Ketika Aktivis Kiri Menyesal Dukung Kudeta, "As-Sisi Harus Segera Hengkang Sebelum Terlambat"


Sisi must go, before it is too late

by David Hearst*

["Sisi adalah pemimpin dari rezim yang paling kejam dan menindas yang pernah dimiliki Mesir selama masa hidup saya,” Alaa Abdul Fattah, aktivis kiri-sekuler pendukung kudeta yang kini meringkuk di penjara]

Dengan setiap pesawat yang tiba bertujuan mengevakuasi turis-turis Inggris dan Rusia, wilayah Sharm el-Sheikh mulai merasakan hilangnya denyut nadi kehidupannya.

Arthur, dengan gaji tetap sebesar $255 (lebih banyak $63 dari upah minimum di Mesir) menyebut: “Saya tidak tahu apa yang terjadi kepada pesawat tersebut. Saya meyakini bahwa kami sedang dimamipulasi dan saya memilih untuk tidak berpikir tentang itu. Saya pikir barat sedang mencoba untuk memaksa Mesir melakukan hal-hal sesuai kehendak mereka dan kecelakaan ini adalah kesempatan sempurna bagi mereka untuk memaksa kami, memaksa kami secara keuangan.”

Ahmed, seorang instruktur menyelam yang beralih profesi menjadi supir taksi setuju. “Mereka ingin membunuh kami. Saya tidak melihat ada penjelasan. Disini, hanya turis Rusia dan Inggris yang masih berkunjung, dan mereka adalah orang-orang yang juga akan segera dipulangkan.”

Plot barat untuk ‘membunuh’ Sharm el-Sheikh dengan melimpah dirancang/dimanipulasikan oleh kreativitas bahasa oleh media-media pro-pemerintah kudeta. Saat seorang turis Inggris yang terdampar ‘menguliahi’ duta besar Inggris John Casson, kata-katanya diubah oleh Al-Ahram, media pro-pemerintah menjadi: “Kami ingin melanjutkan liburan kami dan kami tidak ingin pergi sekarang.”

Apa yang sesungguhnya ia katakan (direkam dalam sebuah video youtube https://www.youtube.com/watch?v=A2dyxbk0gEU ) adalah: “Apa masalahnya? apa masalah sesungguhnya? kenapa kami ada disana ?... ada masalah keamanan pagi ini dan anda sekarang disini untuk menyelesaikan. Lalu mengapa kami masih disini, sementara yang lainnya telah dipulangkan?”

Tangan-tangan asing juga, sepertinya, sedang bekerja di Alexandria. Saat badai dan hujan lebat menyebabkan banjir yang meluas di Alexandria, membunuh 17 orang dan melukai 28 lainnya -yang sudah terjadi secara rutin karena sistem drainase kota tidak dapat menampung- respon pemerintah adalah menahan 17 anggota Ikhwanul Muslimin, yang dituduh memblokade pipa-pipa pembuangan, merusak transformer listrik dan container-kontainer tempat sampah.

Ada kambing hitam lain juga untuk kegagalan-kegagalan Negara. Pada hari Rabu, jaksa penuntut di Giza melepaskan salah satu dari pebisnis paling berkuasa di Mesir dan anaknya, Salah dan Tawfik Diab, dengan jaminan $6,385, setelah tiga malam di penahanan. Sebelumnya, sebuah pengadilan kriminal membatalkan keputusan untuk membekukan asset-aset keuangan Diab, Mahmoud el-gammal dan 16 lainnya. Hanya asset-aset yang berhubungan dengan proyek perumahan baru di New Giza yang masih dibekukan, dengan tuduhan bahwa Diab secara illegal mengambil alih lahan milik Negara. Mereka adalah orang-orang terkaya di Mesir dan pendukung kudeta pada 2013. Diab adalah salah satu pendiri al-Masry al-Youm, salah satu koran swasta terbesar di Mesir. Pendiri lainnya, Hisham Kassem, menyebut bahwa ia percaya penahanan Diab mungkin adalah akibat dari pemberitaan-pemberitaan di koran tersebut.

