengan nilai sebesar 30 jutadollar AS.
* Jelas sekali, kita-lah yang membayar.
2. Kerja sama PT Pertamina dengan Bechtel Corporation dalam kurun waktu 5 tahun untuk pembangunan dan pengembangan kilang dengan nilai transaksi 800 juta dollar AS.
* Lagi lagi kita.
3. Kerja sama antara Kilat Wahana Jenggala dan Hubbell Power Systems, yaitu ekspansi pada existing plant yang memproduksi atau merakit insulator transmisi polimer untuk distribusi listrik, dengan menambah lokalisasi transmisi sebesar 5 juta dollar AS-10 juta dollar AS.
* Kita yang akan membayar mereka...
KESIMPULAN
Kesimpulan mengarah ke: Amerika adalah Kita. Mirip mirip jargon kampanye.
Nah... sekarang, silahkan ditilik-tilik, dari “oleh-oleh” sebesar total 275 Trilyun ini, berapa yang murni “milik kita”? Seberapa besar maslahat kita? Atau ini, sebaliknya, bukan “oleh-oleh” buat kita di tanah air, melainkan “oleh-oleh” yang dibawa Jokowi untuk Amerika?
Saya sudah nulis sekian halaman, tugas teman-teman hanya ambil kalkulator saja... saya sendiri mau nangis. Apakah Jokowi memahami apa yang di tanda tangani?***