Penahanan 16 pebisnis era Mubarak merupakan sebuah pesan dari pemerintah. Wael al- ibrashi, seorang penyiar televise pro-Sisi di Dream TV, mengutarakannya. Dia mengutip sebuah “sumber kekuasaan” yang berarti seorang pejabat tinggi pemerintah atau keamanan yang mengatakan padanya bahwa ada aksi-aksi mencurigakan oleh sejumlah pebisnis untuk menciptakan kekacauan dan krisis ekonomi di Mesir dengan mentransfer uang mereka ke luar negeri. Mereka diyakinkan oleh sumber-sumber ‘musuh’ bahwa akan segera ada peristiwa besar di Mesir.

Pasar keuangan tidak terkesan dengan argumen ini, meski mereka setuju bahwa keuangan Negara sedang menurun. Pound mesir sedang mengalami penurunan nilai tercepat sejak masa kekuasaan raja Farouk. Mengganti gubernur bank sentral, yang sekarang sedang mencoba untuk mendukung nilai tukar pound dengan meningkatkan suku bunga dan menyuntikkan dolar kepada bank-bank, tidak akan menghentikan devaluasi lebih lanjut yang disebut oleh para analis sebagai tak terhindarkan. Pound sudah kehilangan 14 persen nilai tukarnya hanya dalam waktu 10 bulan.

Mohammad Ayesh, menulis untuk Al-Quds Al-Arabi, memberikan 3 alasan mengenai penyebab penurunan dan jatuhnya nilai mata uang: biaya untuk menjaga tentara tetap berkeliaran di jalan; runtuhnya turisme yang memberi sumbangan sebesar 11 persen dari PDB dan menghasilkan seperlima dari pendapatan mata uang asing Mesir; dan terakhir korupsi. Memberikan uang kepada Mesir, dimana sekitar 40 persen ekonominya dikendalikan oleh militer, sama seperti menuangkan uang ke lubang hitam. Sebagai konsekuensinya, cadangan mata uang asing di bank sentral sekarang menurun sekitar 1 milyar dollar per bulan.

Krisis mata uang Mesir harus dianggap sebagai sebuah keunikan dari salah kelola perekonomian. Hanya dua tahun yang lalu, As-Sisi mengambil alih kekuasaan, dompetnya penuh dengan uang: dia memiliki bekingan 2 negara teluk terkaya, Amerika Serikat, Uni Eropa dan perusahaan-perusahaan migas multinasional. Dalam satu perhitungan saja, rekaman pembicaraan otentik antara Sisi dengan penasihat terdekatnya yang dibocorkan, Nni Emirat Arab dan Kuwait memberikan mesir 39,5 milyar dollar dalam bentuk tunai, pinjaman dan derivative minyak antara Juli 2013, saat terjadinya kudeta, hingga antara Januari dan Februari 2014. Sejak saat itu, beberapa perhitungan menyebut jumlahnya mendekati 50 milyar dollar. Kemana semua uang ini pergi? Satu hal yang pasti: Mesir tidak akan lagi mendapat uang dari teluk.

Kemanapun anda melihat kekacauan di Mesir hari ini, semuanya akan bermuara pada satu orang: As-Sisi, dan satu institusi: militer Mesir. Dia dan merekalah, bukan “tangan-tangan asing” yang menjadi pusat dari kekacauan di Mesir.

Para diktator bisa menumpahkan darah. Pemuda yang diberondong peluru di usia emas mereka dan kedukaan orangtua mereka tidak membuat para diktator ini terganggu. Perbandingan antara Tragedi Raba’a dan pembantaian-pembantaian lain seperti Tiananmen, atau Andijan hampir tidak berarti bagi mereka. Tidak pula perpustakaan kecil yang berisi laporan-laporan hak asasi manusia dan pernyataan para saksi yang sekarang terseda untuk mengategorikan kejahatan-kejahatan mereka – tewas dalam tahanan, penyiksaan dalam tahanan, pengadilan yang memalukan, hukuman mati massal. Semua ini telah diserap oleh Sisi.

Tapi para anjing penjaga harus memberikan perlindungan. Mereka harus melakukan pekerjaan mereka. Sisi tidak melakukannya. Dia sekarang lebih lemah sebagai sebuah pemimpindari kapanpun sejak dia mengambil alih kekuasaan. Dia menghadapi prospek nyata dan segera akan kehilangan kendali – di bidang ekonomi, politik dan keamanan. Negara itu sendiri sedang jatuh.

Kunjungannya ke London, dimana ia telah menaruh banyak harapan dan usaha, mungkin menjadi bukti lain dari titik balik dalam kepresidenannya. Dan yang membuat penasaran, penjamunya, David Cameron, yang telah mengganti sebuah kebijakan luar negeri yang didasarkan untuk mempromosikan demokrasi menjadi pencarian untuk perdagangan dan perjanjian persenjataan, ternyata menjadi kepala pengeksekusinya.

Sisi menghabiskan waktu satu minggu menyebut bahwa dia berhasil mengontrol Sinai dan group militant IS. Sebuah pesawat penumpang Rusia dijatuhkan oleh bom yang ditempatkan di kompartemen bagasi? Itu tidak lebih dari “propaganda”.  Tujuan gandanya adalah untuk mempromosikan dirinya sebagai anjing penjaga dalam perang melawan IS dan untuk meningkatkan hubungan perdagangan. Keduanya dihancurkan oleh keputusan Cameron untuk menunda semua penerbangan ke Sharm el-Sheikh, sebuah keputusan yang diikuti oleh maskapai-maskapai Belanda, Jerman, Inggris dan Russia sendiri.

Sisi menemukan dirinya terpotong dari jaringan intelijen yang ia telah perjuangkan dengan sangat keras untuk menjadi pusatnya. Tidak hanya di Sinai, tapi juga di Libya dan Suriah. Orang-orang Amerika, Suriah dan Inggris membagi informasi intelijen dengan satu sama lain, tetapi tidak dengan As-Sisi. Kunjungan As-Sisi ke Inggris yang dirancang untuk meningkatkan kerjasama keamanan antara Inggris-Mesir, sebuah kunjungan yang didesain untuk menguatkan hubungan perdagangan dengan salah satu investor asing terbesar di Mesir berubah menjadi bencana untuk intelijen dan industri turisme Mesir.

Sisi kalah dalam berbagai front pertempuran. Yang paling terlihat: pemberontak di provinsi Sinai- tumbuh semakin kuat. Mereka dan pendahulunya melakukan lebih dari 400 serangan antara 2012 dan 2015, membunuh lebih dari 700 perwira militer dan prajurit, hampir dua kali lipat jumlah korban militer dalam pemberontakan antara tahun 1992-1997. Serangan paling mematikan terjadi pada Juli tahun ini dimana 15 pos keamanan dan militer dihancurkan. Mereka menggunakan misil anti-pesawat untuk menyingkirkan helikopter-helikopter apache Mesir yang disumbang oleh AS.

Pemberontakan di Sinai terjadi sejak sebelum kudeta militer. Tetapi kudeta tersebut mengubah karakter dan kualitasnya. Angka yang disediakan oleh Tahrir Institute menunjukkan bahwa dalam waktu 23 bulan sebelum Juni 2013, terjadi 78 kali serangan, rata-rata 3,4 serangan per bulan. Dalam periode yang sama setelah kudeta, ada 1.223 serangan, atau rata-rata 53,2 serangan per bulan. Peningkatan sebesar 1.464%.

Sisi telah melemparkan segalanya kepada penduduk Sinai Utara: pembunuhan illegal yang memakan korban 1.347 orang, penahanan 11.906 orang, pengusiran 22.992 lainnya, juga penghancuran dari setidaknya 3.255 gedung. Seperti yang diakui oleh pendukung Israelnya, Sisi melakukan semua kesalahan dalam ‘buku peraturan’ anti-pemberontakan. Dia telah mengubah Sinai menjadi seperti Sudan Selatan, dimana ia sendiri telah memperingatkan para perwira militer untuk tidak melakukannya saat ia masih bekerja dibawah Mursi.

Yang lebih penting dari perang fisik adalah perang politik. Sisi tidak lagi peduli kepada pendukungnya sama seperti kepada Mesir secara umum. Sisi telah mengosongkan TPS-TPS, dengan keikutsertaan yang rendah dalam pemilu. Partisipasi dalam pemilu parlemen terbaru sangat rendah -dibawah 3 persen pada hari pertama- hingga Abdullah Fathi, kepala persatuan para hakim Mesir (yang merupakan pengawas pemilu) menyebut bahwa pada pemilu Mesir: “Tidak ada kesalahan apapun, tidak ada tindakan illegal, tidak ada kampanye illegal, bahkan tidak ada pemilih…” dan kemudian ia tertawa.

Para pendukung kudeta militer pada 3 Juli telah melalui perjalanan yang lambat namun brutal untuk menemukan kenyataan. Mereka lambat dalam mengakui kenyataan. Termasuk keluarga Soueif.

Laila Soueif dan anaknya, blogger dan pahlawan bagi kelompok kiri-sekuler, Alaa Abdul Fattah, yang keduanya mendukung militer dalam penumpasan demonstran di medan Raba’a dan al-Nahda. Laila dulu mengklaim: “Protes di al-Nahda ini, harus segera dibubarkan oleh polisi. Kami melihat mereka setiap hari menembak ke langit di Giza, lalu mereka memegang spanduk yang menyebutkan protes damai, damai apanya? Setiap hari mereka membunuh orang-orang lalu mengklaim bahwa pelakukannya adalah baltagia (preman yang dibayar oleh kementerian dalam negeri pemerintah kudeta). Saya tidak melihat adanya baltagia.”

Sementara dulu Alaa juga menyebut: “Protes ini adalah protes bersenjata dan, lebih dari sehari hingga sekarang, ada banyak bentrokan. Mereka telah berperang di empat area pemukiman. Tidak ada solusi politik untuk ini (demonstran di Raba’a dan al-Nahda), ini membutuhkan sebuah solusi keamanan. Setidaknya tahan mereka, saya dan ibu saya diserang saat kami melewati mereka. Saya tidak berkata ‘sakiti mereka’, yang saya minta adalah ‘tahan mereka’”.

Hari ini Alaa berada di penjara, menjadi salah satu dari 41 ribu tahanan politik dan Laila telah menjalani mogok makan. Laila berkata: "Sisi adalah pemimpin dari rezim yang paling kejam dan menindas yang pernah dimiliki Mesir selama masa hidup saya, dan saya hampir berusia 60 tahun.”

Dia benar, meski terlambat. Sisi adalah pemimpin dari rezim yang paling kejam dan menindas yang pernah dimiliki Mesir dalam sejarah modern-nya dan Sisi harus pergi. Jika tidak, Mesir berada dalam jalur bencana, bencana yang dapat berakhir dengan keruntuhan Negara Mesir dan migrasi masal ke Eropa. Sebelum itu terjadi, seseorang harus menggantikannya, bahkan bila semakin besar kemungkinan bahwa seseorang itu adalah perwira militer lainnya.[]

*David Hearst is editor-in-chief of Middle East Eye. He was chief foreign leader writer of The Guardian, former Associate Foreign Editor, European Editor, Moscow Bureau Chief, European Correspondent, and Ireland Correspondent. He joined The Guardian from The Scotsman, where he was education correspondent.

Sumber: http://www.middleeasteye.net/columns/sisi-must-go-it-too-late-1711093598

Baca juga :